Monday, 7 April 2014

15. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa” (Studi Kasus pada Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang).



BAB  I
PENDAHULUAN
1.1.        Latar Belakang
Masyarakat Indonesia sebagian besar berada di pedesaan, oleh karena itu perhatian pembangunan perlu lebih banyak diarahkan kepada pembangunan pedesaan. Titik tumpu pembangunan tidak bisa lain kecuali pada pembangunan desa dengan segala aspeknya. Keadaan yang demikian ini diperkuat oleh adanya kenyataan bahwa masyarakat pedesaan masih dihinggapi masalah sosial seperti kemiskinan, keterbelakangan dan berbagai kerawanan sosial lainnya. Untuk itu diperlukan suatu usaha yang terencana untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial masyarakat desa serta guna meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat.
Mardiasmo (2002) mengatakan bahwa selama masa orde baru, harapan yang besar dari masyarakat desa untuk dapat membangun desanya berdasarkan kemampuan dan kehendak sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Ini disebabkan oleh pola pendakatan sentralistik (top-down) yang penuh nuansa uniformitas (keseragaman) yang dikembangkan. Pemerintah kurang memberi keleluasaan (lokal discreation) kepada masyarakat untuk menentukan kebijakan pembangunan bagi desanya sendiri, sehingga mematikan inisiatif serta kreatifitas dari masyarakat dan pada gilirannya memunculkan tradisi “menunggu” (atau dalam bahasa jawa ‘sendiko dawuh’). Kondisi yang ada tersebut semakin parah ketika kewenangan yang diberikan kepada desa selama ini ‘untuk mengatur rumah tangganya sendiri’, tidak disertai dengan pemberian infrastruktur yang memadai, penyiapan sumber daya manusia yang profesional, dan pembiayaan. Akibatnya yang terjadi bukan terciptanya kemandirian suatu desa, tetapi justru ketergantungan desa terhadap pemerintah.
Pola top-down dalam pembangunan desa dikembangkan pemerintah dengan alasan untuk menjamin keberhasilan program-program pembangunan dan mengingat masih lemahnya sumber daya manusia yang ada di desa. Karena dua alasan tersebut, sentralisasi dalam pembangunan dipandang oleh pemerintah sebagai prasyarat untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi di desa.
Selain alasan tersebut diatas, campur tangan pemerintah dalam pembangunan disebabkan oleh beberapa faktor sebagaimana kesimpulan penelitian Rondinelli (1981) bahwa proses pembangunan pedesaan di negara-negara berkembang masih sangat tersentralisasi, meski hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor : pertama,  strategi dengan pola top-down,  sebagai  konsekuensi logis dari penerapan model pembangunan dari atas (development from above) yang sarat dengan nuansa state centered.  Kedua, pembangunan pedesaan sebagian besar dilakukan oleh orang luar (out siders) dan badan perencana dari pemerintah maupun konsultan (baik dalam negeri maupun asing) tanpa melibatkan masyarakat setempat secara aktif. Ketiga,  orientasi pembangunan untuk rakyat, secara struktural dan kultural memberikan imbas dalam pembangunan dimana peranan dominan yang dimiliki oleh pemerintah, yang kurang menghargai prakarsa dan inisiatif masyarakat untuk memiliki pikiran-pikiran alternatif, sehingga pembangunan tidak dapat menjawab permasalahan masyarakat yang begitu komplek.
Pada awalnya pandangan pola top-down tersebut terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya secara umum pembangunan di Indonesia termasuk didalamnya di daerah pedesaan mengalami perkembangan yang relatif baik. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi dengan pola top-down telah menimbulkan ketimpangan dan atau ketidakadilan, rendahnya akuntabilitas, lambatnya pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta memperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di desa.
Dampak lain dari sistem top down yang selama ini kita anut menyebabkan pemerintah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi masyarakat. Hal ini  terlihat dari banyaknya proyek pembangunan yang tidak menghiraukan manfaat yang dirasakan masyarakat, bahkan beberapa proyek sarat dengan petunjuk dan arahan dari pemerintah pusat.
