BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Masalah
Dalam
mencapai tujuan organisasi baik organisasi swasta maupun organisasi pemerintah,
perlu dibuat suatu perencanaan.
Perencanaan merupakan suatu kegiatan pendahuluan yang harus dilakukan
oleh suatu organisasi sebelum kegiatan pokok dilaksanakan. Organisasi melakukan perencanaan dengan
menentukan tujuan yang akan dicapai dan kemudian mencari cara yang terbaik
untuk dapat mencapai tujuan tersebut.
Perencanaan diperlukan karena adanya kelangkaan-kelangkaan atau
keterbatasan-keterbatasan sumber daya dan sumber dana yang tersedia sehingga
tidak menyulitkan dalam menentukan suatu pilihan kegiatan yang diperlukan. Mengingat akan hal itu, maka suatu
perencanaan harus memperhitungkan segala macam keterbatasan dan tekanan politis
yang ada serta cara-cara pelaksanaan yang tepat.
Perencanaan dalam organisasi pemerintah atau public planning menurut Syafiie, et al (1999 : 78) berarti pembuatan penetapan melalui proses
pengambilan keputusan mengenai kegiatan publik dan akan dilaksanakan untuk
jangka waktu tertentu di masa depan secara terarah sesuai tujuan yang
ditetapkan bersama.
Sehubungan
dengan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah maka pemerintah
melaksanakan bentuk-bentuk usaha yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta
berjalan secara terus-menerus guna meningkatkan tingkat perekonomian dan
kemajuan sosial, sehingga pada akhirnya mampu merubah keadaan yang dianggap
sebagai pencapaian tujuan termaksud.
Namun
untuk mencapai suatu kemajuan dalam rangka pembangunan, pemerintah perlu untuk
mempertimbangkan faktor-faktor sosial yaitu yang berkaitan dengan masyarakat
dalam negara yang dipimpinnya. Menurut
Conyers (1994), terdapat dua alasan utama dalam mempertimbangkan faktor sosial
atau masyarakat dalam perencanaan pembangunan, yaitu
1.
bahwa rencana
sering kali gagal jika pertimbangan sosial tidak diperhitungkan,
2.
bahwa pencapaian
tujuan sosial atau berbagai tujuan lain sekarang ini merupakan suatu tujuan
akhir.
Untuk itulah maka
peranan atau partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam perencanaan
pembangunan.
Sebagaimana ditunjukkan oleh
Pemerintah Orde Baru bahwa sejak tahun 1966 telah membangun suatu pemerintahan
yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat
pembangunan ekonomi Indonesia. Dengan menggunakan UU nomor 5 tahun 1974, pemerintah Orde Baru berupaya untuk membenahi
mekanisme penyelenggaraan pemerintah daerah. Namun demikian, dalam konteks ini
konsep dasar tentang pengaturan hubungan antara pemerintah Pusat dan Daerah
dapat dicermati. Pengaturan mekanisme hubungan kekuasaan antara pemerintah
pusat dan daerah selama ini lebih didasarkan pada konsep pendelegasian wewenang
(delegation of authority) daripada
pendelegasian kekuasaan (delegation of
power).
Walaupun sering dikatakan bahwa
kebijakan desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk mempercepat proses
demokratisasi di tingkat lokal.
Kenyataan menunjukkan bahwa wewenang yang diserahkan kepada pemerintah
daerah sangat dibatasi dan dikontrol pemerintah pusat atas daerah dengat sangat
ketat (Hidayat, ed , 2004 : 40).
Program-program pembangunan yang telah dilakukan juga ditopang dengan kontrol
dan inisiatif dari pusat. Sehingga tercipta suatu ketergantungan pembangunan
daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat.
Sejak era orde baru berakhir dengan
“lengser”-nya presiden Soeharto dan naiknya BJ Habibie sebagai presiden pada
tahun 1998, Politik Demokrasi ditegakkan dan Otonomi Luas mulai dijalankan
dengan ditetapkannya dan dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi nomor 22 tahun
1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang nomor 25 tahun 1999
mengenai Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang saat ini
Undang-Undang tersebut telah diganti dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan UU No.33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah
Dengan adanya Undang-undang tersebut
di atas, maka Pemerintah
Daerah mendapatkan tambahan kewenangan dan tanggung jawab agar tujuan
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yaitu untuk menjadikan pemerintah lebih dekat
dengan rakyatnya, sehingga pelayanan
pemerintah dilakukan dengan lebih efisien dan efektif dapat terwujud. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa
pemerintah kabupaten dan pemerintah kota memiliki pemahaman yang lebih baik
mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat mereka daripada pemerintah
pusat.
