SEREBRAL PALSI
A.
Pendahuluan
Setiap
orangtua tentu menginginkan anaknya lahir dengan sempurna, memperoleh
pendidikan dan pekerjaan yang layak. Ketika hal tersebut tidak terpenuhi, tak
jarang di antara mereka yang kecewa bahkan tidak ingin menyekolahkan anaknya
yang berkebutuhan khusus.
Sebenarnya
tidak ada anak cacat,
melainkan anak berkebutuhan khusus, karena anak-anak yang dianggap cacat itu sebenarnya sama saja dengan anak-anak pada umumnya, punya kelebihan dan kekurangan. Tetapi karena pemahaman sebagian masyarakat yang kurang, maka masyarakatlah yang memberi label cacat itu.
melainkan anak berkebutuhan khusus, karena anak-anak yang dianggap cacat itu sebenarnya sama saja dengan anak-anak pada umumnya, punya kelebihan dan kekurangan. Tetapi karena pemahaman sebagian masyarakat yang kurang, maka masyarakatlah yang memberi label cacat itu.
Untuk
itu perlu dipahami sebuah pendekatan kepada masyarakat bahwa mereka yang
mempunyai keterbatasan ada dalam lingkungan mereka, sama-sama mempunyai hak
yang sama dengan anak yang normal pada umumnya.
Jika
kita melihat anak-anak yang mengalami kecacatan mental, mungkin kita
beranggapan bahwa mereka mengalami jenis kecacatan mental yang sama. Namun kita
harus mengetahui kecacatan mental yang dialami anak-anak tersebut berbeda
penyebabnya yang dalam hal ini adalah cerebral palsy.
Walaupun perkembangan dan kemajuan dalam bidang obstetrik
dan perinatologi akan mengakibatkan penurunan angka
kematian bayi yang pesat, namun tidak dapat mencegah peningkatan
jumlah anak cacat. Ini disebabkan, meskipun bayi berhasil
diselamatkan dari keadaan gawat, akan tetapi biasanya meninggalkan
gejala sisa akibat kerusakan jaringan otak yang gejala-gejalanya
dapat terlihat segera ataupun di kemudian hari.
B.
Definisi
Berbagai definisi telah dikemukakan
oleh para sarjana. Clark (1964) mengemukakan, yang dimaksud
dengan CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak
pada pusat motorik atau jaringan penghubungnya,
yang kekal dan tidak progresif, yang terjadi pada masa
prenatal, saat persalinan atau sebelum susunan saraf
pusat menjadi cukup matur, ditandai dengan adanya paralisis, paresis, gangguan
kordinasi atau kelainan-kelainan fungsi motorik. Pada
tahun 1964 World Commission on Cerebral Palsy
mengemukakan definisi CP sebagai berikut
: CP adalah suatu kelainan dari fungsi gerak dan sikap
tubuh yang disebabkan karena adanya kelainan atau cacat
pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Sedangkan
Gilroy dkk (1975), mendefinisikan CP sebagai suatu
sindroma kelainan dalam cerebral control terhadap fungsi motorik sebagai akibat dari gangguan perkembangan
atau kerusakan pusat motorik atau jaringan penghubungnya dalam susunan saraf
pusat.
Definisi lain : CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih
muda (sejak dilahirkan), dan merintangi perkembangan
otak normal dengan gambaran klinik yang dapat berubah
selama hidup, dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan
pergerakan, disertai kelainan neurologik berupa kelumpuhan spastik, gangguan
ganglia basalis dan serebelum.
C.