Ketidak pekaan pemerintah terhadap aspirasi masyarakat serta minimnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan tersebut, dapat mengakibatkan masyarakat kurang merasa memiliki (sense belonging) terhadap hasil-hasil pembangunan, bahkan lebih lanjut menimbulkan akibat yang fatal dalam arti politis, yaitu memunculkan sikap apatis, frustasi, kecemburuan sosial dan ketidakpercayaan kepada pemerintah, dimana pada puncaknya sering menimbulkan ketegangan yang serius antara pemerintah dan rakyat, hal ini  terlihat dari banyaknya contoh kasus yang menunjukkan masyarakat sering menentang upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kunci keberhasilan dari suatu program pembangunan adalah partisipasi sebagai suatu conditio sine quanone atau keharusan yang tidak dapat ditawar.
Belajar dari fenomena tersebut, maka selanjutnya terjadi perubahan paradigma dalam pembangunan desa seiring diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. konsep otonomi desa yang tertuang didalamnya memberikan kedudukan yang kuat bagi desa dan masyarakatnya untuk melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhannya, dimana proses pembangunan secara bertahap telah bergeser mengarah kepada proses yang memungkinkan masyarakat dapat berpartisipasi secara keseluruhan (participatory development), sejak dari (a) prakarsa (dari masyarakat), (b) perencanaan, pelaksanaan dan pengendaliannya (oleh masyarakat), hingga kealokasian manfaatnya (untuk masyarakat).
Kondisi semacam ini didukung oleh pernyataan Suwignyo (1985) bahwa hakekat pengertian pembangunan adalah dari, untuk dan oleh masyarakat”, dengan demikian maka pembangunan di pedesaan menempatkan masyarakat desa sebagai subyek pembangunan dan bukan sebagai obyek pembangunan. Atau dengan kata lain bahwa pembangunan desa harus dapat dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri dan bukan dilakukan oleh pemerintah supra desa.
Subari (1992:63) dengan pendapat yang sama mengemukakan bahwa pembangunan harus menerapkan prinsip-prinsip desentralisasi, bergerak dari bawah (bottom up), mengikutsertakan masyarakat secara aktif (participatory), dilaksanakan dari dan bersama masyarakat (from and with people) dan koordinasi antar sektor serta kelembagaan yang ada di desa. Melalui proses semacam ini maka keinginan-keinginan dan kebutuhan masyarakat desa dapat disalurkan dan diwujudkan dalam program pembangunan desa.
Dari pemikiran diatas, jelaslah bahwa dalam pelaksanaan pembangunan desa sangat dibutuhkan prakarsa masyarakat setempat, dilakukan oleh masyarakat itu sendiri dan keputusan yang diambil bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri, serta dilakukan secara terus menerus, berkesinambungan dan berorientasi ke masa depan.
Namun demikian, bukanlah hal yang mudah untuk menyerahkan pelaksanaan pembangunan kepada masyarakat desa, mengingat banyak dilema yang terlibat dalam pembangunan. Salah satu dilema yang seringkali timbul dalam pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat adalah kurangnya kemampuan dan pengetahuan sumberdaya manusia. Dilema tersebut seringkali timbul pada saat perumusan arah dan tujuan yang akan dilakukan dalam pembangunan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Abe (2005:72) bahwa :
“jika perencanaan hendak melibatkan massa rakyat, maka terdapat beberapa kendala yang akan muncul, yakni : (1) terdapat kenyataan bahwa massa rakyat, umumnya adalah pihak yang tidak memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan formal yang memadai. Masalah seperti pendidikan rendah, kemampuan baca tulis, dan keterbatasan pengetahuan, membuat secara teknis, massa rakyat sulit untuk bisa ambil bagian secara produktif ; dan (2) terdapat suatu kenyataan bahwa massa rakyat telah sekian lama ada dalam politik otoriter-sentralistik. Massa rakayat telah ditradisikan dalam proses politik yang ‘mengekor’, pasif, takut mengambil inisiatif dan hidup dalam budaya petunjuk”.
Akibat dari kenyataan tersebut membuat langkah-langkah dalam pembangunan tidak mampu dilaksanakan dengan benar. Dengan pengetahuan, maka akan timbul pemahaman yang sama dan memadai terhadap persoalan yang dihadapi serta memudahkan dalam mengidentifikasi faktof-faktor penyebabnya, merumuskan bagaimana cara untuk mengatasinya sehingga dapat menentukan keputusan yang baik melalui potensi yang ada.