Demikian pula dengan pembangunan
yang dilakukan oleh daerah, dalam melakukan perencanaan pembangunan.
Kedekatannya dengan masyarakat dimaksudkan untuk lebih memahami akan kebutuhan
ataupun kepentingan rakyat secara lebih nyata dan lebih dapat mewujudkan
keinginan tersebut.
Sebagai negara yang terletak di daerah
tropis, maka salah satu yang menjadi keuntungan bagi negara Indonesia adalah
memiliki tanah yang subur dan cocok bagi pertanian. Seperti yang telah
dilakukan oleh Pemerintah terdahulu sejak kemerdekaan negara Indonesia, pembangunan perekonomian negara
dititikberatkan pada sektor pertanian, sehingga mampu mencapai prestasi hingga
swasembada pangan dimana kebutuhan akan pangan dalam negeri bisa terpenuhi
dengan kemampuan sendiri.
Kondisi
tersebut tidak berlangsung lama karena dengan pertumbuhan jumlah
penduduk yang sangat tinggi dan seiring tuntutan kemajuan jaman dengan
perubahan sektor andalan dari sektor pertanian ke arah sektor industri,
seakan-akan sektor pertanian menjadi sektor yang kurang penting bagi
Pemerintah. Sehingga dengan pembangunan sektor industri, maka sektor pertanian
menjadi menurun produktifitasnya. Selama kurun waktu 10 (sepuluh) tahun
terakhir, perkembangan produksi pangan strategis di Indonesia menunjukkan
gejala yang cenderung mendatar dan bahkan ada yang menurun. Perkembangan produksi beberapa jenis pangan
strategis di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1.1. di bawah ini :
Tabel 1.1.
Perkembangan
Produksi Beberapa Jenis Pangan Strategis
di Indonesia
(dalam ribu ton)
No
|
Jenis Pangan
|
1995
|
1998
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
1
|
Padi
|
49.744
|
49.200
|
51.898
|
50.461
|
51.490
|
52.138
|
2
|
Jagung
|
8.246
|
10.169
|
9.677
|
9.347
|
9.654
|
10.886
|
3
|
Kedelai
|
1.680
|
1.306
|
1.018
|
827
|
673
|
672
|
Sumber : Departemen Pertanian
Berdasarkan
data pada tabel 1.1. di atas, ternyata produksi pangan yang ada belum cukup
untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Untuk mengatasi kekurangan
produksi tersebut telah dilakukan impor bahan pangan tersebut dari luar negeri
dengan biaya yang cukup besar. Adapun
perkembangan impor terhadap beberapa jenis pangan tersebut dapat dilihat pada
tabel 1.2. berikut :
Tabel 1.2.
Perkembangan Impor Beberapa Jenis Pangan Strategis
di Indonesia
(dalam juta
USD)
No.
|
Jenis Pangan
|
1998
|
1999
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
1
|
Beras
|
861,70
|
1.327,54
|
320,52
|
135,38
|
343,43
|
291,42
|
2
|
Jagung
|
54,54
|
86,07
|
165,32
|
137,10
|
147,21
|
168,67
|
3
|
Kedelai**
|
98,69
|
301,69
|
275,48
|
239,32
|
299,22
|
330,49
|
Sumber Data: BPS diolah Subdit PI PPH
Tanaman Pangan
** Kedelai kuning (tanpa olahan)
Dengan
melihat data-data yang ada tersebut dapat dikatakan bahwa akibat kurangnya
perhatian pemerintah dalam mengembangkan sektor pertanian maka sektor pertanian
tidak mengalami peningkatan dan cenderung mendatar.
Dikatakan oleh Arifin (2004 :45) bahwa periode seperti tersebut di atas
sering disebut dengan fase dekonstruksi yaitu fase dimana sektor pertanian
mengalami fase pengacuhan oleh perumus kebijakan. Anggapan keberhasilan
swasembada pangan telah menimbulkan persepsi bahwa pembangunan pertanian akan
bergulir sendirinya (taken for granted)
dan melupakan prasyarat pemihakan dan kerja keras yang terjadi pada periode sebelumnya.
Penelitian World Bank menyatakan bahwa akibat atau
dampak krisis yang terjadi di Indonesia
pada tahun 1997 merupakan kinerja terburuk yang pernah tercatat, penurunan yang
terjadi adalah di semua bidang. Namun tidak demikian halnya pada sektor pertanian
yang masih dapat mencatatkan pertumbuhan sebesar 0,8 persen di tahun 1998 (
World Bank, 2003 : 4 ). Dari hasil penelitian tersebut maka dapat dikatakan
bahwa sektor pertanian masih dapat memberikan kontribusi positif walaupun dalam
kondisi krisis ekonomi.
