Wednesday, 25 December 2013

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM: SISTEM HUKUM ANGLOSAXON DAN HUKUM KONTINENTAL



BAB I
                                                                  PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pemahaman dan pembenahan kembali terhadap pendidikan hukum di tengah-tengah masyarakat dapat menjadi jendela masa depan bagi pelaksanaan sistem hukum yang dianut. Dalam hal ini, seseorang akan menemukan kerangka ekspresi dan tingkah laku dasar mengenai hukum; apakah hukum itu, apakah yang harus dilakukan oleh para ahli hukum, bagaimana suatu sistem hukum bekerja atau bagaimana seharusnya suatu sistem beroperasi. Melalui pendidikan hukum, budaya hukum terus dialirkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Pendidikan hukum memberi peluang kepada kita untuk dapat turut menentukan arah dan masa depan dari suatu masyarakat. Mereka yang akan menjadi penentu sistem hukum dan mengisi posisi-posisi penting kepemimpinan di dalam pemerintahan dan sektor privat, pada umumnya akan jatuh terutama kepada para ahli hukum, setidaknya hal ini terjadi pada masyarakat dunia barat, atau mereka yang lulus dari sekolah hukum. Apa yang mereka pelajari dan bagaimana hal tersebut diajari kepada mereka sedikit banyak telah memberikan efek dan nuansa terhadap tujuan akhir mereka, tingkah laku mereka dan cara-cara bagaimana mereka mengambil peran penting di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

