BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada hakekatnya pembangunan adalah suatu
proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana.
Pentingnya pembangunan daerah, karena pada dasarnya pembangunan daerah
merupakan suatu proses untuk meratakan pembangunan dan hasil-hasilnya ke
seluruh penjuru tanah air.
Perencanaan pembangunan daerah merupakan
kegiatan
yang tidak mudah karena akan berhadapan dengan berbagai permasalahan yang sangat kompleks dan komprehensif (meliputi berbagai aspek sosial kemasyarakatan) dari suatu keadaan yang ada di wilayah terkait. Kegiatan perencanaan pembangunan daerah tidak bisa dilakukan secara individual, melainkan harus dilaksanakan secara tim (tim work), baik dalam arti kerjasama tim antar anggota perencana maupun kerjasama dalam arti institusional. Dalam konteks perencanaan pembangunan daerah, perlu adanya suatu lembaga yang secara khusus mengemban fungsi untuk merencanakan dan mengkoordinasikan pembangunan di daerah.
yang tidak mudah karena akan berhadapan dengan berbagai permasalahan yang sangat kompleks dan komprehensif (meliputi berbagai aspek sosial kemasyarakatan) dari suatu keadaan yang ada di wilayah terkait. Kegiatan perencanaan pembangunan daerah tidak bisa dilakukan secara individual, melainkan harus dilaksanakan secara tim (tim work), baik dalam arti kerjasama tim antar anggota perencana maupun kerjasama dalam arti institusional. Dalam konteks perencanaan pembangunan daerah, perlu adanya suatu lembaga yang secara khusus mengemban fungsi untuk merencanakan dan mengkoordinasikan pembangunan di daerah.
Pada awal Pelita I dilaksanakan dengan
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1964 dengan dibentuknya Lembaga Pelaksanaan Pembangunan
Daerah yang disebut dengan Badan Koordinasi Pembangunan Daerah (Bakopda) untuk
daerah tingkat propinsi, namun dalam pelaksanaannya tidak memberikan hasil
seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan Bakopda yang ada di daerah tidak
mampu melaksanakan koordinasi pembangunan sehingga berjalan tersendat-sendat.
Memasuki Pelita
II, Pemerintah berusaha menciptakan suatu sistem administrasi pemerintahan yang
efektif dan efisien dan salah satunya adalah penyempurnaan dan perbaikan
organisasi perencana dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun
1974 tentang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Sebagai tindak
lanjut operasionalnya, maka dikeluarkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1974 tentang Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Bappeda.
Melihat perubahan dunia yang semakin
transparan dan global, maka pemerintah merasa perlu mengadakan peninjauan dan
pengkajian kembali terhadap Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1974 tersebut.
Mengingat hal ini, maka dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1980
tentang pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang merupakan
satu-satunya badan yang bertugas menyusun rencana pembangunan daerah,
mengkoordinasikan kegiatan pembangunan dan melakukan monitoring kegiatan
pembangunan di daerah.
Sebagai implementasi dari Keppres tersebut,
maka dikeluarkanlah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 185 Tahun 1980 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Bappeda Tingkat I dan Tingkat II yang sekaligus
menyatakan tidak berlakunya Peraturan Perundangan yang terdahulu yang
menyangkut Keppres Nomor 15 Tahun 1974 dan ketentuan lain tentang Bappeda.
Secara rinci fungsi Bappeda Tingkat II diatur
dalam Keppres Nomor 15 Tahun 1974, Keppres Nomor 27 Tahun 1980 dan Kepmendagri
Nomor 185 Tahun 1980 serta Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
maupun Surat Keputusan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
Mengingat tugas yang harus diemban Bappeda
merupakan fungsi-fungsi yang sangat penting dalam pembangunan maka berhasil
tidaknya pelaksanaan pembangunan di daerah terutama dalam memasuki otonomi
daerah ditentukan oleh efektivitas Bappeda dalam menjalankan fungsi tersebut.
