BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pemahaman dan pembenahan kembali
terhadap pendidikan hukum di tengah-tengah masyarakat dapat menjadi jendela
masa depan bagi pelaksanaan sistem hukum yang dianut. Dalam hal ini, seseorang
akan menemukan kerangka ekspresi dan tingkah laku dasar mengenai hukum; apakah
hukum itu, apakah yang harus dilakukan oleh para ahli hukum, bagaimana suatu
sistem hukum bekerja atau bagaimana seharusnya suatu sistem beroperasi. Melalui
pendidikan hukum, budaya hukum terus dialirkan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya.
Pendidikan hukum memberi peluang kepada
kita untuk dapat turut menentukan arah dan masa depan dari suatu masyarakat.
Mereka yang akan menjadi penentu sistem hukum dan mengisi posisi-posisi penting
kepemimpinan di dalam pemerintahan dan sektor privat, pada umumnya akan jatuh
terutama kepada para ahli hukum, setidaknya hal ini terjadi pada masyarakat
dunia barat, atau mereka yang lulus dari sekolah hukum. Apa yang mereka
pelajari dan bagaimana hal tersebut diajari kepada mereka sedikit banyak telah
memberikan efek dan nuansa terhadap tujuan akhir mereka, tingkah laku mereka
dan cara-cara bagaimana mereka mengambil peran penting di dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan.
B.
Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui perkembangan ilmu perbandingan hukum.
- Untuk mengetahui perbedaan sistem hukum anglosaxon dan hukum kontinental
- Untuk mengetahui ciri-ciri sistem hukum anglosaxon dan hukum kontinental
- Mengetahui perbedaan sistem hukum pidana di Indonesia dengan Negara lain misalnya Cina, Malaysia, Arab Saudi.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Ilmu
Perbandingan Hukum
Menjadi pertanyaan kemudian yaitu apakah sebenarnya
perbandingan hukum itu sendiri? Pada awalnya, masyarakat hukum menghadapi
kesulitan untuk mengartikan penggunaan dari terminologi perbandingan hukum (comparative
law). Secara garis besar telah terjadi pembagian ilmu hukum menjadi
cabang-cabang tersendiri dari hukum nasional, seperti misalnya hukum keluarga,
hukum pidana, hukum perjanjian, dan sebagainya. Namun demikian, perbandingan
hukum tidak juga dibedakan sebagaimana ilmu hukum lainnya. Ketidakjelasan ini
ternyata memberikan andil yang cukup besar terhadap munculnya kontroversi dan
kesalahpahaman yang menjadi salah satu faktor penghambat berkembangnya studi
perbandingan hukum. Salah satu konsekuensi logisnya, sebagaimana dikemukakan
oleh Myres McDougal bahwa perbandingan hukum seakan menjadi suatu literatur
yang tersimpan rapat, obsesif dan steril untuk jangka waktu yang cukup panjang
Metode suatu perbandingan dapat kita
katakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran dan pengetahuan
manusia sehari-hari. Secara sederhana, dalam berbagai tingkatannya,
memperbandingkan satu dengan yang lainnya merupakan hal yang pasti terjadi
hampir di dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Sebagaimana Hall menegaskan,
”to be sapiens is to be a comparatist.”
Melalui sejarah yang panjang, teknik
perbandingan ternyata telah memberikan kontribusi yang teramat penting dan berpengaruh
di seluruh bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam hal ini, perbandingan hukum
mempunyai signifikansi terhadap aplikasi yang sistematis dari teknik
perbandingan terhadap bidang hukum. Artinya, perbandingan hukum mencoba untuk
mempelajari dan meneliti hukum dengan menggunakan perbandingan yang sistematik
dari dua atau lebih sistem hukum, bagian hukum, cabang hukum, serta aspek-aspek
yang terkait dengan ilmu hukum.
