BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Masyarakat
Indonesia
sebagian besar berada di pedesaan, oleh karena itu perhatian pembangunan perlu
lebih banyak diarahkan kepada pembangunan pedesaan. Titik tumpu pembangunan
tidak bisa lain kecuali pada pembangunan desa dengan segala aspeknya. Keadaan
yang demikian ini diperkuat oleh adanya kenyataan bahwa masyarakat pedesaan
masih dihinggapi masalah sosial seperti kemiskinan, keterbelakangan dan
berbagai kerawanan sosial lainnya. Untuk itu diperlukan suatu usaha yang
terencana untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial masyarakat desa
serta guna meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat.
Mardiasmo
(2002) mengatakan bahwa selama masa orde baru, harapan yang besar dari
masyarakat desa untuk dapat membangun desanya berdasarkan kemampuan dan
kehendak sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari
kenyataan. Ini disebabkan oleh pola pendakatan sentralistik (top-down) yang penuh nuansa uniformitas
(keseragaman) yang dikembangkan. Pemerintah kurang memberi keleluasaan (lokal discreation) kepada masyarakat
untuk menentukan kebijakan pembangunan bagi desanya sendiri, sehingga mematikan
inisiatif serta kreatifitas dari masyarakat dan pada gilirannya memunculkan
tradisi “menunggu” (atau dalam bahasa jawa ‘sendiko
dawuh’). Kondisi yang ada tersebut semakin parah ketika kewenangan yang
diberikan kepada desa selama ini ‘untuk mengatur rumah tangganya sendiri’,
tidak disertai dengan pemberian infrastruktur yang memadai, penyiapan sumber
daya manusia yang profesional, dan pembiayaan. Akibatnya yang terjadi bukan
terciptanya kemandirian suatu desa, tetapi justru ketergantungan desa terhadap
pemerintah.
Pola
top-down dalam pembangunan desa
dikembangkan pemerintah dengan alasan untuk menjamin keberhasilan
program-program pembangunan dan mengingat masih lemahnya sumber daya manusia
yang ada di desa. Karena dua alasan tersebut, sentralisasi dalam pembangunan
dipandang oleh pemerintah sebagai prasyarat untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi di desa.
Selain
alasan tersebut diatas, campur tangan pemerintah dalam pembangunan disebabkan
oleh beberapa faktor sebagaimana kesimpulan penelitian Rondinelli (1981) bahwa proses
pembangunan pedesaan di negara-negara berkembang masih sangat tersentralisasi,
meski hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor : pertama, strategi dengan
pola top-down, sebagai
konsekuensi logis dari penerapan model pembangunan dari atas (development from above) yang sarat
dengan nuansa state centered. Kedua,
pembangunan pedesaan sebagian besar dilakukan oleh orang luar (out siders) dan badan perencana dari
pemerintah maupun konsultan (baik dalam negeri maupun asing) tanpa melibatkan
masyarakat setempat secara aktif. Ketiga,
orientasi pembangunan untuk rakyat,
secara struktural dan kultural memberikan imbas dalam pembangunan dimana
peranan dominan yang dimiliki oleh pemerintah, yang kurang menghargai prakarsa
dan inisiatif masyarakat untuk memiliki pikiran-pikiran alternatif, sehingga
pembangunan tidak dapat menjawab permasalahan masyarakat yang begitu komplek.
Pada
awalnya pandangan pola top-down
tersebut terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya secara umum
pembangunan di Indonesia
termasuk didalamnya di daerah pedesaan mengalami perkembangan yang relatif
baik. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi dengan pola top-down telah menimbulkan ketimpangan dan atau ketidakadilan,
rendahnya akuntabilitas, lambatnya pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya
tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta memperlambat pengembangan
kelembagaan sosial ekonomi di desa.
Dampak
lain dari sistem top down yang selama
ini kita anut menyebabkan pemerintah tidak responsif dan kurang peka terhadap
aspirasi masyarakat. Hal ini terlihat
dari banyaknya proyek pembangunan yang tidak menghiraukan manfaat yang
dirasakan masyarakat, bahkan beberapa proyek sarat dengan petunjuk dan arahan
dari pemerintah pusat.