Sejak otonomi daerah diberlakukan, kebutuhan
akan data dan informasi yang akurat, mutakhir, dan dapat diperoleh secara cepat
makin dirasakan. Pemerintah pusat selalu membutuhkan data dan informasi dari
daerah untuk menentukan besaran dana perimbangan (DAU, DAK, Bagi Hasil).
Sebaliknya, pemerintah daerah memerlukan data untuk membantu pemda
menyelenggarakan pemerintahan daerah. Dan diharapkan daerah dapat menyusun
pangkalan data (database) yang
berkualitas baik, lengkap, dan terstruktur. Dengan demikian maka daerah dapat dengan
mudah dan cepat melihat peluang investasi dan potensi daerahnya untuk
meningkatkan perekonomiannya, yang pada akhirnya akan memberdayakan daerah di
era otonomi ini untuk menuju e-government
di Indonesia.
Sistem
informasi telah berkembang seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang
sangat cepat dan terbukti sangat berperan dalam kegiatan perekonomian dan
strategi penyelenggaraan pembangunan. Keberadaan sistem informasi mendukung
kinerja peningkatan efisiensi, efektivitas dan produktivitas organisasi
pemerintah dan dunia usaha, serta mendorong pewujudan masyarakat yang maju dan
sejahtera. Sistem informasi yang dibutuhkan, dimanfaatkan, dan dikembangkan
bagi keperluan pembangunan daerah adalah sistem informasi yang terutama
diarahkan untuk menunjang perencanaan pembangunan daerah. Hal ini perlu diingat
karena telah terjadi perubahan paradigma menuju desentralisasi di berbagai
aspek pembangunan.
Salah satu paradigma baru itu adalah perihal
perencanaan pembangunan daerah. Mulai tahun 2001, seiring dengan pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, maka perencanaan
pembangunan daerah telah diserahkan kepada pemerintah daerah. Dan dengan
terbitnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional yang bertujuan untuk mendukung koordinasi antarpelaku
pembangunan; menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik
antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat
dan Daerah; menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; mengoptimalkan partisipasi
masyarakat; dan menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien,
efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Dengan demikian, kiat di balik desentralisasi
adalah peningkatan pelayanan kepada masyarakat, partisipasi dalam perencanaan
pembangunan, dan pencapaian akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.
Telah banyak dikembangkan sistem informasi
yang berbasis data perencanaan pembangunan, yang beroperasi baik di pusat
maupun di daerah. Pada umumnya sistem informasi yang telah dikembangkan itu
hanya menyangkut aspek tertentu dalam perencanaan pembangunan. Misalnya, Sistem
Informasi Manajemen Departemen Dalam Negeri (Simdagri) dan SIM Daerah (Simda),
yang penerapan pengelolaannya di daerah dilakukan oleh Kantor Pengolahan Data
Elektronik (KPDE) di daerah. Contoh lain adalah yang berkaitan dengan aspek
ruang, yaitu Sistem Informasi Geografis (SIG), yang dikembangkan melalui proyek
berbantuan luar negeri Land Resources Evaluation and Planning (LREP) dan Marine
Resources Evaluation and Planning (MREP); atau sistem informasi yang menyangkut
aspek lingkungan, seperti Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah
(NKLD) serta Neraca Sumber Daya Alam dan Spasial Daerah (NSASD) di setiap
daerah.
Sebagai
salah satu sistem informasi, Sistem Informasi dan Manajemen Perencanaan
Pembangunan Daerah (Simreda) diharapkan dapat menata berbagai aspek data
perencanaan pembangunan itu secara komprehensif dan sebagai acuan tunggal bagi
para perencana pembangunan, baik di pusat maupun daerah untuk :
1. Memahami
jenis-jenis data yang dibutuhkan perencanaan pembangunan serta memahami
beberapa perangkat analisis yang dapat dimanfaatkan untuk menyusun rencana
pembangunan.
