Wednesday, 9 April 2014

16. PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PADA BIDANG PERTANIAN (Studi tentang Mekanisme dan Koordinasi Perencanaan Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan di Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta )



BAB  I

PENDAHULUAN

1.1.  Latar belakang Masalah

              Dalam mencapai tujuan organisasi baik organisasi swasta maupun organisasi pemerintah, perlu dibuat suatu perencanaan.   Perencanaan merupakan suatu kegiatan pendahuluan yang harus dilakukan oleh suatu organisasi sebelum kegiatan pokok dilaksanakan.  Organisasi melakukan perencanaan dengan menentukan tujuan yang akan dicapai dan kemudian mencari cara yang terbaik untuk dapat mencapai tujuan tersebut. 
Perencanaan diperlukan karena adanya kelangkaan-kelangkaan atau keterbatasan-keterbatasan sumber daya dan sumber dana yang tersedia sehingga tidak menyulitkan dalam menentukan suatu pilihan kegiatan yang diperlukan.  Mengingat akan hal itu, maka suatu perencanaan harus memperhitungkan segala macam keterbatasan dan tekanan politis yang ada serta cara-cara pelaksanaan yang tepat.
              Perencanaan dalam organisasi pemerintah atau public planning menurut Syafiie, et al (1999 : 78) berarti pembuatan penetapan melalui proses pengambilan keputusan mengenai kegiatan publik dan akan dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu di masa depan secara terarah sesuai tujuan yang ditetapkan bersama.
              Sehubungan dengan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah maka pemerintah melaksanakan bentuk-bentuk usaha yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta berjalan secara terus-menerus guna meningkatkan tingkat perekonomian dan kemajuan sosial, sehingga pada akhirnya mampu merubah keadaan yang dianggap sebagai pencapaian tujuan termaksud. 
              Namun untuk mencapai suatu kemajuan dalam rangka pembangunan, pemerintah perlu untuk mempertimbangkan faktor-faktor sosial yaitu yang berkaitan dengan masyarakat dalam negara yang dipimpinnya.  Menurut Conyers (1994), terdapat dua alasan utama dalam mempertimbangkan faktor sosial atau masyarakat dalam perencanaan pembangunan, yaitu
1.    bahwa rencana sering kali gagal jika pertimbangan sosial tidak diperhitungkan,
2.    bahwa pencapaian tujuan sosial atau berbagai tujuan lain sekarang ini merupakan suatu tujuan akhir.
Untuk itulah maka peranan atau partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam perencanaan pembangunan.
              Sebagaimana ditunjukkan oleh Pemerintah Orde Baru bahwa sejak tahun 1966 telah membangun suatu pemerintahan yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Dengan menggunakan UU nomor 5 tahun 1974,  pemerintah Orde Baru berupaya untuk membenahi mekanisme penyelenggaraan pemerintah daerah. Namun demikian, dalam konteks ini konsep dasar tentang pengaturan hubungan antara pemerintah Pusat dan Daerah dapat dicermati. Pengaturan mekanisme hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah selama ini lebih didasarkan pada konsep pendelegasian wewenang (delegation of authority) daripada pendelegasian kekuasaan (delegation of power). 