Ketidak
pekaan pemerintah terhadap aspirasi masyarakat serta minimnya partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan tersebut, dapat mengakibatkan masyarakat
kurang merasa memiliki (sense belonging)
terhadap hasil-hasil pembangunan, bahkan lebih lanjut menimbulkan akibat yang
fatal dalam arti politis, yaitu memunculkan sikap apatis, frustasi, kecemburuan
sosial dan ketidakpercayaan kepada pemerintah, dimana pada puncaknya sering
menimbulkan ketegangan yang serius antara pemerintah dan rakyat, hal ini terlihat dari banyaknya contoh kasus yang
menunjukkan masyarakat sering menentang upaya pembangunan yang dilakukan
pemerintah. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kunci keberhasilan dari suatu
program pembangunan adalah partisipasi sebagai suatu conditio sine quanone atau keharusan yang tidak dapat ditawar.
Belajar
dari fenomena tersebut, maka selanjutnya terjadi perubahan paradigma dalam
pembangunan desa seiring diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004. konsep otonomi desa yang tertuang didalamnya memberikan kedudukan
yang kuat bagi desa dan masyarakatnya untuk melaksanakan pembangunan yang
sesuai dengan kebutuhannya, dimana proses pembangunan secara bertahap telah
bergeser mengarah kepada proses yang memungkinkan masyarakat dapat
berpartisipasi secara keseluruhan (participatory
development), sejak dari (a) prakarsa (dari masyarakat), (b) perencanaan,
pelaksanaan dan pengendaliannya (oleh masyarakat), hingga kealokasian
manfaatnya (untuk masyarakat).
Kondisi
semacam ini didukung oleh pernyataan Suwignyo (1985) bahwa hakekat pengertian
pembangunan adalah dari, untuk dan oleh masyarakat”, dengan demikian maka
pembangunan di pedesaan menempatkan masyarakat desa sebagai subyek pembangunan
dan bukan sebagai obyek pembangunan. Atau dengan kata lain bahwa pembangunan
desa harus dapat dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri dan bukan dilakukan
oleh pemerintah supra desa.
Subari
(1992:63) dengan pendapat yang sama mengemukakan bahwa pembangunan harus
menerapkan prinsip-prinsip desentralisasi, bergerak dari bawah (bottom up), mengikutsertakan masyarakat
secara aktif (participatory),
dilaksanakan dari dan bersama masyarakat (from
and with people) dan koordinasi antar sektor serta kelembagaan yang ada di
desa. Melalui proses semacam ini maka keinginan-keinginan dan kebutuhan masyarakat
desa dapat disalurkan dan diwujudkan dalam program pembangunan desa.
Dari
pemikiran diatas, jelaslah bahwa dalam pelaksanaan pembangunan desa sangat
dibutuhkan prakarsa masyarakat setempat, dilakukan oleh masyarakat itu sendiri
dan keputusan yang diambil bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat itu
sendiri, serta dilakukan secara terus menerus, berkesinambungan dan
berorientasi ke masa depan.
Namun
demikian, bukanlah hal yang mudah untuk menyerahkan pelaksanaan pembangunan
kepada masyarakat desa, mengingat banyak dilema yang terlibat dalam
pembangunan. Salah satu dilema yang seringkali timbul dalam pembangunan yang
dilakukan oleh masyarakat adalah kurangnya kemampuan dan pengetahuan sumberdaya
manusia. Dilema tersebut seringkali timbul pada saat perumusan arah dan tujuan
yang akan dilakukan dalam pembangunan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Abe
(2005:72) bahwa :
“jika
perencanaan hendak melibatkan massa
rakyat, maka terdapat beberapa kendala yang akan muncul, yakni : (1) terdapat
kenyataan bahwa massa
rakyat, umumnya adalah pihak yang tidak memiliki kesempatan untuk menikmati
pendidikan formal yang memadai. Masalah seperti pendidikan rendah, kemampuan
baca tulis, dan keterbatasan pengetahuan, membuat secara teknis, massa rakyat sulit untuk
bisa ambil bagian secara produktif ; dan (2) terdapat suatu kenyataan bahwa massa rakyat telah sekian
lama ada dalam politik otoriter-sentralistik. Massa rakayat telah ditradisikan dalam proses
politik yang ‘mengekor’, pasif, takut mengambil inisiatif dan hidup dalam
budaya petunjuk”.
Akibat
dari kenyataan tersebut membuat langkah-langkah dalam pembangunan tidak mampu
dilaksanakan dengan benar. Dengan pengetahuan, maka akan timbul pemahaman yang
sama dan memadai terhadap persoalan yang dihadapi serta memudahkan dalam
mengidentifikasi faktof-faktor penyebabnya, merumuskan bagaimana cara untuk
mengatasinya sehingga dapat menentukan keputusan yang baik melalui potensi yang
ada.