2. Mengisikan
data, sebagai wujud komitmen membangun sistem informasi perencanaan pembangunan
yang komprehensif secara nasional.
3. Memanfaatkannya sebagai masukan (input) kebijakan, baik perencanaan, implementasi, pemantauan,
maupun pengendaliannya (controlling).
Sejalan
dengan itu, kendala-kendala yang dihadapi Bappeda dalam proses penyusunan
rencana tahunan daerah dapat dikatakan relatif sama. Walapun ada variasi hal
itu dipahami karena kondisi daerah yang tentunya berbeda peluang dan
tantangannya. Kekurangan efektivitas Bappeda tersebut diduga disebabkan oleh
kurangnya profesionalisme aparatur, kurangnya prasarana dan sarana, struktur
dan prosedur kerja serta sistem informasi.
Kekurangan tenaga perencana di daerah juga
menjadi masalah karena kualitas perencanaan pembangunan daerah sangat
tergantung pada kemampuan, keahlian dan keluwesan para perencananya disamping
teknik dan metode yang digunakan. Selain itu, faktor sistem informasi yang
kurang memadai untuk rujukan dalam perencanaan pembangunan daerah akan sulit
untuk merumuskan tujuan yang hendak dicapai. Karena tersedianya data yang up to date akan membantu para perencana
pembangunan daerah dalam pengambilan keputusan.
Kekurangan
efektivitas Bappeda juga dialami pada Bappeda Kabupaten Ngawi, dalam arti bahwa
proses perencanaan pembangunan daerah yang bertujuan mengoptimalkan potensi
sekaligus mengurangi ketimpangan pembangunan di daerah masih jauh dari harapan
karena munculnya berbagai kendala seperti kurang konsistennya perencanaan pada
daerah tingkat atas maupun daerah sendiri.
Berdasarkan
pengalaman empiris selama ini di lapangan serta hasil pengamatan penulis secara
langsung, kurang efektivitas Bappeda Kabupaten Ngawi dalam menyusun rencana
pembangunan daerah disebabkan setiap perencanaan menghadapi kurangnya kemampuan
aparatur perencana yang berkualitas, sarana dan prasarana serta sistem
informasi yang kurang terbuka. Kondisi pegawai pada Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kabupaten Ngawi dilihat dari tingkat pendidikan formalnya, sebagian
besar (63 orang) terdiri dari: S2 sebanyak 4 orang dan S1 sebanyak 40 orang,
sedangkan yang berpendidikan D3 sebanyak
2 orang, SLTA sebanyak 13 orang, SLTP
sebanyak 3 orang dan SD sebanyak 1 orang. Yang telah mengikuti diklat
struktural SPAMEN sebanyak 1 orang, diklat SPAMA sebanyak 4 orang dan diklat
ADUMLA/ADUM sebanyak 24 orang. Sedangkan diklat teknis fungsional TMPP dasar
sebanyak 5 orang, TMPP Lanjutan sebanyak 2 orang, Renstra sebanyak 2 orang, dan
diklat Tata Ruang sebanyak 1 orang. Dalam proses penyusunan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang yang dulunya disebut Pola Dasar (Poldas) dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah yang dulunya disebut Rencana Strategis (Renstra) yang secara
tegas merupakan produk asli Bappeda, karena kekurangan tenaga perencanaan
menyebabkan lebih banyak dilimpahkan kepada Perguruan Tinggi, Bappeda lebih
banyak sebagai koordinator dan penyandang dana. Hal itu
mengindikasikan bahwa Bappeda masih belum aktif melaksanakan fungsi perencanaan
sebagai salah satu tugas pokoknya.