              Walaupun sering dikatakan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk mempercepat proses demokratisasi di tingkat lokal.  Kenyataan menunjukkan bahwa wewenang yang diserahkan kepada pemerintah daerah sangat dibatasi dan dikontrol pemerintah pusat atas daerah dengat sangat ketat (Hidayat, ed , 2004 : 40). Program-program pembangunan yang telah dilakukan juga ditopang dengan kontrol dan inisiatif dari pusat. Sehingga tercipta suatu ketergantungan pembangunan daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat.
               Sejak era orde baru berakhir dengan “lengser”-nya presiden Soeharto dan naiknya BJ Habibie sebagai presiden pada tahun 1998, Politik Demokrasi ditegakkan dan Otonomi Luas mulai dijalankan dengan ditetapkannya dan dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi nomor 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang nomor 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang saat ini Undang-Undang tersebut telah diganti dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
              Dengan adanya Undang-undang  tersebut  di atas,  maka  Pemerintah  Daerah mendapatkan tambahan kewenangan dan tanggung jawab agar tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yaitu  untuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya,  sehingga pelayanan pemerintah dilakukan dengan lebih efisien dan efektif dapat terwujud.  Hal ini  berdasarkan  asumsi bahwa pemerintah kabupaten dan pemerintah kota memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat mereka daripada pemerintah pusat.  
              Demikian pula dengan pembangunan yang dilakukan oleh daerah, dalam melakukan perencanaan pembangunan. Kedekatannya dengan masyarakat dimaksudkan untuk lebih memahami akan kebutuhan ataupun kepentingan rakyat secara lebih nyata dan lebih dapat mewujudkan keinginan tersebut.   
Sebagai negara yang terletak di daerah tropis, maka salah satu yang menjadi keuntungan bagi negara Indonesia adalah memiliki tanah yang subur dan cocok bagi pertanian. Seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah terdahulu sejak kemerdekaan negara Indonesia,  pembangunan perekonomian negara dititikberatkan pada sektor pertanian, sehingga mampu mencapai prestasi hingga swasembada pangan dimana kebutuhan akan pangan dalam negeri bisa terpenuhi dengan kemampuan sendiri.
Kondisi  tersebut tidak berlangsung lama karena dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat tinggi dan seiring tuntutan kemajuan jaman dengan perubahan sektor andalan dari sektor pertanian ke arah sektor industri, seakan-akan sektor pertanian menjadi sektor yang kurang penting bagi Pemerintah. Sehingga dengan pembangunan sektor industri, maka sektor pertanian menjadi menurun produktifitasnya. Selama kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, perkembangan produksi pangan strategis di Indonesia menunjukkan gejala yang cenderung mendatar dan bahkan ada yang menurun.  Perkembangan produksi beberapa jenis pangan strategis di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.1. di bawah ini :
Tabel  1.1. 
Perkembangan Produksi Beberapa Jenis Pangan Strategis
di Indonesia
(dalam ribu ton)
No
Jenis Pangan
1995
1998
2000
2001
2002
2003
1
2
3
4
5
6
7
8
1
Padi
49.744
49.200
51.898
50.461
51.490
52.138
2
Jagung
8.246
10.169
9.677
9.347
9.654
10.886
3
Kedelai
1.680
1.306
1.018
827
673
672
Sumber : Departemen Pertanian
             