Pemikiran
Abe tersebut sepenuhnya didukung oleh pernyataan Kartasasmita (1997:57) bahwa :
1. Pembangunan
hanya menguntungkan segolongan orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak,
bahkan pada sisi ekstrem atau pada akhirnya dirasakan merugikan.
2. Pembangunan
meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami
maksud tersebut.
3. Pembangunan
dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat banyak dan rakyat memahaminya tetapi
cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman rakyat.
4. Pembangunan
dipahami akan menguntungkan rakyat, tetapi rakyat tidak diikutsertakan.
Untuk
memotivasi masyarakat agar memiliki kemauan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, maka program pembangunan
yang ditetapkan benar-benar menjamin bahwa pembangunan harus, : (1) menguntungkan
rakyat ; (2) dapat dipahami oleh rakyat ; (3) harus mengikutsertakan rakyat
dalam pelaksanaannya; (4) dilaksanakan sesuai dengan maksud dan keinginan rakyat
secara jujur, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pada
kondisi ini diperlukan pergeseran orientasi pemerintah dari command and control menjadi stimulator, fasilitator, koordinator
dan entrepreneur (wirausaha), untuk
membangkitkan kembali kemauan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Orientasi pemerintah tersebut dilakukan melalui penyediaan program-program
pembangunan, -termasuk didalamnya program pembangunan yang ditujukan bagi
penyelesaian masalah sosial seperti kemiskinan-, yang dikembangkan dengan
memadukan berbagai aspirasi yang berkembang di masyarakat serta menyerahkan
sepenuhnya mekanisme pelaksanaannya kepada masyarakat. Melalui program-program semacam
inilah diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Khususnya
masyarakat di Desa Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang
pelaksanaan beberapa program pembangunan, baik yang didanai oleh APBD Kabupaten
Magelang maupun murni swadaya masyarakat seringkali terbentur pada keterbatasan
masyarakat. Masyarakat tersebut tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan
pembangunan khususnya dalam kegiatan perencanaan seperti : mengindentifikasikan
permasalahan, merencanakan langkah-langkah dan memutuskan program pembangunan
apa yang benar-benar meraka butuhkan.
Gambaran
diatas tercermin pada Program Pendukung Pembangunan Desa/Kelurahan (P3D/K) yang
dilaksanakan pada tahun 2002. dimana pada pelaksanaan program yang sepenuhnya
diserahkan kepada masyarakat saat itu seharusnya lebih diprioritaskan pada
pengerasan jalan desa yang masih berupa tanah yang sulit dilewati pada musim
penghujan, namun justru mereka lebih memilih untuk merehabilitasi jembatan
lokal yang kondisinya relatif masih cukup bagus. Kegiatan rehabilitasi tersebut
juga nampak ‘kurang matang’ akibat keterbatasan sumber daya manusia, terlihat
dari perencanaan yang tidak memperhatikan aspek kontruksi dan pemeliharaannya
sehingga kerusakan pada jembatan terjadi dalam waktu yang relatif singkat.
Masyarakat
Desa Tanggulrejopun seperti kurang terbiasa dengan pola keterlibatan proses
pembangunan yang bersifat dari, oleh dan untuk masyarakat. Beberapa
program-program pembangunan yang selama ini melibatkan mereka, meskipun
dirancang dengan semangat ‘bottom up’,
namun tetap saja masih menganut pola keharusan adanya juklak (petunjuk
pelaksanaan) atau juknis (petunjuk teknis). Hal ini terbukti dari penyusunan
APBDes dari tahun 2000-2002. Hal yang menjadi kewajiban pemerintah desa dan
masyarakat melalui BPD ini, dalam penyusunannya diserahkan kepada pegawai
kecamatan sebagai akibat belum diterbitkannya surat keputusan bupati tentang petunjuk
pelaksanaan penyusunan APBDes.
Tentunya
hal ini seringkali justru berdampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat yang
bersifat semu. Kenyataan tersebut tentu saja membuat masyarakat tidak dapat
terlibat untuk memberikan pendapatnya untuk menentukan arah pembangunan desa.
Atau dengan kata lain, bukti ini menunjukkan masyarakat dalam kondisi tidak
berdaya untuk mengakses pada program-program pembangunan, khususnya pada
keputusan-keputusan yang secara nyata dapat mensejahterakan dan meningkatkan
taraf hidup mereka, sehingga permasalahan sosial seperti kemiskinan masih terus
membelit kehidupan mereka.