Di
dalam penyusunan rencana kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh Bappeda
Kabupaten Ngawi masih terjadi keterlambatan dan kesalahan-kesalahan didalam
perencanaan pembangunan daerah, dimana ada beberapa dokumen rencana kegiatan
terjadi kesalahan dan harus diadakan perubahan sehingga mengalami keterlambatan
dalam kegiatannya sehingga berpengaruh
terhadap kegiatan serta kualitas pembangunan daerah. Dalam perencanaan, seringkali fokus
pembangunan tidak melihat sektor apa yang perlu dibangun, akan tetapi banyak
rencana pembangunan yang masih sama dengan tahun lalu dan sebenarnya tidak
perlu untuk dilaksanakan. Misalnya pembuatan infrastruktur yang salah sasaran. Hal
ini karena data dan informasi yang digunakan masih menggunakan data dan
informasi tahun sebelumnya. Selain itu ada data dan informasi yang
dihasilkan dari kegiatan penelitian yang dilakukan instansi teknis dalam tiap
tahun anggaran di bidang ekonomi, sosial budaya dan fisik. Tetapi Bappeda tidak
memasukan hasil-hasil penelitian tersebut sebagai masukan penetapan kebijakan
di bidang perencanaan.
Disamping itu dalam pembahasan usulan
kegiatan pembangunan dari kecamatan dan instansi teknis di daerah dalam forum
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten/Kota tidak dikaji dan diseleksi
dengan menggunakan kriteria-kriteria yang jelas. Sebab usulan kegiatan dari
instansi teknis, banyak yang tidak dilengkapi dengan data pendukung yang jelas
seperti hasil studi kelayakan, kerangka logis, analisis pohon masalah dan
perkiraan biaya. Sasaran kegiatan yang diusulkan kurang memperhatikan masalah
dan kebutuhan masyarakat serta tidak konsisten terhadap arahan sasaran dan
tujuan pembangunan yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan yang harus
diwujudkan.
Dalam hal ini seharusnya Bappeda tidak hanya
bertindak sebagai “penampung” berbagai usulan/rencana dari institusi teknis
lainnya, melainkan harus mampu bertindak sebagai “motor” pengerak yang dapat
mengakomodir, menganalisis, menjabarkan berbagai permasalahan dan kepentingan
yang berbeda menuju suatu konsesus bersama dalam wujud rumusan hasil
perencanaan pembangunan daerah. Manfred Poppe dalam Riyadi (2004 : 12) mengemukakan
bahwa untuk merancang dan menciptakan proses perencanaan yang partisipatif di
tingkat daerah, perencanaan daerah harus mencapai pemahaman tentang kerangka
organisasi perencana dimana perencanaan pembangunan akan dilaksanakan.
Pemahaman tentang kerangka organisasi itu
sendiri, dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap peran dan fungsi institusi,
peran dan fungsi perencana, kemampuan sumber daya perencana, lingkungan yang
dapat mempengaruhi organisasi, termasuk juga masalah sistem yang berlaku di
dalam organisasi perencana tersebut.
Dari gambaran diatas, maka dalam penelitian ini
akan mencoba mengkaji mengenai pengaruh pendidikan aparatur perencana dan
sistem informasi terhadap efektivitas organisasi perencanaan pembangunan daerah
yang ada di Kabupaten Ngawi.
1.2 Identifikasi
dan Rumusan Masalah
Organisasi perencanaan pembangunan daerah dibentuk dengan
tujuan yang pokok yaitu menyusun rencana pembangunan jangka panjang, jangka
menengah dan tahunan. Karena itu sangat diperlukan kemampuan atau keahlian dari
aparatur perencana pembangunan daerah dalam mengelola organisasi tersebut.
Demikian juga halnya dengan proses
perencanaan pembangunan daerah, perencana selaku SDM perencanaan merupakan
faktor utama yang menggerakkan pelaksanaan perencanaan. Dengan cukup
tersedianya tenaga perencana pembangunan daerah akan sangat mendukung terhadap
perencanaan pembangunan daerah. Akan tetapi yang menjadi sorotan adalah apakah
tenaga perencana ini cukup tersedia di daerah ?