Berdasarkan data pada tabel 1.1. di atas, ternyata produksi pangan yang ada belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Untuk mengatasi kekurangan produksi tersebut telah dilakukan impor bahan pangan tersebut dari luar negeri dengan biaya yang cukup besar.  Adapun perkembangan impor terhadap beberapa jenis pangan tersebut dapat dilihat pada tabel 1.2. berikut :
Tabel  1.2. 
Perkembangan Impor Beberapa Jenis Pangan Strategis
di Indonesia
(dalam juta USD)
No.
Jenis Pangan
1998
1999
2000
2001
2002
2003
1
2
3
4
5
6
7
8
1
Beras  
861,70
1.327,54
320,52
135,38
343,43
291,42
2
Jagung
54,54
86,07
165,32
137,10
147,21
168,67
3
Kedelai**
98,69
301,69
275,48
239,32
299,22
330,49
Sumber Data: BPS diolah Subdit PI PPH Tanaman Pangan
** Kedelai kuning (tanpa olahan) 

Dengan melihat data-data yang ada tersebut dapat dikatakan bahwa akibat kurangnya perhatian pemerintah dalam mengembangkan sektor pertanian maka sektor pertanian tidak mengalami peningkatan dan cenderung mendatar.
Dikatakan oleh Arifin (2004 :45) bahwa periode seperti tersebut di atas sering disebut dengan fase dekonstruksi yaitu fase dimana sektor pertanian mengalami fase pengacuhan oleh perumus kebijakan. Anggapan keberhasilan swasembada pangan telah menimbulkan persepsi bahwa pembangunan pertanian akan bergulir sendirinya (taken for granted) dan melupakan prasyarat pemihakan dan kerja keras yang terjadi pada periode sebelumnya.
Penelitian World Bank menyatakan bahwa akibat atau dampak krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 merupakan kinerja terburuk yang pernah tercatat, penurunan yang terjadi adalah di semua bidang. Namun tidak demikian halnya pada sektor pertanian yang masih dapat mencatatkan pertumbuhan sebesar 0,8 persen di tahun 1998 ( World Bank, 2003 : 4 ). Dari hasil penelitian tersebut maka dapat dikatakan bahwa sektor pertanian masih dapat memberikan kontribusi positif walaupun dalam kondisi krisis ekonomi.
Sebagaimana terjadi di Kabupaten Kulon Progo, pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan yang berasal dari lapangan usaha pertanian menunjukkan angka pada kisaran 22,5 % sampai dengan 27,16 %.  Sumbangan tersebut adalah angka terbesar dibandingkan dengan lapangan usaha lainnya.  Bahkan pada krisis moneter yang terjadi sejak tahun 1997, lapangan usaha pertanian menunjukkan ketangguhannya dan relatif tidak terpengaruh.
Lapangan usaha pertanian memberikan sumbangan pada pembentukan PDRB Kabupaten Kulon Progo sebesar 24,73 % pada tahun 1997, sebesar 27,16 % pada tahun 1998, dan sebesar 24,39 pada tahun 1999. Kontribusi dari sub sektor bahan pangan tahun 1999 sebesar 15,18 % dan ini merupakan kontribusi terbesar dari sektor pertanian.
Pertanian di Kabupaten Kulon Progo dilakukan oleh sebagian besar penduduk usia kerja ( 59,22 %) dengan penguasaan lahan usaha tani yang sempit (kurang dari 0,5 ha/KK tani) dengan permodalan usaha tani yang terbatas. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap kesulitan petani dalam meningkatkan produktifitas usahanya, kecenderungan usaha tani yang asal cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kelautan Kabupaten Kulon Progo, hasil yang mampu dicapai dalam produksi padi di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 1996 adalah sebesar 121.460,00 ton, tahun 1997 sebesar 73.946,75 ton, tahun 1998 sebesar 99.049,60 ton, tahun 1999 sebesar 83.435,24 ton, dan tahun 2000 sebesar 113.486,29 ton. Dan atas dasar data tersebut dapat dikatakan telah terjadi penurunan produksi beras sebanyak 4.183,71 ton selama kurun waktu tahun 1996 sampai dengan tahun 2000 (121.460,00 ton – 113.486,29 ton).
Dengan adanya kebijakan penerapan intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi, dan rehabilitasi pada komoditas andalan dan unggulan pertanian, maka produksi pangan strategis di Kabupaten Kulon Progo dapat dilihat dalam tabel 1.3. berikut ini :



Tabel  1.3.
Perkembangan Produksi Beberapa Jenis Pangan Strategis
di Kabupaten Kulon Progo
(dalam ton)
No
Jenis Pangan
2002
2003
1
2
3
4
1
Padi
89.895,49
113.192,42
2
Jagung
14.782,54
25..317,22
3
Kedelai
3.880,74
2.749,00
Sumber : Dinas Pertanian dan Kelautan Kabupaten Kulon Progo