Sebagaimana terjadi di Kabupaten Kulon Progo,
pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan yang
berasal dari lapangan usaha pertanian menunjukkan angka pada kisaran 22,5 %
sampai dengan 27,16 %. Sumbangan tersebut adalah angka terbesar dibandingkan
dengan lapangan usaha lainnya. Bahkan
pada krisis moneter yang terjadi sejak tahun 1997, lapangan usaha pertanian
menunjukkan ketangguhannya dan relatif tidak terpengaruh.
Lapangan usaha pertanian memberikan sumbangan pada
pembentukan PDRB Kabupaten Kulon Progo sebesar 24,73 % pada tahun 1997, sebesar
27,16 % pada tahun 1998, dan sebesar 24,39 pada tahun 1999. Kontribusi dari sub
sektor bahan pangan tahun 1999 sebesar 15,18 % dan ini merupakan kontribusi
terbesar dari sektor pertanian.
Pertanian di Kabupaten Kulon Progo dilakukan oleh
sebagian besar penduduk usia kerja ( 59,22 %) dengan penguasaan lahan usaha
tani yang sempit (kurang dari 0,5 ha/KK tani) dengan permodalan usaha tani yang
terbatas. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap kesulitan petani dalam
meningkatkan produktifitas usahanya, kecenderungan usaha tani yang asal cukup
untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan
Kelautan Kabupaten Kulon Progo, hasil yang mampu dicapai dalam produksi padi di
Kabupaten Kulon Progo pada tahun 1996 adalah sebesar 121.460,00 ton, tahun 1997
sebesar 73.946,75 ton, tahun 1998 sebesar 99.049,60 ton, tahun 1999 sebesar
83.435,24 ton, dan tahun 2000 sebesar 113.486,29 ton. Dan atas dasar data
tersebut dapat dikatakan telah terjadi penurunan produksi beras sebanyak
4.183,71 ton selama kurun waktu tahun 1996 sampai dengan tahun 2000 (121.460,00
ton – 113.486,29 ton).
Dengan adanya kebijakan penerapan intensifikasi,
ekstensifikasi, diversifikasi, dan rehabilitasi pada komoditas andalan dan
unggulan pertanian, maka produksi pangan strategis di Kabupaten Kulon Progo
dapat dilihat dalam tabel 1.3. berikut ini :
Tabel 1.3.
Perkembangan
Produksi Beberapa Jenis Pangan Strategis
di Kabupaten Kulon
Progo
(dalam
ton)
No
|
Jenis Pangan
|
2002
|
2003
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
Padi
|
89.895,49
|
113.192,42
|
2
|
Jagung
|
14.782,54
|
25..317,22
|
3
|
Kedelai
|
3.880,74
|
2.749,00
|
Sumber : Dinas Pertanian dan Kelautan
Kabupaten Kulon Progo
Dari tabel di atas dapat dilihat adanya peningkatan
produksi padi pada tahun 2003 sebesar 25,91 % dibandingkan dengan tahun 2002.
Demikian juga dengan produksi jagung yang menunjukkan peningkatan sebesar 71,26
%. Sementara untuk produksi kedelai tahun 2003 terjadi penurunan produksi
sebesar 29.16 % dari tahun 2002.
Dengan sistem perencanaan pembangunan di Indonesia
yang meliputi pendekatan top-down
planning dan bottom-up planning
akan menjamin adanya keseimbangan antara prioritas nasional dengan aspirasi
lokal dalam perencanaan pembangunan daerah (Kuncoro, 2004 : 58). Namun lebih
lanjut dikatakan bahwa dalam kenyataan menunjukkan banyak daerah belum
sepenuhnya mengakomodasi aspirasi lokal, yang tersebut dibuktikan dengan
banyaknya proposal proyek yang diajukan berdasarkan aspirasi lokal tersingkir
dalam rapat koordinasi yang menempatkan proposal yang diajukan tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi tanpa memperhatikan proposal yang diajukan oleh
tingkat pemerintahan yang lebih rendah.