B.     Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui perkembangan ilmu perbandingan hukum.
  2. Untuk mengetahui perbedaan sistem hukum anglosaxon dan hukum kontinental
  3. Untuk mengetahui ciri-ciri sistem hukum anglosaxon dan hukum kontinental
  4. Mengetahui perbedaan sistem hukum pidana di Indonesia dengan Negara lain misalnya Cina, Malaysia, Arab Saudi.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perkembangan Ilmu Perbandingan Hukum
Menjadi pertanyaan kemudian yaitu apakah sebenarnya perbandingan hukum itu sendiri? Pada awalnya, masyarakat hukum menghadapi kesulitan untuk mengartikan penggunaan dari terminologi perbandingan hukum (comparative law). Secara garis besar telah terjadi pembagian ilmu hukum menjadi cabang-cabang tersendiri dari hukum nasional, seperti misalnya hukum keluarga, hukum pidana, hukum perjanjian, dan sebagainya. Namun demikian, perbandingan hukum tidak juga dibedakan sebagaimana ilmu hukum lainnya. Ketidakjelasan ini ternyata memberikan andil yang cukup besar terhadap munculnya kontroversi dan kesalahpahaman yang menjadi salah satu faktor penghambat berkembangnya studi perbandingan hukum. Salah satu konsekuensi logisnya, sebagaimana dikemukakan oleh Myres McDougal bahwa perbandingan hukum seakan menjadi suatu literatur yang tersimpan rapat, obsesif dan steril untuk jangka waktu yang cukup panjang
Metode suatu perbandingan dapat kita katakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran dan pengetahuan manusia sehari-hari. Secara sederhana, dalam berbagai tingkatannya, memperbandingkan satu dengan yang lainnya merupakan hal yang pasti terjadi hampir di dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Sebagaimana Hall menegaskan, ”to be sapiens is to be a comparatist.
Melalui sejarah yang panjang, teknik perbandingan ternyata telah memberikan kontribusi yang teramat penting dan berpengaruh di seluruh bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam hal ini, perbandingan hukum mempunyai signifikansi terhadap aplikasi yang sistematis dari teknik perbandingan terhadap bidang hukum. Artinya, perbandingan hukum mencoba untuk mempelajari dan meneliti hukum dengan menggunakan perbandingan yang sistematik dari dua atau lebih sistem hukum, bagian hukum, cabang hukum, serta aspek-aspek yang terkait dengan ilmu hukum.
Arti penting dari studi perbandingan sebagai sebuah elemen dasar dalam pendidikan hukum juga telah digarisbawahi dalam berbagai laporan resmi. Salah satu di antaranya yaitu datang dari American Bar Association’s Committee on International dan Comparative Law jauh hari sebelum maraknya perkembangan ilmu perbandingan hukum diperbincangkan. Dalam laporan tersebut, pertama, berbagai langkah disarankan sebagai bentuk praktik dalam mempromosikan penerapan perbandingan sebagai suatu metodologi untuk pengajaran terhadap prinsip-prinsip sistem hukum Common Law
Kedua, perbandingan hukum memiliki posisi sentral untuk memberikan kontribusi khusus bagi para ahli hukum yaitu studi yang memiliki signifikansi dan nilai penting untuk penegakan hukum dalam bingkai formulasi dan pengembangan konsep maupun gagasan, serta memberikan pengetahuan terhadap tipe-tipe kelembagaan yang terlibat di dalamnya. Studi terhadap ide dan konsep, serta signifikansinya terhadap hubungan antarmanusia merupakan kajian utama dalam disiplin ilmu sosial, seperti misalnya ilmu hukum, hal mana untuk mencapai maksud dan tujuannya haruslah dikerjakan secara ekstensif verbalisasi
Para ahli perbandingan hukum dapat pula menyumbangkan kontribusi penting bagi studi ilmu hukum dengan menemukan pengertian konsekuensi umum dari pelaksanaan suatu sistem hukum terhadap pola atau struktur tertentu dari model kelembagaannya. Sebagai contoh, permasalahan apa yang menjadi kendala utama dalam suatu sistem hukum; dan bagaimana cara menghindarinya ketika suatu sistem mempunyai struktur prosedur dan institusi dari tipe umum yang dijalankan di negara-negara Eropa guna menangani kasus-kasus perdata? Tentunya pertanyaan yang serupa dapat juga diajukan mengenai bagaimanakah sistem dan prosedur hukum yang saat ini digunakan di negara-negara dunia lain seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris atau India.
Penguasaan teknik perbandingan secara otomatis akan memberikan pengetahuan tambahan bagi para Mahasiswa hukum mengenai pola kerja berjalannya suatu sistem hukum, khususnya sistem hukum pada negaranya masing-masing. Lebih dari itu, ilmu dasar dan lanjutan dari subjek perbandingan hukum di masa yang akan datang tentunya menjadikan para mahasiswa hukum lebih peduli terhadap interaksi di antara sistem hukum melebihi kepeduliannya pada sistem hukum yang berlaku saat ini. Sebagai contoh, di seluruh Amerika Serikat, mata kuliah perbandingan hukum nampaknya telah dilaksanakan hampir secara keseluruhan dalam bingkai penelaahan berbagai materi kuliah dan diskusi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan metode yang digunakan dalam mempelajari mata kuliah sistem common law yang mereka anut. Metode pengajaran ini, di mana pada umumnya dilakukan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sebelum terjadinya perkembangan metode kasus, sudah semakin menyebar di berbagai Universitas.
Namun demikian, untuk mengembangkan ilmu perbandingan hukum perlu juga kita ketahui beberapa hambatan utamanya. Hambatan ini pernah dikemukakan oleh beberapa ahli dan pengajar ilmu perbandingan hukum, salah satu di antaranya yaitu oleh Profesor Thayer. Menurutnya, perbandingan suatu hukum pada dasarnya lebih tepat digunakan sebagai terminologi deskriptif dan hal inilah yang sebenarnya dimaksudkan apabila kita berbicara mengenai perbandingan hukum, yaitu suatu perbandingan baik secara keseluruhan ataupun suatu bagian hukum tertentu dari dua atau lebih negara dengan membawa perbedaan dan persamaan di antara mereka guna diambil suatu kesimpulan.
Di satu sisi, permasalahan linguistik biasanya menjadi kendala utama yang dialami oleh sebagian besar peneliti bahan perbandingan. Sayangnya, pertanyaan ini tidaklah pernah bisa dijawab melalui pendekatan teoritis semata. Hal ini menjadi penting dan seringkali menjadi faktor penghambat utama karena arti penting dari nilai perbandingan pada dasarnya hanya dapat diselesaikan oleh seseorang yang tidak mempunyai kendala dalam dunia bahasa. Oleh karena itu, bisa saja dikatakan bahwa berbagai macam studi perbandingan hanya dapat dijalankan oleh mereka yang dianugerahi atau mempunyai kemampuan di bidang bahasa. Sebagai contoh, terdapat beberapa aspek dari perbandingan hukum yang tidak dapat dilakukan tanpa adanya pengetahuan terhadap prinsip-prinsip pengetahuan bahasa di Eropa.
Pada sisi lain, hal tersebut menjadi sangat tidak mungkin apabila studi perbandingan hukum terhadap sistem hukum dari negara asal dengan sistem hukum dari negara lain, seperti misalnya negara-negara Timur-Tengah atau Afrika, tidak sedikit pun menemukan kendala bahasa. Sehingga bisa dikatakan bahwa sedikit-banyak kendala ini akan sangat berpengaruh terhadap terjadinya perubahan makna dari terminologi hukum yang digunakan. Lebih lanjut, permasalahan bahasa ini juga telah menjadi hambatan utama dari sebagian besar studi pascasarjana dan kegiatan penelitian, sebab sangat jarang ditemukan pada saat ini studi perbandingan yang hanya menggunakan bentuk dan bahasa yang sederhana dan mendasar.