Dari tabel di atas dapat dilihat adanya peningkatan produksi padi pada tahun 2003 sebesar 25,91 % dibandingkan dengan tahun 2002. Demikian juga dengan produksi jagung yang menunjukkan peningkatan sebesar 71,26 %. Sementara untuk produksi kedelai tahun 2003 terjadi penurunan produksi sebesar 29.16 % dari tahun 2002.
Dengan sistem perencanaan pembangunan di Indonesia yang meliputi pendekatan top-down planning dan bottom-up planning akan menjamin adanya keseimbangan antara prioritas nasional dengan aspirasi lokal dalam perencanaan pembangunan daerah (Kuncoro, 2004 : 58). Namun lebih lanjut dikatakan bahwa dalam kenyataan menunjukkan banyak daerah belum sepenuhnya mengakomodasi aspirasi lokal, yang tersebut dibuktikan dengan banyaknya proposal proyek yang diajukan berdasarkan aspirasi lokal tersingkir dalam rapat koordinasi yang menempatkan proposal yang diajukan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi tanpa memperhatikan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintahan yang lebih rendah.
              Selain dari prosedur perencanaan tersebut, kemampuan standar dari perencana juga sangat perlu diperhatikan demi keberhasilan perencanaan. Sebagaimana survey oleh Pusbindiklatren – Bappenas, telah dilakukan di 18 Kabupaten yang tersebar pada 16 propinsi dengan jumlah responden adalah 254 perencana kabupaten, baik itu yang bekerja di Bappeda, maupun di Dinas, dan di instansi lain. Dinas yang dipilih adalah yang dianggap paling banyak melakukan perencanaan.
              Dari hasil survey tersebut, tidak diperoleh responden perencana Utama. Golongan responden tertinggi adalah yang termasuk jenjang Madya (golongan IV/C) sebanyak dua orang. Begitu pula untuk tingkat pendidikan perencana di kabuapten masih banyak pendidikannya dibawah S1, walaupun mereka sudah cukup lama bekerja sebagai perencana. Secara keseluruhan perencana kabupaten per jenjang, baik itu di Bappeda maupun Non Bappeda Kabupaten, ternyata lebih dari 50% di bawah standar.  Untuk materi kompetensi knowledge, semakin tinggi jenjang perencana, maka semakin banyak jumlah materi yang mempunyai reponden di bawah standar lebih dari 50%. Dan jumlah materi dengan persentase responden di bawah standar di atas 50% untuk Non Bappeda lebih banyak dari pada Bappeda. Sementara itu, untuk kompetensi profesionalisme yaitu dengan membandingkan nilai rata-rata standar yang dibutuhkan dengan nilai rata-rata aktual, dan ternyata pada semua jenjang memiliki nilai aktual yang sama dan di bawah nilai rata-rata standar yang dibutuhkan.
              Dalam mengatasi permasalahan yang telah diuraikan terdahulu, maka guna memenuhi kebutuhan pangan rakyat secara nasional perlu kiranya dikembangkan pemikiran dan pengetahuan tentang bagaimana suatu perencanaan sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah Daerah di sektor pertanian, agar tidak terjadi kekurangan pangan.
1.2.   Perumusan Masalah
Atas dasar uraian dan latar belakang seperti dikemukakan terdahulu, maka rumusan masalahnya adalah :
a.    Bagaimana mekanisme dan koordinasi perencanaan pembangunan pertanian tanaman pangan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan daerah di bidang pertanian ?
b.    Faktor-faktor apakah yang menjadi pendukung maupun penghambat dalam perencanaan pembangunan daerah pada bidang pertanian tanaman pangan di Kabupaten Kulon Progo?
1.3.   Tujuan Penelitian
Sebagaimana dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan berikut ini :
a.    Mekanisme dan koordinasi perencanaan pembangunan pertanian tanaman pangan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah di Kabupaten Kulon Progo,
b.    Faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam perencanaan pembangunan pada bidang pertanian tanaman pangan di Kabupaten Kulon Progo.
1.4.   Manfaat Penelitian
Atas dasar tujuan penelitian tersebut di atas, maka penelitian diharapkan mempunyai dampak kegunaan sebagai berikut :
a.    Implikasi praktis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan implikasi praktis yaitu berguna bagi policy maker dalam menjalankan tugasnya terutama pada bidang perencanaan pembangunan daerah.
b.    Implikasi teoritik
Melalui penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan implikasi teoritik yaitu memberikan tambahan landasan berpikir bagi perencanaan pembangunan daerah.
c.    Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan atau bahan referensi bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan perencanaan pembangunan daerah.


Anda bisa dapatkan Judul Skripsi Lengkap dengan pembahasanya. Anda bisa mendownload filenya lengkap dengan isinya dengan cara mengganti biaya pengetikan sebesar Rp. 200.000,- Per Skripsi. Silahkan anda Pilih Judul Skripsi yang anda inginkan beserta kode nomor skripsi ke wahyuddinyusuf87@gmail.com atau SMS
langsung kenomor 0819 3383 3343
Dengan format, Nama – Alamat – Kode dan judul Skripsi– e.mail – No.Hp. Semua File skripsi bisa anda unduh / Download apabila anda telah mendonasikan biaya pengetikan diatas.

Anda cukup mentransfer uang ke nomor rekening BRI 489201003415532
Atas nama Wahyuddin, SE

Mudah bukan....... Ayo tunggu apa lagi....
dari pada bingung

 

No comments:

Post a Comment