Arti penting dari studi perbandingan
sebagai sebuah elemen dasar dalam pendidikan hukum juga telah digarisbawahi
dalam berbagai laporan resmi. Salah satu di antaranya yaitu datang dari American
Bar Association’s Committee on International dan Comparative Law jauh hari
sebelum maraknya perkembangan ilmu perbandingan hukum diperbincangkan. Dalam
laporan tersebut, pertama, berbagai langkah disarankan sebagai bentuk praktik
dalam mempromosikan penerapan perbandingan sebagai suatu metodologi untuk
pengajaran terhadap prinsip-prinsip sistem hukum Common Law
Kedua, perbandingan hukum memiliki
posisi sentral untuk memberikan kontribusi khusus bagi para ahli hukum yaitu
studi yang memiliki signifikansi dan nilai penting untuk penegakan hukum dalam
bingkai formulasi dan pengembangan konsep maupun gagasan, serta memberikan
pengetahuan terhadap tipe-tipe kelembagaan yang terlibat di dalamnya. Studi
terhadap ide dan konsep, serta signifikansinya terhadap hubungan antarmanusia
merupakan kajian utama dalam disiplin ilmu sosial, seperti misalnya ilmu hukum,
hal mana untuk mencapai maksud dan tujuannya haruslah dikerjakan secara
ekstensif verbalisasi
Para ahli perbandingan hukum dapat pula
menyumbangkan kontribusi penting bagi studi ilmu hukum dengan menemukan
pengertian konsekuensi umum dari pelaksanaan suatu sistem hukum terhadap pola
atau struktur tertentu dari model kelembagaannya. Sebagai contoh, permasalahan
apa yang menjadi kendala utama dalam suatu sistem hukum; dan bagaimana cara
menghindarinya ketika suatu sistem mempunyai struktur prosedur dan institusi
dari tipe umum yang dijalankan di negara-negara Eropa guna menangani
kasus-kasus perdata? Tentunya pertanyaan yang serupa dapat juga diajukan
mengenai bagaimanakah sistem dan prosedur hukum yang saat ini digunakan di negara-negara
dunia lain seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris atau India.
Penguasaan teknik perbandingan secara
otomatis akan memberikan pengetahuan tambahan bagi para Mahasiswa hukum
mengenai pola kerja berjalannya suatu sistem hukum, khususnya sistem hukum pada
negaranya masing-masing. Lebih dari itu, ilmu dasar dan lanjutan dari subjek
perbandingan hukum di masa yang akan datang tentunya menjadikan para mahasiswa
hukum lebih peduli terhadap interaksi di antara sistem hukum melebihi
kepeduliannya pada sistem hukum yang berlaku saat ini. Sebagai contoh, di
seluruh Amerika Serikat, mata kuliah perbandingan hukum nampaknya telah
dilaksanakan hampir secara keseluruhan dalam bingkai penelaahan berbagai materi
kuliah dan diskusi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan metode yang digunakan
dalam mempelajari mata kuliah sistem common law yang mereka anut. Metode
pengajaran ini, di mana pada umumnya dilakukan di negara-negara Eropa dan
Amerika Serikat sebelum terjadinya perkembangan metode kasus, sudah semakin
menyebar di berbagai Universitas.
Namun demikian, untuk mengembangkan ilmu
perbandingan hukum perlu juga kita ketahui beberapa hambatan utamanya. Hambatan
ini pernah dikemukakan oleh beberapa ahli dan pengajar ilmu perbandingan hukum,
salah satu di antaranya yaitu oleh Profesor Thayer. Menurutnya, perbandingan
suatu hukum pada dasarnya lebih tepat digunakan sebagai terminologi deskriptif
dan hal inilah yang sebenarnya dimaksudkan apabila kita berbicara mengenai
perbandingan hukum, yaitu suatu perbandingan baik secara keseluruhan ataupun
suatu bagian hukum tertentu dari dua atau lebih negara dengan membawa perbedaan
dan persamaan di antara mereka guna diambil suatu kesimpulan.