Insidensi
Para peneliti dari berbagai negara
melaporkan insidensi yang berbeda-beda yaitu: 1,3 per 1000
kelahiran di Denmark (Erik Hansen); 5 per 1.000 anak di
Amerika Serikat (Gilroy), dan 7 per 100.000 kelahiran di
Amerika (Phelps); 6 per 1.000 kelahiran hidup di Amerika
(Ingram, 1955 dan Kurland,1957). Di Indonesia, belum ada data mengenai insidensi CP. Pada
KONIKA V Medan (1981), R. Suhasim dan Titi Sularyo melaporkan
2,46% dari jumlah penduduk Indonesia menyandang gelar
cacat, dan di antaranya ± 2 juta adalah anak. CP merupakan jenis cacat pada
anak yang terbanyak dijumpai. Di Jaipur, Meenakshi
Sharma dkk (1981) menyelidiki 219 CP, 150 di antaranya
adalah laki-laki dan 69 perempuan. Terdiri dari 42 anak
umur kurang 1 tahun, 113 antara 1 - 5 tahun, 52 antara 5
- 10 tahun dan 12 di atas 10 tahun.
Angka kejadiannya sekitar 1 – 5 per 1000 anak. Laki-laki
lebih banyak dari pada wanita. Sering terdapat pada anak pertama, mungkin anak
pertama lebih sering mengalami kesulitan pad waktu dilahirkan. Angka
kejadiannya lebih tinggi pada bayi BBLR dan anak kembar. Umur ibu sering lebih
dari 40 tahun, lebih-lebih pada multipara.
Franky (1994) pada penelitiannya di RSUP Sanglah
Denpasar, mendapatkan bahwa 58,3 % penderita cerebral palsy yang diteliti
adalah laki-laki, 62,5 % anak pertama, umur ibu semua dibawah 30 tahun, 87,5 %
berasal dari persalinan spontan letak kepala dan 75 % dari kehamilan cukup
bulan.
D.
Etiologi
CP bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab. CP
merupakan group penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi dapat
mempunyai penyebab yang berbeda. Untuk menentukan penyebab CP, harus digali
mengenai hal : bentuk CP, riwayat kesehatan ibu dan anak, dan onset penyakit.
Di USA, sekitar 10 – 20 % disebabkan karena penyakit
setelah lahir (prosentase tersebut akan lebih tinggi pada negara-negara yang
belum berkembang). CP dapat juga merupakan hasil dari kerusakan otak pada
bulan-bulan pertama atau tahun-tahun pertama kehidupan yang merupakan sisa dari
infeksi otak, misalnya meningitis bakteri atau enchepalitis virus, atau
merupakan hasil dari trauma kepala yang sering akibat kecelakaan lalu lintas,
jatuh atau penganiayaan anak.
Sebab-sebab yang dapat menimbulkan
CP pada umulnnya secara kronologis dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
Prenatal : gangguan
pertumbuhan otak,
penyakit metabolisme, penyakit
plasenta, penyakit ibu : toksemia gravidarum,
toksopiasmosis, rubella, sifilis dan radiasi
Natal : partus lama,
trauma kelahiran
dengan perdarahan subdural, prematuritas, penumbungan
atau lilitan talipusat,
atelektasis yang menetap, aspirasi
isi lambung dan usus,
sedasi berat pada ibu
Post natal : penyakit
infeksi : ensefalitislesi oleh trauma, seperti fraktur
tengkorak,
hiperbilirubinemia/kernikterus, gangguan
sirkulasi darah seperti mboli/trombosis otak
E.
Neurofisiologik
Dan Patologik
Perubahan neuropatologik pada CP bergantung pada
patogenesis, derajat dan lokalisasi kerusakan dalam susunan saraf pusat
(SSP). Semua jaringan SSP peka terhadap kekurangan oksigen.
Kerusakan yang paling berat terjadi pada neuron, kurang
pada neuroglia dan jaringan penunjang (supporting
tissue) dan paling minimal pada
pembuluh darah otak. Derajat kerusakan ada hubungannya
acute neuronal necrosis tanpa
kerusakan pada neuroglia. Penyembuhan terjadi dengan
fagositosis bagian yang nekrotik, proliferasi neuroglia dan pembentukan
jaringan parut yang diikuti dengan retraksi sekunder. Pada
hipoksia yang lebih berat, terjadi kerusakan baik pada neuron
maupun neuroglia, mengakibatkan terjadinya daerah dengan
perlunakan, penyembuhan yang lambat, atrofi dan pembentukan
jaringan parut yang luas. Kerusakan-kerusakan yang
paling berat terjadi pada bagian SSP yang sangat peka terhadap
hipoksia yaitu korteks serebri, agak kurang pada ganglia
basalis dan serebelum, sedangkan batang otak dan medula
spinalis mengalami kerusakan yang lebih ringan. Perdarahan
ringan oleh trauma persalinan biasanya diabsorpsi tanpa kerusakan yang menetap.