Salah
satu program pembangunan yang bertujuan mengentaskan kemiskinan masyarakat desa
-yang tercipta dari hasil kesepakatan pemerintah dengan Bank Dunia melalui Loan
Agreement No. 4330-IND-
dan saat ini dilakukan adalah Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Untuk
mencapai keberhasilan program ini sangat diperlukan partisipasi seluruh
komponen pembangunan utamanya masyarakat itu sendiri.
Dari
uraian tersebut di atas dianggap perlu untuk melakukan penelitian terkait
dengan apa yang terjadi dan dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian
sehubungan dengan pelaksanaan pembangunan di tempatnya. Untuk itulah,
penelitian ini dilakukan dengan mengambil judul “ Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembangunan Desa” (Studi Kasus pada Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa
Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang). Diharapkan, secara empiris
hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi tercapainya tujuan dan
proses pembangunan perdesaan yang partisipatif, khususnya melalui perbaikan
atau penyempurnaan langkah-langkah dalam pembangunan partisipatif.
1.2. Perumusan Masalah
Masalah
merupakan kesenjangan antara harapan dengan kenyataan, teori dengan praktek
maupun aturan dengan pelaksanaan. Dari latara belakang tersebut diatas terdapat
permasalahan dimana pelaksanaan pembangunan desa telah sepenuhnya diserahkan
kepada masyarakat –mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pemanfaatnya-,
dengan maksud masyarakat mampu mengatasi permasalahan sosial berupa kemiskinan,
keterbelakangan dan permasalahan sosial lainnya serta dapat meningkatkan taraf hidupnya.
Disisi
lain kesenjangan yang nampak adalah bahwa di Desa Tanggulrejo Kecamatan
Tempuran Kabupaten Magelang memiliki keterbatasan sumber daya manusia, dimana
masyarakat setempat kurang memiliki kemampuan untuk melaksanakan pembangunan
desa khususnya dalam merencanakan program pembangunan apa yang benar-benar
mereka butuhkan.
Berdasarkan latar belakang serta fenomena diatas, maka
permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan pembangunan desa
melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Tanggulrejo Kecamatan
Tempuran Kabupaten Magelang ?
2. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam
pembangunan desa melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa
Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang ?
3. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam
partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa melalui Program Pengembangan
Kecamatan (PPK) di Desa Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang ?
1.3.
Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan permasalahan di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan pelaksanaan pembangunan
desa melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Tanggulrejo Kecamatan
Tempuran Kabupaten Magelang.
2. Mengetahui partisipasi masyarakat dalam pembangunan
desa melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Tanggulrejo Kecamatan
Tempuran Kabupaten Magelang.
3. Mengetahui kendala-kendala partisipasi
masyarakat dalam pembangunan desa melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK)
di Desa Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang.
1.4.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Memberikan informasi ilmiah bagi dunia
pendidikan khususnya dibidang administrasi publik dalam mengembangkan teoritis
yang lebih luas dan mendalam khususnya yang berkaitan dengan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan desa.
2. Secara empiris hasil penelitian ini dapat
memberikan sumbangan bagi tercapainya tujuan pembangunan di daerah pedesaan
yang partisipatif, melalui perbaikan atau penyempurnaan langkah-langkah
kegiatan pembangunan yang baik dan mendasarkan pada kebutuhan atau aspirasi
masyarakat.
Anda bisa dapatkan Judul Skripsi Lengkap dengan
pembahasanya. Anda bisa mendownload filenya lengkap dengan isinya dengan cara
mengganti biaya pengetikan sebesar
Rp. 200.000,- Per Skripsi. Silahkan anda Pilih Judul
Skripsi yang anda inginkan beserta kode nomor
skripsi ke
wahyuddinyusuf87@gmail.com atau SMS
langsung kenomor 0819
3383 3343
Dengan
format, Nama – Alamat – Kode dan judul Skripsi– e.mail – No.Hp. Semua File
skripsi bisa anda unduh / Download apabila anda telah mendonasikan biaya pengetikan diatas.
Anda cukup mentransfer uang ke nomor rekening BRI 489201003415532
Atas nama
Wahyuddin, SE
Mudah bukan....... Ayo tunggu apa lagi....
dari pada bingung
dari pada bingung
No comments:
Post a Comment