WARUNG TRADISIONAL vs WARUNG MODERN
Pada era globalisasi ini perkembangan pasar ritel semakin ketat setiap tahun. Ini dapat dilihat dari semakin banyaknya industri pasar ritel seperti Giant, Carrefour, Hypermart, Alfamart. Indomaret, dan lain sebagainya. Pembangunanya pun hampir di setiap tempat strategis yang padat penduduk.
Masing-masing pasar ritel menawarkan banyak fasilitas. Yang membedakannya adalah
kepuasan konsumen, kenyamanan, pelayanan, keamanan dan lain sebagainya. Pasar ritel tidak hanya membeli produk jadi dari pabrik dan menjualnya langsung kepada konsumen tetapi juga memproduksi barang sendiri seperti gula, beras, air mineral, kapas, tissue dan lain sebagainya. Harga yang ditawarkannya pun ternyata lebih murah daripada produk sejenis dengan kualitas yang hampir sama.
kepuasan konsumen, kenyamanan, pelayanan, keamanan dan lain sebagainya. Pasar ritel tidak hanya membeli produk jadi dari pabrik dan menjualnya langsung kepada konsumen tetapi juga memproduksi barang sendiri seperti gula, beras, air mineral, kapas, tissue dan lain sebagainya. Harga yang ditawarkannya pun ternyata lebih murah daripada produk sejenis dengan kualitas yang hampir sama.
Misalkan saja perbandingan harga air mineral Giant lebih murah daripada air mineral Aqua. Ternyata pasar ini mempunyai strategi yang hebat. Selain menjual hasil produk mereka dangan harga yang lebih murah daripada produk sejenis, mereka juga meletakkan produk tersebut di tempat strategis yang sering dilewati pengunjung sewaktu memilih barang. Dengan cara itu konsumen bisa menilai sendiri produk yang lebih sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Bicara perkembangan retail, khususnya retail modern di Indonesia sangatlah menarik dan penuh dengan hal-hal yang membuat kita ingin terus mencari tahu. Retail modern di Indonesia terus berkembang sejak masuknya pemain-pemain global seperti Makro, Carrefour, Giant, dll. Persaingan setiap tahun akan terus meningkat dan akan semakin sangat menarik. Persaingan dengan lokasi, lokasi, lokasi dan disertai strategi-strategi baru terus muncul. Persaingan di tahun 2009 diwarnai hal baru yaitu dengan hadirnya Lotte, Hypermarket asal Korea yang mengakuisisi Makro dan hadirnya minimarket 7 Eleven. Sekilas kita lihat persaingan dan strategi yang diterapkan oleh retail retail modern tahun 2008 .
1. Strategi Low Price ”Harga Murah”
Hampir semua kelas retail dari minimarket sampai dengan Hypermarket mengklaim memberikan harga murah kepada konsumennya dan bahkan beberapa retail mengklaim produk tertentu mereka paling murah, seperti minyak goreng, susu, detergent , dll. Strategi “Low Price“ ini, retail tidak bekerja sendiri tapi ada juga yang bekerja sama dengan supplier. Strategi ini juga memberikan hasil yang sangat baik bagi retail. Terbukti dari tingkat pengunjung yang meningkat begitupula brand image dari retail bersangkutan.
2. Strategi PWP (Purchase with Purchase)
Strategi ini hampir sepanjang tahun 2008 dilakukan oleh retail baik minimarket, supermarket maupun hypermarket. Berbagai produk dipakai sebagai alat untuk mendatangkan konsumen ke toko dan hal ini cukup efektif membuat konsumen untuk datang ke toko. Mau tidak mau supplier harus mengucurkan budget tambahan untuk ikut serta bermain dalam strategi ini.
3. Strategi Extra Barang/ Pemberian hadiah
Strategi juga cukup menarik minat konsumen walau tidak lebih baik dari low price dan PWP. Konsumen cukup senang dengan pembelian 2 extra 1 dan sebagainya.
4. Strategi “Kartu Kredit”
Bermula dari strategi yang diterapkan oleh Carrefour dengan kerjasama dengan bank. Dimana pemegang kartu kredit tertentu akan mendapatkan diskon khusus. Pelopor strategi ini adalah Carrefour dengan sambutan yang sangatlah mengejutkan. Konsumen sepertinya tidak berhenti-henti belanja dan semaksimal mungkin mengesek kartu kreditnya bahkan kalau perlu pinjam lagi ke teman atau ke tetangganya. Program ini berdampak baik, baik untuk retail maupun bank yang menerbitkan kartu kredit. Kini, strategi ini juga diterapkan juga oleh retail selain Carrefour. Bahkan kondisi berkembang menjadi kerjasama keanggotaan khusus antara retail dan bank seperti BCA & Carrefour, Hypermart & Mandiri.
5. Strategi ”Kartu Anggota”
Strategi ini sebenarnya hampir sama dengan Kartu Kredit, hanya strategi ini lebih mengarahkan agar konsumen menjadi anggota atau royal terhadap retail bersangkutan. Contoh penerapan strategi ini adalah MCC matahari.
Hal-hal di atas adalah beberapa strategi yang diterapkan oleh retail di tahun 2008 di samping strategi-strategi lain. Setelah melihat sedikit peta tahun di tahun 2008, kita mulai bisa membayangkan kondisi yang akan terjadi tahun di 2009 untuk retail indonesia yang disertai dengan kondisi ekonomi global yang sedang sakit dan adanya pemilu di tahun 2009.
Mari kita akan coba mengupas kondisi retail tahun 2009. Sedikit menyinggung mengenai pasar tradisional, di tahun 2009 semakin banyak pasar tradisional yang akan terdesak oleh pertempuran retail-retail modern. Pasar tradisional akan semakin banyak yang tutup dan akan semakin banyak juga pasar tradisional yang merubah konsepnya menjadi pasar tradisional modern yang bersih dan dikelola khusus.
Pertumbuhan Retail modern pun akan terus terjadi walau beberapa area di Pulau Jawa sudah mulai membatasi pembukaan minimarket bahkan mulai membatasi area untuk supermarket dan hypermarket. Perkembangaan luar Jawa dengan otonomi daerah saat ini, akan membuat retail modern terus melakukan expansi ke luar Jawa untuk menjaga pertumbuhan dan persaingan yang terjadi. Retail dengan kelas minimarket tetap akan bersaing khusus adalah Indomaret dan Alfamart yang mempunya skala nasional serta terus memperluas jaringan tokonya ke luar Jawa. Di Jawa Barat sendiri persiangan akan ditambah dengan Yomart yang terus melakukan expansi, saat ini pun Yomart sudah melakukan penetrasi ke area Jakarta. Sementara itu rencana hadirnya 7 Eleven di indonesia pada bulan Januari 2009, belum akan mengubah persaingan di kelas minimarket, hal ini juga dikarenakan segmentasi dan strategi yang berbeda dari 7 eleven. Di kategori Supermarket tidak akan banyak perubahan dari tahun 2008, hal ini karena kelas supermarket akan terus bertahan dan mencoba terus melakukan pembenahan di tengah-tengah persaingan antara supermarket itu sendiri, minimarket dan hypermarket.
Persaingan akan semakin hebat adalah terjadi di kategori Hypermarket, hadirnya Lotte akan menambah persaingan lebih hebat, strategi-strategi yang diterapkan oleh hypermarket-hypermarket tahun 2008 akan tetap terjadi di tahun 2009 dan ditambah dengan strategi-strategi baru yang khusus. Perluasan jaringan, seperti yang dilakukan oleh hypermarket oleh Matahari Group dengan mengubah Matahari menjadi Hypermart, Hero Group dengan mengubah Hero menjadi Giant dan Carrefour mengubah Alfa menjadi Carrefour Express setelah diakuisisi. Perluasan jaringan ini membuat persaingan dan pertempuran Hypermarket ini semakin sering dan terjadi dimana-mana bahkan di setiap area. Persaingan ini bisa saling merugikan atau terakhir yang menjadi korban adalah supplier jika persaingan ini sudah menjadi tidak sehat dan mengarah pada pemerasan terhadap supplier untuk mendukung setiap strategi Retail.
Persaingan-persaingan yang terjadi terus menerus tentukan akan menguntungkan konsumen pada umumnya, karena konsumen semakin banyak pilihan dan mendapat harga-harga khusus. Perdebatan antara supplier dan retail saat ini terus terjadi, Undang-undang yang sedang dibahas bersama untuk mengatur kondisi trading term dan berbagai kerjasama sampai saat ini masih ditunggu dan terus diperdebatkan, salah satu sisi supplier ditekan oleh retail salah satu sisi retail merasa ini adalah kerjasama dan persaingan.
Tentu akan lebih baik dan lebih sehat adalah retail dan supplier sama-sama saling sadar dan melengkapi, bekerjsama dengan baik dan menghindari unsur-unsur atau istilah-istilah menekan, memeras dan sebagainya, hal yang secara keseluruhan harus dilihat adalah konsumen, masyarakat pada umumnya dan pertumbuhan ekonomi yang baik, sehingga bangsa ini akan lebih baik dan kesempatan kerja akan meningkat serta ekonomi akan semakin baik.
RITEL TRADISIONAL MATI BERDIRI
Perkembangan Mini Market Waralaba
Hero Supermarket mendirikan Starmart pada tahun 1991. Di susul Alfa Group mendirikan Alfa Minimart pada tahun 1999 yang kemudian berubah menjadi Alfamart. Dalam hitungan tahun, mini market telah menyebar ke berbagai daerah seiring dengan perubahan orientasi konsumen dalam pola berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari. Dulu konsumen hanya mengejar harga murah, sekarang tidak hanya itu saja tetapi kenyamanan berbelanja pun menjadi daya tarik tersendiri.
Bisnis mini market melalui jejaring waralaba alias franchise berkembang biak sampai pelosok kota kecamatan kecil. Tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Khususnya mini market dengan brand Indomaret dan Alfamart. Siapa yang tidak kenal Indomaret? Dan siapa yang tidak kenal Alfamart? Anak kecil pun kalau beli permen pasti “nunjuknya” minta ke Indomaret atau ke Alfamart. Kedua merk ini dimiliki oleh group perusahaan raksasa yaitu Indomaret milik PT. Indomarco Prismatama (Indofood Group) dan Alfamart milik perusahaan patungan antara Alfa Group dan PT. HM Sampoerna, Tbk.
Indomaret ternyata berkembang tidak hanya dengan jejaring waralaba yang mencapai 785 gerai, tetapi gerai milik sendiri seabreg jumlahnya mencapai 1072 gerai. Sedangkan Alfamart berdasarkan penelusuran penulis di www.alfamartku.com memiliki 1400 gerai, tidak diperoleh data mengenai jumlah yang dimiliki sendiri dan yang dimiliki terwaralaba.
Bila kita hitung rata-rata nilai investasi minimal untuk mendirikan mini market waralaba sekitar Rp. 300 juta saja (di luar bangunan). Dikalikan dengan 1.072 gerai yang dimiliki sendiri. Berapa ratus milyar PT. Indomarco Prismatama mengeluarkan dana untuk investasi di bisnis mini market? Indofood Group juga ternyata tidak saja pemilik merk Indomaret, tetapi juga mendirikan mini market Omi, Ceriamart, dan Citimart lewat anak perusahaannya yang lain. Belum lagi didukung dengan distribusi barang, bahkan juga sebagai produsen beberapa merk kebutuhan pokok sehari-hari. Semua dikuasai dari hulu sampai hilir. Dari Sabang sampai Merauke.
Persaingan Tidak Seimbang
Pasti kita maklum bersama, betapa sengitnya persaingan di bisnis ritel khususnya Indomaret dan Alfamart sebagai market leader mini market. Dengan mengutip kalimat dalam artikel Sektor Ritel Makin Menggiurkan pada SwaSembada No.01/XX/6-8 Januari 2005 (sumber: www.indomaret.co.id) bahwa ”Yang mungkin sangat sengit persaingannya adalah dalam hal perebutan lokasi. Pastinya setiap pemain memperebutkan lokasi-lokasi yang dinilai strategis. Apalagi di bisnis ini lokasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Perebutan lokasi strategis ini, bisa juga berpengaruh terhadap harga property. Bisa saja harga ruko jadi naik karena tingginya demand terhadap mini market.”
Jadi betapa agresifnya Indomaret dan Alfamart dalam memperebutkan lokasi yang dinilai strategis. Bahkan hampir di setiap komplek perumahan/ pemukiman pasti akan berdiri salah satu mini market waralaba tersebut dan atau keduanya. Sudah tidak mungkin pedagang eceran tradisional akan mampu mencari lokasi strategis lagi untuk saat ini dan di masa mendatang. Jika kita bandingkan dari modal saja, pedagang eceran sudah sulit bergerak.
Selain itu supermarket, toserba, dan bahkan kini ada pasar raksasa bernama hypermarket bermunculan. Baik hypermarket lokal maupun hypermarket dari luar sana. Sekedar ilustrasi mari kita berhitung sejenak, berapa banyak jumlah pasar raksasa tersebut mulai dari Jalan Thamrin, Cikokol sampai BSD City di serpong, Tangerang. Di Kota Modern (Modernland) ada Hypermart , lalu hanya sekitar berjarak 1 km berdiri megah Carefour. Berikutnya di Serpong Town Square, kebon nanas berdiri Giant Hypermarket. Kemudian di World Trade Centre (WTC) Matahari, Serpong berdiri kembali Hypermart. Di samping pintu gerbang perumahan Villa Melati Mas, ada lagi Giant Hypermarket. Dan di International Trade Centre (ITC) BSD City ada Carefour. Semua itu jaraknya antara pasar raksasa yang satu dengan pasar raksasa yang lain hanya sekitar 1 km. Luarrr biasa!
Apalagi jika kita melihat perang harga promosi mini market atau lebih gila lagi hypermarket raksasa. Dengan spanduk atau baliho besar bertuliskan nama barang dan harganya yang fantastis rendah! Entah banting harga atau memang harga beli mereka yang teramat rendah bila di bandingkan dengan harga beli pedagang eceran kecil bergerai warung atau toko tradisional. Memang tidak semua barang berharga murah, tetapi membanting harga sedemikian rendahnya di bawah harga pasar, membuat miris para pedagang eceran kecil. Masih untung Cuma perang harga!
Dengan tidak bermaksud menggugat cara-cara promosi yang dilakukan oleh para pengelola pasar raksasa tersebut. Penulis hanya ingin mengajak kepada para pengelola pasar raksasa untuk membayangkan sejenak. Bagaimana perasaan pedagang warung dan toko tradisional, ketika ada konsumen bilang “di hypermarket aja harganya sekian???”. Kita tidak menyalahkan konsumen yang punya pemikiran demikian, membandingkan harga di hypermarket dengan di warung atau toko tradisional. Juga tidak bisa menyalahkan hypermarket dengan promosi harga yang gila-gilaan. Mungkin ini salah satu fenomena globalisasi.
Posisi Pasar Pengecer Tradisional
Melihat dari sisi manapun, posisi pedagang tradisional semakin terjepit. Menjerit. Dan merintih tergilas persaingan bisnis yang tidak seimbang. Bisakah kita membayangkan? Posisi pedagang tradisional yang modalnya hanya semangat berwirausaha dengan sedikit uang puluhan juta. Bersaing dengan mini market waralaba yang modalnya ratusan juta plus jaringan distribusi barang yang sangat baik, didukung system operasional prosedur dan kecanggihan tekhnologi. Ternyata cukup ampuh untuk mematahkan tulang punggung keluarga pedagang eceran tradisonal.
Sekedar urun rembug, perubahan orientasi konsumen dalam pola berbelanja tidak mungkin berubah. Konsumen lebih memilih gerai modern untuk berbelanja. Selain konsumen mendapatkan kenyamanan berbelanja, pelayanan yang prima, juga harga barang terkesan murah. Oleh karena itu maka jalan keluar bagi pedagang eceran tradisional adalah merubah gerai menjadi gerai modern mini market mandiri (sendiri), yang bisa dibangun dengan modal di bawah Rp.100 juta. Kemudian berkolaborasi antar mini market mandiri dalam pengadaan barang dagangan. Selanjutnya bla…bla… atur strategi bersaing untuk menghadapi persaingan bisnis ritel agar berkeseimbangan.
Sebetulnya pemilik warung tak perlu resah, walaupun bagaimanapun kehadiran mini market tetap menjadi pesaing. Bukankah kita hidup, sadar atau tidak sadar, selalu dengan persaingan. Saat melamar pekerjaan kita harus mengalahkan para pelamar yang lain, saat berbelanja kita berebut dengan yang lain, bahkan saat naik bis kota pun kita juga ingin lebih dulu dari yang lain. Yang terpenting bagaimana kita menyiasati persaingan tersebut.
Apapun, warung menawarkan kedekatan dengan pelanggannya baik secara lokasi maupun emosional. Dan lebih jauh pemilik warung harus berani mencari sumber barang yang lebih murah, serta mengelola keuangannya dengan lebih baik agar dapat menjadi modal untuk menjadi warung yang lebih baik.
Sekali lagi, tidak bermaksud menggugat pola pengembangan usaha dengan jejaring waralaba. Analisa penulis, waralaba sangat baik untuk proses pembelajaran, pemerataan usaha, dan meminimalisir monopoli. Tetapi apa yang terjadi, ternyata gerai mini market lebih banyak dimiliki perusahaan sendiri. Seharusnya perusahaan yang sudah dikembangkan dengan system waralaba tidak perlu lagi mengembangkan sayapnya dengan memiliki gerai sendiri. Tetapi kemudian peraturan perundang-undangannya tidak ada yang melarang untuk hal itu. Semua perusahaan bebas menggurita walaupun pedagang eceran tradisional mati berdiri. Hidup enggan, mati tak mau. Mati tak mau tapi sulit bertahan hidup.
No comments:
Post a Comment