Di satu sisi, permasalahan linguistik
biasanya menjadi kendala utama yang dialami oleh sebagian besar peneliti bahan
perbandingan. Sayangnya, pertanyaan ini tidaklah pernah bisa dijawab melalui
pendekatan teoritis semata. Hal ini menjadi penting dan seringkali menjadi
faktor penghambat utama karena arti penting dari nilai perbandingan pada dasarnya
hanya dapat diselesaikan oleh seseorang yang tidak mempunyai kendala dalam
dunia bahasa. Oleh karena itu, bisa saja dikatakan bahwa berbagai macam studi
perbandingan hanya dapat dijalankan oleh mereka yang dianugerahi atau mempunyai
kemampuan di bidang bahasa. Sebagai contoh, terdapat beberapa aspek dari
perbandingan hukum yang tidak dapat dilakukan tanpa adanya pengetahuan terhadap
prinsip-prinsip pengetahuan bahasa di Eropa.
Pada sisi lain, hal tersebut menjadi
sangat tidak mungkin apabila studi perbandingan hukum terhadap sistem hukum
dari negara asal dengan sistem hukum dari negara lain, seperti misalnya
negara-negara Timur-Tengah atau Afrika, tidak sedikit pun menemukan kendala
bahasa. Sehingga bisa dikatakan bahwa sedikit-banyak kendala ini akan sangat
berpengaruh terhadap terjadinya perubahan makna dari terminologi hukum yang
digunakan. Lebih lanjut, permasalahan bahasa ini juga telah menjadi hambatan
utama dari sebagian besar studi pascasarjana dan kegiatan penelitian, sebab
sangat jarang ditemukan pada saat ini studi perbandingan yang hanya menggunakan
bentuk dan bahasa yang sederhana dan mendasar.
B.
Perbedaan System Hukum Anglo Saxon Dengan Eropa
Continental
Ada perbedaan yang sangat mendasar
antara sistem hukum Continental (Eropa) dan sistem hukum Anglo-Saxon (AS). Pada
sistem hukum continental, filosofinya tampak pada sifat-sifatnya yang represif,
yang senantiasa cenderung melindungi yang berkuasa. Hal ini bisa dimaklumi
karena yang berkuasa (waktu itu) adalah kolonial Belanda yang jelas ingin mempertahankan
dan mengokohkan kekuasaannya melalui berbagai undang-undang atau sistem
hukumnya.
Sedang sistem hukum Anglo Saxon selain tentunya ada sifat yang represif, namun sifat penekanannya lebih mengutamakan pada sifat-sifat yang preventif. Pasal-pasalnya merupakan rambu-rambu untuk mencegah munculnya KKN dalam segala bentuk maupun manifestasinya.
Sedang sistem hukum Anglo Saxon selain tentunya ada sifat yang represif, namun sifat penekanannya lebih mengutamakan pada sifat-sifat yang preventif. Pasal-pasalnya merupakan rambu-rambu untuk mencegah munculnya KKN dalam segala bentuk maupun manifestasinya.
Selain mencegah terjadinya white collar
crime dan corporate crime juga untuk mencegah terjadinya distorsi, keharusan
memberikan proteksi bagi kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan orang
perorang, serta menjamin partisipasi dan pengawasan sosial secara transparan
dan demokratis.
Dengan pengalaman krisis yang
multidimensi sekarang ini, bukankah sudah tiba waktunya untuk memikirkan secara
serius, untuk mengalihkan sistem hukum Continental kita ke hukum Angl-Saxon
bagi sistem hukum Indonesia Baru di masa mendatang. Mudah-mudahan. (Cartono
Soejatman)
Perbedaan mendasar Anglo Saxon dengan
Continental terletak pada perangkat hukum yang dipakai dan sistem politik yang
digunakan.