Selain dari prosedur perencanaan tersebut, kemampuan
standar dari perencana juga sangat perlu diperhatikan demi keberhasilan
perencanaan. Sebagaimana survey oleh Pusbindiklatren – Bappenas, telah
dilakukan di 18 Kabupaten yang tersebar pada 16 propinsi dengan jumlah
responden adalah 254 perencana kabupaten, baik itu
yang bekerja di Bappeda, maupun di Dinas, dan di instansi lain. Dinas yang
dipilih adalah yang dianggap paling banyak melakukan perencanaan.
Dari
hasil survey tersebut, tidak diperoleh responden perencana Utama. Golongan
responden tertinggi adalah yang termasuk jenjang Madya
(golongan IV/C) sebanyak dua orang. Begitu pula untuk tingkat pendidikan
perencana di kabuapten masih banyak pendidikannya dibawah S1, walaupun mereka
sudah cukup lama bekerja sebagai perencana. Secara keseluruhan perencana
kabupaten per jenjang, baik itu di Bappeda maupun Non Bappeda Kabupaten,
ternyata lebih dari 50% di bawah standar.
Untuk materi kompetensi knowledge,
semakin tinggi jenjang perencana, maka semakin banyak jumlah materi yang
mempunyai reponden di bawah standar lebih dari 50%. Dan jumlah materi dengan
persentase responden di bawah standar di atas 50% untuk Non Bappeda lebih
banyak dari pada Bappeda. Sementara itu, untuk kompetensi profesionalisme yaitu
dengan membandingkan nilai rata-rata standar yang dibutuhkan dengan nilai
rata-rata aktual, dan ternyata pada semua jenjang memiliki nilai aktual yang
sama dan di bawah nilai rata-rata standar yang dibutuhkan.
Dalam
mengatasi permasalahan yang telah diuraikan terdahulu, maka guna memenuhi
kebutuhan pangan rakyat secara nasional perlu kiranya dikembangkan pemikiran
dan pengetahuan tentang bagaimana suatu perencanaan sebaiknya dilakukan oleh
Pemerintah Daerah di sektor pertanian, agar tidak terjadi kekurangan pangan.
1.2. Perumusan Masalah
Atas dasar uraian
dan latar belakang seperti dikemukakan terdahulu, maka rumusan masalahnya
adalah :
a. Bagaimana
mekanisme dan koordinasi perencanaan pembangunan pertanian tanaman pangan yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan daerah di bidang
pertanian ?
b. Faktor-faktor
apakah yang menjadi pendukung maupun penghambat dalam perencanaan pembangunan
daerah pada bidang pertanian tanaman pangan di Kabupaten Kulon Progo?
1.3. Tujuan Penelitian
Sebagaimana dengan
perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan berikut ini
:
a.
Mekanisme dan koordinasi perencanaan
pembangunan pertanian tanaman pangan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah di
Kabupaten Kulon Progo,
b.
Faktor-faktor yang menjadi pendukung
dan penghambat dalam perencanaan pembangunan pada bidang pertanian tanaman
pangan di Kabupaten Kulon Progo.
1.4. Manfaat Penelitian
Atas dasar tujuan penelitian tersebut di atas, maka
penelitian diharapkan mempunyai dampak kegunaan sebagai berikut :
a.
Implikasi praktis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan
implikasi praktis yaitu berguna bagi policy
maker dalam menjalankan tugasnya terutama pada bidang perencanaan
pembangunan daerah.
b.
Implikasi teoritik
Melalui penelitian ini diharapkan akan mampu
memberikan implikasi teoritik yaitu memberikan tambahan landasan berpikir bagi
perencanaan pembangunan daerah.
c.
Dari hasil penelitian ini diharapkan
dapat dimanfaatkan sebagai acuan atau bahan referensi bagi penelitian
selanjutnya yang berhubungan dengan perencanaan pembangunan daerah.
Anda bisa dapatkan Judul Skripsi Lengkap dengan
pembahasanya. Anda bisa mendownload filenya lengkap dengan isinya dengan cara
mengganti biaya pengetikan sebesar
Rp. 200.000,- Per Skripsi. Silahkan anda Pilih Judul
Skripsi yang anda inginkan beserta kode nomor
skripsi ke
wahyuddinyusuf87@gmail.com atau SMS
langsung kenomor 0819
3383 3343
Dengan
format, Nama – Alamat – Kode dan judul Skripsi– e.mail – No.Hp. Semua File
skripsi bisa anda unduh / Download apabila anda telah mendonasikan biaya pengetikan diatas.
Anda cukup mentransfer uang ke nomor rekening BRI 489201003415532
Atas nama
Wahyuddin, SE
Mudah bukan....... Ayo tunggu apa lagi....
dari pada bingung
dari pada bingung
No comments:
Post a Comment