Hematoma subdural yang biasanya unilateral tersering
ditemukan pada bagian verteksi dekat sinus
longitudinalis, menyebabkan kerusakan jaringan otak yang
berada di bawahnya oleh karena nekrosis tekanan,
menghasilkan ensefalo malaria yang akhirnya terjadi atrofi
dan pembentukan jaringan parut. Perdarahan intraserebral jarang menghasilkan
porencephalic cavity.
Menurut Perlstein dan Barnett, suatu trauma
kepala dan perdarahan intrakranial pada umumnya akan
melibatkan sistem piramidal, sedangkan anoksia terutama
mengenai sistem ekstrapiramidal. Manifestasi klinik
kelainan ini bergantung pada hebatnya dan lokalisasi
lesi yang terjadi, apakah ia di korteks serebri, ganglia basalis ataukah di serebelum. Kernikterus
menyebabkan kerusakan pada masa nukleus yang dalam, ditandai dengan warna kuning, kerusakan berupa nekrosis dan lisis neuron yang diikuti dengan proliferasi neuroglia dan pengerutan yang hebat. Pada kelainan bawaan otak, misalnya agenesis/hipogenesis bagian-bagian otak dan hidrosefalus, akan terjadi gangguan perkembangan.
F.
Gambaran
Klinis Dan Klasifikasi
Manifestasi klinik CP bergantung pada lokalisasi dan
luasnya jaringan otak yang mengalami kerusakan, apakah pada korteks
serebri, ganglia basalis atau serebelum. Dengan demikian secara klinik dapat
dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada CP, yaitu
: spastisitas, atetosis dan ataksia.
a) Spastisitas.
Spastisitas terjadi terutama bila sistem piramidal yang mengalami
kerusakan, meliputi 50--65% kasus CP. Spastisitas ditandai
dengan hipertoni, hiperrefleksi, klonus, refleks patologik positif. Kelumpuhan
yang terjadi mungkin monoplegi, diplegi/hemiplegi,
triplegi atau tetraplegi. Kelumpuhan tidak hanya
mengenai lengan dan tungkai, tetapi juga otot-otot leher yang berfungsi menegakkan kepala.
b) Atetosis.
Atetosis meliputi 25% kasus CP, merupakan gerakan-gerakan
abnormal yang timbul spontan dari lengan, tungkai atau leher
yang ditandai dengan gerakan memutar mengelilingi sumbu
"kranio-kaudal", gerakan bertambah bila dalam keadaan emosi. Kerusakan terletak pada ganglia basalis dan disebabkan oleh asfiksi berat
atau jaundice.
c) Ataksia.
Bayi/anak dengan ataksia menunjukkan
gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan dan
adanya nistagmus. Anak berjalan dengan langkah lebar,
terdapat intention tremor meliputi ±
5%. Lokalisasi lesi yakni di serebelum.
d) Rigiditas.
Merupakan bentuk campuran akibat
kerusakan otak yang difus. Di
samping gejala-gejala motorik, juga dapat disertai gejala-gejala bukan motorik,
misalnya gangguan perkembangan mental, retardasi
pertumbuhan, kejang-kejang, gangguan sensibilitas,
pendengaran, bicara dan gangguan mata.
G.
Pemeriksaan
Diagnostik
Diagnosis dini dan tepat adanya lesi di otak sangat
penting
sebagai dasar dalam seleksi prosedur-prosedur terapeutik yang
akan diambil.