System anglo saxon
System anglo saxon
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem
hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim
terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem
hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika
Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara
bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum
Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara
lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan,
India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon,
namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya
penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang
karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum
lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara
Anglo-Saxon adalah sebuah wilayah yang
menarik. Nama Anglo-Saxon, sejak abad ke-8 lazim dipakai untuk menyebut
penduduk Britania Raya, yakni bangsa Germania yang berasal dari suku-suku
Anglia, Saks, dan Yut. Konon, pada tahun 400 M mereka menyeberang dari Jerman
Timur dan Skandinavia Selatan untuk menaklukkan bangsa Kelt, lantas mendirikan
7 kerajaan kecil yang disebut Heptarchi. Mereka dinasranikan antara 596-655 M.
Perbedaan paling utama ialah lapisan
menengah mancanegara kini lebih banyak berpangkal pada ekonomi informasi atau ekonomi
pengetahuan. Berbeda dengan masa pra-1966, gerak ekonomi di dunia sekarang
lebih mengandalkan peran pengolahan (informasi, jasa, teknologi) daripada
perekonomian produksi dan perdagangan. Ini berarti pendorong perekonomian lebih
banyak dilakukan oleh kecepatan dan ketepatan pengolahan ilmu pengetahuan
daripada pemroses produksi barang dan distribusi. Setiap hari sekitar US$ 1,6
trilyun diolah dalam transaksi valuta asing, sedangkan perdagangan barang
manufaktur (bermakna membuat barang dengan tangan) “hanya” sekitar US$ 600
milyar. Ini berarti lapisan menengah di mancanegara sebagian terbesar adalah
ahli pengolah otak daripada pengolah otot. Maka lapisan menengah masa kini
bukan lagi kaum pedagang tahun 1940-an atau 1950-an yang menjadi pemilik tanah,
modal, dan tenaga kerja. Lapisan menengah Indonesia kini makin terdiri atas
pekerja otak (insinyur, ahli hukum, akuntan, pialang pasar modal, dokter
spesialis). Kesetiaan mereka adalah pada keahlian profesinya, bukan terhadap
perusahaan tertentu.
Perbedaan mendasar Anglo Saxon dengan
Continental terletak pada perangkat hukum yang dipakai dan sistem politik yang
digunakan.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku
di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum
perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku
di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara
yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa
kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum
lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda,
khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
System hukum kontinental
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah
suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum
dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut
oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara
yang menganut sistem hukum ini.
Hal yang membedakan sistem Civil Law
dengan sistem Common Law (yang juga disebut sistem Anglo-Saxon) adalah, pertama,
pada Civil Law dikenal apa yang dinamakan “kodifikasi hukum”. Artinya pembukuan
jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan
lengkap. Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian hukum, penyederhanaan
hukum, dan kesatuan hukum. Contoh hukum yang sudah dikodifikasi dalam kitab undang-undang
adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Kitab-kitab
di atas ditulis dan disusun oleh pemerintah kolonial Belanda dan diberlakukan
di Indonesia sampai sekarang. Kedua, sistem hukum Eropa Kontinental tidak
mengenal adanya juri di pengadilan. Hakim yang memeriksa, mengadili, dan
memutuskan suatu perkara selalu adalah majelis hakim (panel),yang terdiri dari
tiga orang. Kecuali untuk kasus-kasus ringan dan kasus perdata, yang menangani
bisa hakim tunggal.
C.
Ciri-ciri Negara Hukum Anglosaxon dan Eropa Kontinental
ANGLO SAXON
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem
hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim
terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem
hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika
Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara
bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum
Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara
lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan,
India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon,
namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya
penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang
karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum
lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.
EROPA KONTINENTAL
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah
suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum
dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut
oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara
yang menganut sistem hukum ini.
1.
Adanya suatu sistem
pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat
2.
Bahwa pemerintah dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan
perundang-undangan
3.
Adanya jaminan terhadap
hak-hak asasi manusia (warga negara).
4.