B.     Perbedaan System Hukum Anglo Saxon Dengan Eropa Continental
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara sistem hukum Continental (Eropa) dan sistem hukum Anglo-Saxon (AS). Pada sistem hukum continental, filosofinya tampak pada sifat-sifatnya yang represif, yang senantiasa cenderung melindungi yang berkuasa. Hal ini bisa dimaklumi karena yang berkuasa (waktu itu) adalah kolonial Belanda yang jelas ingin mempertahankan dan mengokohkan kekuasaannya melalui berbagai undang-undang atau sistem hukumnya.
Sedang sistem hukum Anglo Saxon selain tentunya ada sifat yang represif, namun sifat penekanannya lebih mengutamakan pada sifat-sifat yang preventif. Pasal-pasalnya merupakan rambu-rambu untuk mencegah munculnya KKN dalam segala bentuk maupun manifestasinya.
Selain mencegah terjadinya white collar crime dan corporate crime juga untuk mencegah terjadinya distorsi, keharusan memberikan proteksi bagi kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan orang perorang, serta menjamin partisipasi dan pengawasan sosial secara transparan dan demokratis.
Dengan pengalaman krisis yang multidimensi sekarang ini, bukankah sudah tiba waktunya untuk memikirkan secara serius, untuk mengalihkan sistem hukum Continental kita ke hukum Angl-Saxon bagi sistem hukum Indonesia Baru di masa mendatang. Mudah-mudahan. (Cartono Soejatman)
Perbedaan mendasar Anglo Saxon dengan Continental terletak pada perangkat hukum yang dipakai dan sistem politik yang digunakan.
System anglo saxon
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara
Anglo-Saxon adalah sebuah wilayah yang menarik. Nama Anglo-Saxon, sejak abad ke-8 lazim dipakai untuk menyebut penduduk Britania Raya, yakni bangsa Germania yang berasal dari suku-suku Anglia, Saks, dan Yut. Konon, pada tahun 400 M mereka menyeberang dari Jerman Timur dan Skandinavia Selatan untuk menaklukkan bangsa Kelt, lantas mendirikan 7 kerajaan kecil yang disebut Heptarchi. Mereka dinasranikan antara 596-655 M.
Perbedaan paling utama ialah lapisan menengah mancanegara kini lebih banyak berpangkal pada ekonomi informasi atau ekonomi pengetahuan. Berbeda dengan masa pra-1966, gerak ekonomi di dunia sekarang lebih mengandalkan peran pengolahan (informasi, jasa, teknologi) daripada perekonomian produksi dan perdagangan. Ini berarti pendorong perekonomian lebih banyak dilakukan oleh kecepatan dan ketepatan pengolahan ilmu pengetahuan daripada pemroses produksi barang dan distribusi. Setiap hari sekitar US$ 1,6 trilyun diolah dalam transaksi valuta asing, sedangkan perdagangan barang manufaktur (bermakna membuat barang dengan tangan) “hanya” sekitar US$ 600 milyar. Ini berarti lapisan menengah di mancanegara sebagian terbesar adalah ahli pengolah otak daripada pengolah otot. Maka lapisan menengah masa kini bukan lagi kaum pedagang tahun 1940-an atau 1950-an yang menjadi pemilik tanah, modal, dan tenaga kerja. Lapisan menengah Indonesia kini makin terdiri atas pekerja otak (insinyur, ahli hukum, akuntan, pialang pasar modal, dokter spesialis). Kesetiaan mereka adalah pada keahlian profesinya, bukan terhadap perusahaan tertentu.
Perbedaan mendasar Anglo Saxon dengan Continental terletak pada perangkat hukum yang dipakai dan sistem politik yang digunakan.
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
System hukum kontinental
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
Hal yang membedakan sistem Civil Law dengan sistem Common Law (yang juga disebut sistem Anglo-Saxon) adalah, pertama, pada Civil Law dikenal apa yang dinamakan “kodifikasi hukum”. Artinya pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian hukum, penyederhanaan hukum, dan kesatuan hukum. Contoh hukum yang sudah dikodifikasi dalam kitab undang-undang adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Kitab-kitab di atas ditulis dan disusun oleh pemerintah kolonial Belanda dan diberlakukan di Indonesia sampai sekarang. Kedua, sistem hukum Eropa Kontinental tidak mengenal adanya juri di pengadilan. Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara selalu adalah majelis hakim (panel),yang terdiri dari tiga orang. Kecuali untuk kasus-kasus ringan dan kasus perdata, yang menangani bisa hakim tunggal.