Pada anamnesis perlu diketahui mengenai riwayat
prenatal, persalinan dan post natal yang dapat dikaitkan dengan adanya lesi
otak. Tahap-tahap perkembangan fisik anak harus
ditanyakan, umpamanya kapan mulai mengangkat kepala,
membalik badan, duduk, merangkak, berdiri dan berjalan.
Pada pemeriksaan fisik diperhatikan adanya spastisitas lengan/tungkai,
gerakan involunter, ataksia dan lain-lain. Adanya
refleks fisiologik seperti refleks moro dan tonic
neck reflex pada anak
usia 4 bulan harus dicurigai adanya CP, demikian pula
gangguan penglihatan, pendengaran, bicara dan menelan,
asimetri dari kelompok otot-otot, kontraktur dan tungkai
yang menyilang menyerupai gunting.
DIAGNOSIS BANDING
CP perlu dibedakan dengan : proses degenerasi SSP,
miopati, neuropati, tumor medula spinalis, tumor otak, hidrosefalus,
poliomielitik atipik, idiocy, trauma otak atau saraf perifer, korea
sydenham s, subdural higroma dan tumor intrakranial.
PEMERIKSAAN
KHUSUS
Untuk menyingkirkan diagnosis banding maupun untuk keperluan
penanganan penderita, diperlukan beberapa pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang
sering dilakukan, ialah :
- Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis CP ditegakkan.
- Pungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan suatu proses degeneratif. Pada CP likuor serebrospinalis normal.
- Pemeriksaan Elektro Ensefalografi dilakukan pada penderita kejang atau pada golongan hemiparesis baik yang berkejang maupun yang tidak.
- Foto kepala (X-ray) dan CT Scan.
- Penilaian psikologik perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pendidikan yang diperlukan.
- Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain retardasi mental.
Selain pemeriksaan di atas, kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan arteriografi dan pneumoensefalografi individu.
Untuk memperoleh hasil yang maksimal, penderita CP perlu
ditangani oleh suatu Team yang
terdiri dari: dokter anak, ahli saraf, ahli jiwa, ahli
bedah tulang, ahli fisioterapi, occupational therapist,guru luar biasa,
orang tua penderita dan bila perlu ditambah dengan ahli
mata, ahli THT, perawat anak dan lain-lain.
H.
Penatalaksanaan
Pada
umumnya penanganan penderita CP meliputi :
1)
Reedukasi dan rehabilitasi.
Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset,
seseorang
penderita CP perlu mendapatkan terapi yang sesuai dengan
kecacatannya. Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat oleh
masing-masing terapist. Tujuan yang akan dicapai perlu juga disampaikan
kepada orang tua/famili penderita, sebab dengan demikian
ia dapat merelakan anaknya mendapat perawatan yang cocok
serta ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan
hidupnya sendiri. Fisio terapi bertujuan untuk mengembangkan
berbagai gerakan yang diperlukan untuk memperoleh
keterampilan secara independent untuk aktivitas sehari-hari. Fisio terapi ini
harus segera dimulai secara intensif. Untuk mencegah
kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita sewaktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat
latihan. Fisio terapi dilakukan sepanjang hidup
penderita. Selain fisio terapi, penderita CP perlu
dididik sesuai dengan tingkat inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila
mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang
normal. Di Sekolah Luar Biasa dapat dilakukan speech therapy dan occupational therapy yang disesuaikan dengan keadaan penderita. Mereka sebaiknya diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan kendaraan bersanrm-sama sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk itu pekerja sosial
dapat membantu di rumah dengan melihat seperlunya.
2)
Psiko terapi untuk anak dan
keluarganya.
Oleh karena gangguan tingkah laku
dan adaptasi sosial sering menyertai CP, maka psiko terapi perlu
diberikan, baik terhadap penderita maupun terhadap keluarganya.
3) Koreksi operasi.
Bertujuan untuk mengurangi spasme
otot, menyamakan kekuatan otot yang antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan operasi lebih sering dilakukan pada
tipe spastik dari pada tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan
pada anggota gerak bawah dibanding -dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi
yang dilakukan disesuaikan dengan jenis operasinya,
apakah operasi itu dilakukan pada saraf motorik, tendon,
otot atau pada tulang.