Adanya pembagian kekuasaan
dalam negara.
5.
Adanya pengawasan dari
badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam
arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di
bawah pengaruh eksekutif.
6.
Adanya peran yang nyata dari
anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi
perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah
7.
Adanya sistem perekonomian
yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi
kemakmuran warga negara.
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Memang memprihatinkan cara kerja hukum
di Indonesia khusus untuk kasus korupsi. Terlalu lembut dan terkesan
memanjakan. Tak ada hukum yang memerintahkan koruptor yang kabur keluar negeri
untuk diseret pulang ke Indonesia. Yang paling bobrok adalah kasus Anggoro,
polisi tahu tempat tinggalnya di Singapura, polisi pun tahu kalau anggoro
adalah tersangka Koruptor, tapi hingga detik ini, kaki sang koruptor tersebut
tak bisa disentuh untuk diseret ke Indonesia.
Jika sudah begini, tak ada penyelesain dan tak ada kepastian hukum di Indonesia. Kalau perlu revisi kembali undang-undang yang mengatur hukum di Indonesia, hilangkan asas-asas HAM untuk para tersangka, karena si tersangka pun tak menggunakan HAM ketika melakukan aksi kejahatannya.
Berdasarkan beberapa pengalaman penelitian yang pernah dilakukan, cara untuk mengatasi kendala bahasa, jika hal ini diperlukan, dapat diatasi dengan melakukan kerjasama secara berkelompok. Artinya ketidaktahuan bahasa dapat ditanyakan kepada mereka yang menguasai betul struktur dan tata bahasa yang sedang ditelitinya. Sehingga, kendala yang dihadapi akan dapat saling ditutupi antara satu dengan yang lainnya.
Jika sudah begini, tak ada penyelesain dan tak ada kepastian hukum di Indonesia. Kalau perlu revisi kembali undang-undang yang mengatur hukum di Indonesia, hilangkan asas-asas HAM untuk para tersangka, karena si tersangka pun tak menggunakan HAM ketika melakukan aksi kejahatannya.
Berdasarkan beberapa pengalaman penelitian yang pernah dilakukan, cara untuk mengatasi kendala bahasa, jika hal ini diperlukan, dapat diatasi dengan melakukan kerjasama secara berkelompok. Artinya ketidaktahuan bahasa dapat ditanyakan kepada mereka yang menguasai betul struktur dan tata bahasa yang sedang ditelitinya. Sehingga, kendala yang dihadapi akan dapat saling ditutupi antara satu dengan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
John Henry Merryman, “Legal Education There and Here: A Comparison” dalam Stanford Law Review, Vol. 27, No. 3. (Feb., 1975), hal. 859-878.
Rudolf B. Schlesinger, “The Role of the ‘Basic Course’ in the Teaching of Foreign and Comparative Law” dalam the American Journal of Comparative Law, Vol. 19, No. 4. (Autumn, 1971), hal. 616-623.
Arthur T. von Mehren, “An Academic Tradition for Comparative Law?” dalam the American Journal of Comparative Law, Vol. 19, No. 4. (Autumn, 1971), hal. 624-632.
George Winterton, “Comparative Law Teaching” dalam the American Journal of Comparative Law, Vol. 23, No. 1. (Winter, 1975), hal. 69-118.
Myres S. McDougal, “The Comparative Study of Law for Policy Purposes: Value Clarification as an Instrument of Democratic World Order “, 1 Am.J. Comp.L., 1952, hal. 24 dan 29.Hall, Comparative Law and Social Theory, Baton Rouge, 1963, hal. 9. H. C. Gutteridge, “Comparative Law as a Factor in English Legal
Education” dalam Journal of Comparative Legislation
and International Law, 3rd Ser., Vol. 23, No. 4. (1941), hal. 130-144.
Arthur T. von Mehren, An Academic Tradition for Comparative Law, supra note no. 3.
Catatan kakinya gak ada?
ReplyDelete