Kekurangan tenaga perencana di daerah menjadi
problema karena perencanaan pembangunan mensyaratkan pengetahuan yang mendalam
tentang proses pembuatannya, juga dibutuhkan wawasan yang tidak terbatas pada
teori saja melainkan persepsinya harus menjangkau berbagai kenyataan yang ada
di lapangan. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Riyadi (2004 : 25) bahwa
setiap perencana pembangunan daerah dituntut untuk memiliki pengetahuan dan wawasan
luas yang jauh ke depan serta harus memiliki kemampuan yang bersifat
multidisipliner dan intersektoral.
Memang tidak dapat disanggah bahwa
pengetahuan yang sifatnya teoritikal sangat penting, sebab dengan pengetahuan
ini, kemampuan penalaran yang bersangkutan dianggap telah berkembang sedemikian
rupa sehingga berbagai kemampuan intelektualnya dapat dituangkan secara jelas,
dan rumusan rencana yang jelas pula. Akan tetapi dalam profesionalisme
dibutuhkan pengalaman operasionalisme sehingga para perencana tersebut dapat
memadukan teori dan kenyataan.
Faktor kedua
yang mempengaruhi terhadap keberhasilan organisasi perencanaan pembangunan
daerah di dalam perencanaan pembangunan daerahnya adalah faktor sistem
informasi. Tanpa tersedianya bahan yang menjadi rujukan untuk perencanaan
pembangunan akan sulit bagi organisasi untuk merumuskan tujuan yang hendak
dicapai yang tertuang dalam rencana.
Dari
latar belakang permasalahan dan identifikasi permasalahan diatas, dapatlah disusun
rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana
gambaran pendidikan aparatur perencana pembangunan daerah di Kabupaten Ngawi ?
2. Bagaimana
gambaran sistem informasi dalam perencanaan pembangunan daerah di Kabupaten
Ngawi ?
3. Sejauhmana
pengaruh pendidikan aparatur perencana pembangunan daerah dan sistem informasi
secara simultan maupun parsial terhadap efektivitas organisasi perencanaan pembangunan
daerah ?
4. Variabel manakah diantara
variabel pendidikan aparatur perencana
pembangunan daerah dan sistem informasi
yang mempunyai kontribusi dominan
terhadap efektivitas organisasi perencanaan pembangunan daerah?
1.3 Tujuan
Penelitian
Dari perumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan
sebagai berikut :
1. Untuk
mendeskripsikan pendidikan aparatur perencana pembangunan daerah dan sistem
informasi di Kabupaten Ngawi.
2. Untuk
menguji pengaruh secara simultan maupun parsial antara pendidikan aparatur
perencana pembangunan daerah dan sistem informasi terhadap efektivitas organisasi
perencanaan pembangunan daerah.
3. Untuk menjelaskan faktor
yang berpengaruh dominan terhadap efektivitas organisasi perencanaan
pembangunan daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat
:
1. Dapat diketahui
cara-cara yang harus dilakukan Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan
efektivitas organisasi perencanaan pembangunan daerah, khususnya di Kabupaten
Ngawi di masa mendatang.
2. Dapat digunakan
sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan perencanaan
pembangunan daerah khususnya.
Anda bisa dapatkan
Judul Skripsi Lengkap dengan pembahasanya. Anda bisa mendownload filenya
lengkap dengan isinya dengan cara mengganti biaya pengetikan sebesar Rp. 200.000,- Per
Skripsi.
Silahkan anda Pilih Judul Skripsi yang anda inginkan
beserta kode nomor skripsi ke wahyuddinyusuf87@gmail.com atau
SMS langsung kenomor 0819 3383 3343
Dengan format, Nama – Alamat – Kode dan
judul Skripsi– e.mail – No.Hp.
Semua File skripsi bisa anda unduh / Download
apabila anda telah mendonasikan biaya pengetikan diatas.
Anda cukup mentransfer biaya pengetikan ke nomor rekening BRI 489201003415532
Atas nama Wahyuddin, SE
Mudah bukan....... Ayo tunggu apa lagi....
dari pada bingung.
No comments:
Post a Comment