4) Obat-obatan.
Pemberian obat-obatan pada CP
bertujuan untuk memperbaiki gangguan tingkah laku, neuro-motorik dan untuk
mengontrol serangan kejang.
Pada penderita CP yang kejang. pemberian obat anti kejang memeerkan hasil yang baik dalam mengontrol kejang, tetapi pada CP tipe spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Demikian pula obat muskulorelaksan kurang berhasil menurunkan tonus otot pada CP tipe spastik dan atetosis. Pada penderita dengan kejang
diberikan maintenance anti
kejang yang disesuaikan dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal,
dilantin dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang
berlebihan, obat golongan benzodiazepine, misalnya :
valium, librium atau mogadon dapat dicoba. Pada keadaan
choreoathetosis diberikan artane.
Tofranil (imipramine) diberikan pada keadaan depresi. Pada
penderita yang hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5 -- 10 mg pada pagi
hari dan 2,5 -- 5 mg pada waktu tengah hari.
I.
Pencegahan
Pencegahan merupakan usaha yang terbaik. CP dapat dicegah
dengan jalan menghilangkan faktor etiologik kerusakan jaringan
otak pada masa prenatal, natal dan post natal. Sebagian daripadanya sudah dapat
dihilangkan, tetapi masih banyak pula yang sulit untuk
dihindari. "Prenatal dan perinatal care" yang baik dapat menurunkan
insidens CP. Kernikterus yang disebabkan "haemolytic disease of the new
born" dapat dicegah dengan
transfusi tukar yang dini, "rhesus incompatibility" dapat dicegah
dengan pemberian "hyperimmun anti D immunoglobulin"
pada ibu-ibu yang mempunyai rhesus negatif. Pencegahan lain
yang dapat dilakukan ialah tindakan yang segera pada
keadaan hipoglikemia, meningitis, status epilepsi dan lain-lain.
J.
Kesimpulan
Cerebral Palsy adalah suatu kerusakan jaringan otak yang bersifat
permanen dan tidak progresif. Walaupun demikian, gambaran kliniknya masih dapat berubah dalam perjalanan hidup penderita. Insidensi
penyakit ini di luar negeri bervariasi antara 0,07 -- 6per 1.000 kelahiran hidup. Di Indonesia masih belum diketahui.
Faktor penyebab mungkin terletak pada masa prenatal, natal dan post natal. Perubahan neuropatologik pada CP berlokasi pada
korteks motorik, ganglia basalis dan serebelum. Manifestasi
klinik bergantung pada lokalisasi dan luasnya kerusakan jaringan otak.
Dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada CP,
yaitu spastisitas, atetosis dan ataksia. Diagnosis
ditegakkan atas adanya riwayat yang berkaitan dengan
kemungkinan adanya kerusakan jaringan otak dan kelainan fisik/neurologik yang
sesuai. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang.
Penanganan meliputi :
reedukasi/rehabilitasi, psiko terapi, tindakan
operasi dan pemberian obat-obatan, yang melibatkan suatu
team yang terdiri dari berbagi
disiplin keahlian. Prognosis bergantung pada : berat
ringannya CP, gejala-gejala penyerta, cepatnya dimulai dan intensipnya
penanganan, sikap dan kerjasama penderita/keluarga serta masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.
(terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Darto saharso. (2006). Cerebral Palsy Diagnosis dan Tatalaksana.
Kelompok Studi Neuro-developmental Bagian Ilmu Kesehtan Anak FK Unair RSU Dr.
Soetomo. Surabaya.
L.Wong, Donna. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik .
(terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
M.Sacharin, Rosa. (1986). Prionsip Keperawatan Pediatrik.
Edisi 2, Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Martin T, Susan. (1998). Standar Perawatan Pasien. Volume 4.
(terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Penerbit buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Soetjiningsih,dr. (1998). Tumbuh Kembang Anak.
Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. (1997). Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
No comments:
Post a Comment