Pemikiran Abe tersebut sepenuhnya didukung oleh pernyataan Kartasasmita (1997:57) bahwa :
1.      Pembangunan hanya menguntungkan segolongan orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak, bahkan pada sisi ekstrem atau pada akhirnya dirasakan merugikan.
2.      Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut.
3.      Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat banyak dan rakyat memahaminya tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman rakyat.
4.      Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat, tetapi rakyat tidak diikutsertakan.
Untuk memotivasi masyarakat agar memiliki kemauan untuk berpartisipasi  dalam pembangunan, maka program pembangunan yang ditetapkan benar-benar menjamin bahwa pembangunan harus, :                              (1) menguntungkan rakyat ; (2) dapat dipahami oleh rakyat ; (3) harus mengikutsertakan rakyat dalam pelaksanaannya; (4) dilaksanakan sesuai dengan maksud dan keinginan rakyat secara jujur, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pada kondisi ini diperlukan pergeseran orientasi pemerintah dari command and control  menjadi stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur (wirausaha), untuk membangkitkan kembali kemauan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Orientasi pemerintah tersebut dilakukan melalui penyediaan program-program pembangunan, -termasuk didalamnya program pembangunan yang ditujukan bagi penyelesaian masalah sosial seperti kemiskinan-, yang dikembangkan dengan memadukan berbagai aspirasi yang berkembang di masyarakat serta menyerahkan sepenuhnya mekanisme pelaksanaannya kepada masyarakat. Melalui program-program semacam inilah diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Khususnya masyarakat di Desa Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang pelaksanaan beberapa program pembangunan, baik yang didanai oleh APBD Kabupaten Magelang maupun murni swadaya masyarakat seringkali terbentur pada keterbatasan masyarakat. Masyarakat tersebut tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan pembangunan khususnya dalam kegiatan perencanaan seperti : mengindentifikasikan permasalahan, merencanakan langkah-langkah dan memutuskan program pembangunan apa yang benar-benar meraka butuhkan.
Gambaran diatas tercermin pada Program Pendukung Pembangunan Desa/Kelurahan (P3D/K) yang dilaksanakan pada tahun 2002. dimana pada pelaksanaan program yang sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat saat itu seharusnya lebih diprioritaskan pada pengerasan jalan desa yang masih berupa tanah yang sulit dilewati pada musim penghujan, namun justru mereka lebih memilih untuk merehabilitasi jembatan lokal yang kondisinya relatif masih cukup bagus. Kegiatan rehabilitasi tersebut juga nampak ‘kurang matang’ akibat keterbatasan sumber daya manusia, terlihat dari perencanaan yang tidak memperhatikan aspek kontruksi dan pemeliharaannya sehingga kerusakan pada jembatan terjadi dalam waktu yang relatif singkat.
Masyarakat Desa Tanggulrejopun seperti kurang terbiasa dengan pola keterlibatan proses pembangunan yang bersifat dari, oleh dan untuk masyarakat. Beberapa program-program pembangunan yang selama ini melibatkan mereka, meskipun dirancang dengan semangat ‘bottom up’, namun tetap saja masih menganut pola keharusan adanya juklak (petunjuk pelaksanaan) atau juknis (petunjuk teknis). Hal ini terbukti dari penyusunan APBDes dari tahun 2000-2002. Hal yang menjadi kewajiban pemerintah desa dan masyarakat melalui BPD ini, dalam penyusunannya diserahkan kepada pegawai kecamatan sebagai akibat belum diterbitkannya surat keputusan bupati tentang petunjuk pelaksanaan penyusunan APBDes.
Tentunya hal ini seringkali justru berdampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat yang bersifat semu. Kenyataan tersebut tentu saja membuat masyarakat tidak dapat terlibat untuk memberikan pendapatnya untuk menentukan arah pembangunan desa. Atau dengan kata lain, bukti ini menunjukkan masyarakat dalam kondisi tidak berdaya untuk mengakses pada program-program pembangunan, khususnya pada keputusan-keputusan yang secara nyata dapat mensejahterakan dan meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga permasalahan sosial seperti kemiskinan masih terus membelit kehidupan mereka.
Salah satu program pembangunan yang bertujuan mengentaskan kemiskinan masyarakat desa -yang tercipta dari hasil kesepakatan pemerintah dengan Bank Dunia melalui Loan Agreement No. 4330-IND- dan saat ini dilakukan adalah Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Untuk mencapai keberhasilan program ini sangat diperlukan partisipasi seluruh komponen pembangunan utamanya masyarakat itu sendiri.
Dari uraian tersebut di atas dianggap perlu untuk melakukan penelitian terkait dengan apa yang terjadi dan dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian sehubungan dengan pelaksanaan pembangunan di tempatnya. Untuk itulah, penelitian ini dilakukan dengan mengambil judul “ Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa” (Studi Kasus pada Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang). Diharapkan, secara empiris hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi tercapainya tujuan dan proses pembangunan perdesaan yang partisipatif, khususnya melalui perbaikan atau penyempurnaan langkah-langkah dalam pembangunan partisipatif.
1.2. Perumusan Masalah
Masalah merupakan kesenjangan antara harapan dengan kenyataan, teori dengan praktek maupun aturan dengan pelaksanaan. Dari latara belakang tersebut diatas terdapat permasalahan dimana pelaksanaan pembangunan desa telah sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat –mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pemanfaatnya-, dengan maksud masyarakat mampu mengatasi permasalahan sosial berupa kemiskinan, keterbelakangan dan permasalahan sosial lainnya serta dapat meningkatkan  taraf hidupnya.
Disisi lain kesenjangan yang nampak adalah bahwa di Desa Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang memiliki keterbatasan sumber daya manusia, dimana masyarakat setempat kurang memiliki kemampuan untuk melaksanakan pembangunan desa khususnya dalam merencanakan program pembangunan apa yang benar-benar mereka butuhkan.
Berdasarkan latar belakang serta fenomena diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.    Bagaimana pelaksanaan pembangunan desa melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang ?
2.    Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang ?
3.    Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang ?
1.3. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1.    Mendeskripsikan pelaksanaan pembangunan desa melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang.
2.    Mengetahui partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang.
3.    Mengetahui kendala-kendala partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Tanggulrejo Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang.
1.4. Manfaat  Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1.    Memberikan informasi ilmiah bagi dunia pendidikan khususnya dibidang administrasi publik dalam mengembangkan teoritis yang lebih luas dan mendalam khususnya yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa.
2.    Secara empiris hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi tercapainya tujuan pembangunan di daerah pedesaan yang partisipatif, melalui perbaikan atau penyempurnaan langkah-langkah kegiatan pembangunan yang baik dan mendasarkan pada kebutuhan atau aspirasi masyarakat.


Anda bisa dapatkan Judul Skripsi Lengkap dengan pembahasanya. Anda bisa mendownload filenya lengkap dengan isinya dengan cara mengganti biaya pengetikan sebesar Rp. 200.000,- Per Skripsi. Silahkan anda Pilih Judul Skripsi yang anda inginkan beserta kode nomor skripsi ke wahyuddinyusuf87@gmail.com atau SMS
langsung kenomor 0819 3383 3343
Dengan format, Nama – Alamat – Kode dan judul Skripsi– e.mail – No.Hp. Semua File skripsi bisa anda unduh / Download apabila anda telah mendonasikan biaya pengetikan diatas.

Anda cukup mentransfer uang ke nomor rekening BRI 489201003415532
Atas nama Wahyuddin, SE

Mudah bukan....... Ayo tunggu apa lagi....
dari pada bingung


No comments:

Post a Comment