C.    Ciri-ciri Negara Hukum Anglosaxon dan Eropa Kontinental
ANGLO SAXON
Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.
Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.
EROPA KONTINENTAL
Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
1.      Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat
2.      Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan
3.      Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
4.      Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
5.      Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
6.      Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah
7.      Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Memang memprihatinkan cara kerja hukum di Indonesia khusus untuk kasus korupsi. Terlalu lembut dan terkesan memanjakan. Tak ada hukum yang memerintahkan koruptor yang kabur keluar negeri untuk diseret pulang ke Indonesia. Yang paling bobrok adalah kasus Anggoro, polisi tahu tempat tinggalnya di Singapura, polisi pun tahu kalau anggoro adalah tersangka Koruptor, tapi hingga detik ini, kaki sang koruptor tersebut tak bisa disentuh untuk diseret ke Indonesia.
Jika sudah begini, tak ada penyelesain dan tak ada kepastian hukum di Indonesia. Kalau perlu revisi kembali undang-undang yang mengatur hukum di Indonesia, hilangkan asas-asas HAM untuk para tersangka, karena si tersangka pun tak menggunakan HAM ketika melakukan aksi kejahatannya.
Berdasarkan beberapa pengalaman penelitian yang pernah dilakukan, cara untuk mengatasi kendala bahasa, jika hal ini diperlukan, dapat diatasi dengan melakukan kerjasama secara berkelompok. Artinya ketidaktahuan bahasa dapat ditanyakan kepada mereka yang menguasai betul struktur dan tata bahasa yang sedang ditelitinya. Sehingga, kendala yang dihadapi akan dapat saling ditutupi antara satu dengan yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

John Henry Merryman, “Legal Education There and Here: A Comparison” dalam Stanford Law Review, Vol. 27, No. 3. (Feb., 1975), hal. 859-878.

Rudolf B. Schlesinger, “The Role of the ‘Basic Course’ in the Teaching of Foreign and Comparative Law” dalam the American Journal of Comparative Law, Vol. 19, No. 4. (Autumn, 1971), hal. 616-623.

Arthur T. von Mehren, “An Academic Tradition for Comparative Law?” dalam the American Journal of Comparative Law, Vol. 19, No. 4. (Autumn, 1971), hal. 624-632.

George Winterton, “Comparative Law Teaching” dalam the American Journal of Comparative Law, Vol. 23, No. 1. (Winter, 1975), hal. 69-118.

Myres S. McDougal, “The Comparative Study of Law for Policy Purposes: Value Clarification as an Instrument of Democratic World Order “, 1 Am.J. Comp.L., 1952, hal. 24 dan 29.Hall, Comparative Law and Social Theory, Baton Rouge, 1963, hal. 9. H. C. Gutteridge, “Comparative Law as a Factor in English Legal

Education” dalam Journal of Comparative Legislation and International Law, 3rd Ser., Vol. 23, No. 4. (1941), hal. 130-144.

Arthur T. von Mehren, An Academic Tradition for Comparative Law, supra note no. 3.

1 comment: