PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK (INFORMED CONSENT)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka mencapai
cita-cita bangsa diselenggarakan pembangunan nasional di semua bidang kehidupan
yang berkesinambungan, yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang
menyeluruh, terpadu dan terarah.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan sejak tanggal 17 September 1992, ini berarti bahwa semua
tenaga kesehatan, yaitu setiap orang yang mengabdikan dirinya di bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan dikenai peraturan tersebut. (Hermien Hadiati Koeswadji,
1999, h. 17). Telah diketahui umum bahwa pada waktu seseorang memasuki
jabatan dokter atau tenaga kesehatan lain yang termasuk dalam kualifikasi
profesi kesehatan telah diikat oleh suatu etika yang tertuang dalam lafal
sumpah jabatan yang diucapkan pada waktu menerima jabatan tersebut.
Pembangunan di bidang kesehatan diarahkan guna
tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap
penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan
kesehatan pada dasarnya menyangkut semua segi kehidupan, baik fisik, mental
maupun sosial ekonomi. Dalam perkembangan pembangunan kesehatan selama ini,
telah terjadi perubahan orientasi, baik dalam tata nilai maupun pemikiran
terutama mengenai upaya pemecahan masalah dibidang kesehatan yang dipengaruhi faktor-faktor
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan serta ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perubahan orientasi tersebut akan mempengaruhi
proses penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
Secara umum, transaksi terapeutik diatur dalam Burgeriijk Wetboek yang selanjutnya
disingkat BW, dan untuk dapatnya berlaku dengan sah, transaksi tersebut sebagai
transaksi yang berlaku umum pula dimana harus dipenuhi empat unsur/ syarat,
pertama: ada kata sepakat dari para pihak yang saling mengikatkan diri, kedua:
kecakapan untuk membuat suatu, ketiga; mengenai suatu hal/ objek, dan keempat:
karena causa yang sah. Dalam transaksi terapeutik harus memenuhi keempat syarat
tersebut, dan bila transaksi terapeutik sudah terjadi/ terlaksana, kedua belah
pihak dibebani dengan hak dan kewajiban sesuai yang telah disepakati bersama
dan harus dipatuhi/ dipenuhi.
Antara transaksi atau perjanjian atau verbintenis menurut hukum dengan
transaksi yang berkaitan dengan transaksi yang berkaitan dengan terapeutik tidak
sama. Hakekatnya, transaksi terapeutik terkait dengan norma yang mengatur
perilaku dokter, dan oleh karena itu bersifat menjelaskan, merinci ataupun
menegaskan berlakunya suatu kode etik yang bertujuan agar dapat memberikan
perlindungan yang bagi dokter maupun pasien. Hubungan antara transaksi
terapeutik dengan perlindungan hak pasien ini dapat dilihat pada pasal
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, di antaranya
adalah hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang Praktik Kedokteran,
di antaranya adalah hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan
medis yang akan dilakukan terhadapnya, hak meminta penjelasan pendapat dokter,
hak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, hak menolak tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap dirinya dan hak untuk mendapatkan isi dari
rekam medik. Dengan demikian, para penyandang profesi, moral dan etik merupakan
sesuatu yang harus dan wajib dipahami dan dimiliki. Bila tidak maka dia bukan profesional.
Di samping moral dan etik. disiplin diri merupakan suatu keharusan pula bagi
para profesional. Moral, etika dan disiplin hendaknya bukan hanya suatu
kewajiban saja, tetapi hendaknya merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan
profesionalnya.
Pada umumnya dokter dalam menjalankan tugas mediknya
mempunyai alasan yang mulia, yaitu untuk mempertahankan tubuh orang tetap sehat
atau untuk menyehatkan orang yang sakit atau setidaknya mengurangi penderitaan orang
sakit. Masyarakat sepakat bahwa perbuatan dokter yang demikian itu layak
mendapatkan perlindungan hukum sampai path batas-batas tertentu. Hal ini berarti
pula bagi dokter bahwa dalam menjalankan tugas mediknya harus disesuaikan
dengan batas-batas yang telah ditentukan pula agar dokter tidak dituntut atau
digugat telah bertindak yang dinilai telah merugikan masyarakat atau digugat/
dituntut ke muka pengadilan. Mengetahui batas tindakan yang diperbolehkan
dilakukan oleh seorang dokter dalam melakukan perawatan akan menjadi sangat
penting bukan saja bagi dokter, tetapi juga penting bagi para penegak hukum lainnya.
Apabila batasan tersebut tidak diketahui dokter dalam tugas menjalankan tindakan
profesionalnya, dokter akan menjadi ragu-ragu dalam bertindak, terutama dalam melakukan
diagnosa dan memberikan terapi terhadap penyakit yang diderita pasien.
Bagi aparat penegak hukum yang menerima pengaduan dari
masyarakat ataupun individu yang merasa dirugikan oleh tindakan dokter yang
merawatnya sebaiknya tidak terlalu gegabah menyimpulkan bahwa dokter telah
melakukan tindakan kriminal atau yang lebih populer lagi dokter telah melakukan
malpraktik dan menyelesaikannya dengan menggunakan pasal-pasal yang terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP). Dalam menghadapi
situasi yang demikian, disarankan aparat penegak hukum melakukan koordinasi dengan
atasan dokter yang bersangkutan, atau setidaknya aparat penegak hukum melakukan
koordinasi dengan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (disingkat IDI) setempat. Dari hasil
koordinasi tersebut diharapkan dapat diperoleh titik terang mengenai batas-batas
kewenangan tindakan yang telah dilakukan dokter, sehingga dapat diambil
kesimpulan apakah tindakan yang telah dilakukan dokter dalam melakukan
perawatan tersebut dapat dibenarkan atau tidak. Bile apa yang telah dilakukan
dokter dapat dibenarkan secara hukum dokter wajib mendapatkan perlindungan.
Masalah malpraktik dalam pelayanan kesehatan pada akhir-akhir
ini mulai ramai dibicarakan masyarakat dari berbagai golongan. Hal ini ditunjukkan
banyaknya pengaduan kasus-kasus malpraktik yang diajukan masyarakat terhadap
profesi dokter yang dianggap telah merugikan pasien dalam melakukan perawatan.
Sebenarnya dengan meningkatnya jumlah pengaduan ini membuktikan bahwa
masyarakat mulai sadar akan haknya dalam usaha untuk melindungi dirinya sendiri
dari tindakan pihak lain yang merugikannya. Dengan menggunakan jasa pengacara
masyarakat mulai berani menuntut/ menggugat dokter yang diduga telah melakukan
malpraktik. Hal ini juga dari sudut lain menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
maupun tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat pula sehingga
masyarakat dapat menggunakan jasa pengacara untuk mencari keadilan bagi dirinya
atas tindakan pihak lain yang dirasakan telah merugikannya Munculnya keadaan
yang sebenarnya sangat menggembirakan ini, sekaligus menunjukkan makin meningkatnya
kesadaran hukum masyarakat, tetapi sayang, banyak menimbulkan masalah. Salah
satu masalah yang dimaksud, sangat merisaukan adalah adanya perbedaan pendapat
antara para pengacara dengan dokter atau tenaga kesehatan lainnya tentang apa
yang dimaksud dengan malpraktik tersebut.
Tanggungjawab di bidang hukum perdata dapat
ditemukan dalam setiap pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena dalam
setiap pelayanan kesehatan selalu terjadi hubungan antara dua pihak sebagai
subyek hukum, dimana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Yang dimaksud dengan dua pihak disini adalah dokter dengan pasien Hubungan
antara dokter dengan pasien diatur dalam suatu perjanjian yang syaratnya harus
dipenuhi secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Hubungan dokter
dengan pasien dalam hal perawatan kesehatan ini lazim disebut sebagai transaksi terapeutik. Dalam transaksi
terapeutik ini dokter berkewajiban memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dengan
standar profesi (medik) yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dengan
pengalaman dan keterampilan yang dimilikinya serta dilandasi dengan jiwa
pengabdian yang tinggi berdasarkan nilai-nilai etik sebagaimana terdapat dalam
lafal sumpah dokter berkewajiban bekerja dengan jujur dan tulus dalam merawat
pasien. Sebaliknya pasien dalam hubungan transaksi terapeutik ini berkewajiban
untuk memberikan informasi yang sejujurnya tentang sejarah penyakit yang
dideritanya agar dokter dapat mendiagnosa penyakitnya secara tepat dan benar
untuk selanjutnya dilakukan terapi pengobatan atas penyakit yang dibutuhkan pasien.
Kewajiban lain bagi pasien adalah bahwa pasien berkewajiban untuk membayar jasa
dokter yang telah merawatnya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam suatu transaksi
terapeutik tidak boleh ada pihak-pihak yang dirugikan. Bila dalam transaksi ini
ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, maka penyelesaiannya dapat
dilakukan melalui jalur hukum, baik melalui gugatan karena wanprestasi atau
karena perbuatan yang melanggar hukum malpraktik.
Perlu diperhatikan pula, bahwa dokter merupakan
bagian dari masyarakat, karenanya dokter juga mengenal berbagai tanggung jawab
terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat dimana dokter bertugas.
Tanggung jawab sebagai anggota masyarakat ada kaitannya dengan tata tertib yang
berlaku di masyarakat atau norma-norma yang hidup di masyarakat antara lain
adalah norma hukum/ tertib hukum yang berisi perintah/ larangan bagi semua
pihak yang melanggarnya serta memberikan sanksi yang tegas demi ketenteraman dan
ketertiban dalam masyarakat yang bersangkutan. Tanggung jawab hukum itu sendiri
muncul dan banyak macamnya, yaitu ada tanggungjawab menurut hukum perdata,
menurut hukum pidana, menurut hukum administrasi, disamping juga menurut aturan
atau hukum yang ditentukan oleh profesi sendiri. (Hendrojono Soewono 1-11).
B. Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
mengetahui mengapa etika profesi menjadi landasan moral bekerjanya seorang
dokter
2.
Untuk
mengetahui bagaimana hubungan antara seorang dokter dengan pasiennya.
3.
Untuk
mengetahui sejarah hubungan antara dokter dan pasien.
4.
Mengetahui
bagaimana komunikasi antara dokter dan pasien.
5.
Untuk mengetahui bagaimana pentingnya informasi
dalam hubungan antara dokter dengan pasien
6. Untuk mengetahui informasi apa saja yang berhubungan dengan informed consent (persetujuan tindakan
medik).
7.
Mengetahui
salah satu hak untuk pasien sekaitan dengan pemberian informed consent
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Etika
Profesi Sebagai Landasan Moral Bekerjanya Dokter
Meningkatnya sorotan masyarakat terhadap profesi
kesehatan (baca dokter), disebabkan karena berbagai perubahan, antara lain
adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan di bidang kedokteran dan teknologi
bidang kedokteran. Disamping itu juga adanya perubahan karakteristik masyarakat
dokter sebagai pemberi jasa kesehatan dan perubahan pola hidup masyarakat
sebagai pengguna jasa kesehatan yang mulai sadar akan hak-haknya. Bila
perubahan tersebut tidak disertai komunikasi yang balk antara dokter sebagai pemberi
jasa kesehatan dengan pasien sebagai penerima jasa kesehatan hal ini akan
menimbulkan kesalahpahaman yang berakibat timbulnya konflik.
Sorotan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan
profesi dokter merupakan suatu kritik yang baik terhadap profesi dokter. Dengan
adanya kritik dan sorotan tersebut diharapkan para dokter dapat meningkatkan
profesi dan pelayanannya kepada masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan (medik) kepada individu
atau perorangan, keluarga atau komunitas diperlukan tatanan dan landasan
filosofi yang mengarahkan pada tanggungjawab moral yang esensial dalam
pelaksanaannya dimana inti dari falsafah ini adalah penghormatan terhadap hak
dan martabat manusia sebagai insan hamba Tuhan. Fokus etik kesehatan ini pada
dasarnya ditujukan pada sikap dan perilaku manusia yang mempunyai ciri dan nilai
tersendiri. Nilai atau value
merupakan hak setiap individu untuk mengatur perilakunya tersendiri dalam
rangka menentukan langkah-langkah yang patut dilaksanakan sebagai cetusan dari hati
nurani yang dalam. Nilai dipengaruhi lingkungan dan pendidikan. dan hal ini akan
membentuk atau menjadikan seseorang atas kepribadiannya dan membedakan dengan
pribadi orang lain. Permasalahan etik dan hukum di bidang kesehatan, dewasa ini
terutama bersumber dari kurangnya penghayatan dalam memahami nilai-nilai dasar manusia
itu sendiri.
Dewasa ini hampir tidak ada bidang kehidupan yang
tidak terjamah oleh hukum, baik sebagai norma maupun sebagai sikap manusia yang
mempunyai hasrat untuk hidup teratur, tenteram dan penuh kedamaian. Hukum mengakui
bahwa hubungan kehidupan antar manusia itu menimbulkan rasa puas dan
menyenangkan. Sebagai contoh adalah rumah sakit, dimana tempat ini merupakan
suatu sarana sebagai suatu sistem sarana kesehatan yang memerlukan kerjasama
yang terkoordinasi dan terintegrasi antar unit dari para tenaga kesehatan berdasarkan
pada akhlak, moral, kesopanan atau ethos
dan kesadaran tinggi akan tugas dan kewajibannya masing-masing.
Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang merupakan
tuntunan perilaku para dokter dalam menjalankan profesi mediknya, maupun Lafal
Sumpah Dokter yang secara filosofis berisikan pesan-pesan moral dan akhlak yang
wajib untuk diikuti oleh para dokter dalam hubungan dokter dengan pasien.
Dokter yang lalai mengikuti tuntunan tersebut dimana atas kelalaiannya itu
berakibat merugikan orang lain atau pasien, dokter dapat dituduh telah melakukan
malpraktik. Setiap orang yang mengetahui kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter dalam menjalankan praktik kedokterannya dapat mengadukan secara tertulis
kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Dalam pengaduan
tersebut harus memuat:
1.
identitas
pengadu;
2.
nama
dan alamat tempat praktik dokter waktu tindakan dilakukan; dan
3.
dan/
atau alasan pengaduan (perhatikan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004).
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran
etik, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia akan meneruskan
pengaduan pada organisasi profesi, dalam hal ini IDI. Keputusan Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dapat berbentuk dokter dinyatakan
tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
Sanksi disiplin ini dapat berupa:
a.
pemberian
peringatan tertulis;
b.
rekomendasi
pencabutan surat tanda registrasi atau surat ijin praktik
c.
dan/atau
kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran (Pasal 69 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004).
B. Hubungan
Antara Dokter dan Pasien
Dalam kepustakaan ditemukan ciri khusus pekerjaan/ dokter
tersebut, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Freidsod dan Wilson (Komalawati,
V., 993 : 38) sebagai berikut Menurut Freidson, pekerjaan dokter dilakukan
dalam kamar konsultasi yang tertutup atau dalam kamar tidur, bahkan pada
umumnya dokter memberikan jasanya kepada individu dan bukan pada kumpulan orang
atau lapisan sosial.
Sedangkan hubungan yang sangat pribadi antara dokter
dengan pasien dilukiskan oleh Wilson sebagai hubungan antara pendeta dengan
jamaah yang mengutarakan perasaannya. Oleh karena itu ada anggapan bahwa dalam
menangani penyelamatan atau penyembuhan penyakit pasien diperlukan keakrabannya.
Pengakuan pribadi yang sangat penting bagi eksplorasi atas jiwa atau diri sendiri,
sangat membutuhkan suatu keadaan yang terlindung, dan kamar konsultasi dokter mungkin
merupakan analog modern yang tepat untuk tempat suci yang aman pada gereja pada
abad-abad pertengahan. Dengan demikian pasien senantiasa percaya kepada
kemampuan dokter, kepada siapa pasien menyerahkan nasibnya. Pasien merasa
beruntung dan tenteram apabila dokter berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyembuhkan
penyakitnya. Adanya perkembangan kehidupan manusia dan pengaruh meningkatnya
budaya manusia serta hubungan antar bangsa atau negara yang semakin mudah,
lama-lama keadaan demikian mengalami perubahan. Disamping itu dengan makin
meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab atas
kesehatan maka kepercayaan yang semula tertuju pada kemampuan dokter secara
pribadi mulai bergeser pada ilmunya. Timbul kesadaran masyarakat untuk menuntut
suatu hubungan yang seimbang dan tidak lagi sepenuhnya pasrah kepada dokter.
Berdasarkan ciri yang ditemukan dalam profesi, pekerjaan
dokter mempunyai ciri khusus antara lain merupakan hubungan yang sangat pribadi
karena didasarkan pada kepercayaan. Kepercayaan antara dokter dengan pasien
tidak hanya didasarkan pada hak-hak dan kewajiban yang timbul dari masing-masing
pihak yang diatur oleh hukum, tetapi kepercayaan tersebut timbul atas dasar nilai-nilai
moral yang dimiliki setiap dokter sebagaimana tertuang dalam KODEKI, khususnya
pada Pasal 10, 11 dan 12 tentang Kewajiban Dokter Terhadap Penderita (Hendrojono Soewono).
Hubungan antara dokter dengan pasien juga
dikemukakan oleh Dassen telah
mengalami perkembangan sebagaimana dikutip oleh Soekanto (1987 :2) sebagai berikut:
1.
Pasien
pergi ke dokter karena merasa ada sesuatu yang membahayakan kesehatannya. Segi
psycho-biologisnya memberikan suatu peringatan bahwa dirinya menderita sakit. Dalam
hal ini dokter dianggap sebagai pribadi yang dapat menolongnya karena
kemampuannya secara ilmiah. Dokter mempunyai kedudukan lebih tinggi dan peranan
yang lebih penting daripada pasien (dari sudut pandangan pasien).
2.
Pasien
pergi ke dokter, karena mengetahui dirinya sakit dan dokter akan mampu
menyembuhkannya. Dalam hat ini, pasien menganggap kedudukannya sama dengan
dokter, tetapi peranan dokter lebih penting darinya.
3.
Pasien
pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan yang intensif dan mengobati
penyakit yang ditemukan. Hal ini mungkin diperintahkan oleh pihak ketiga. Dalam
hal ini terjadi pemeriksaan yang bersifat preventif.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 khususnya pada alinea kelima dikaitkan dengan hubungan antara dokter
dengan pasien dapat dilihat sebagai berikut berkurangnya kepercayaan masyarakat
terhadap dokter dan dokter gigi, maraknya tuntutan hukum yang diajukan
masyarakat dewasa ini seringkali diidentikkan dengan kegagalan upaya
penyembuhan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi. Bila hal ini dikaitkan
dengan pendapat Elledson dan Wilson kondisi hubungan antara dokter dengan
pasien yang dilukiskan sebagai hubungan sebagai hubungan antara pendeta dengan jamaahnya
sudah tidak cocok lagi. Sedangkan bila dikaitkan dengan pendapat Dassen, bahwa dalam hubungan antara
dokter dengan pasien, pasien mengakui bahwa kedudukan dokter lebih tinggi
karena memiliki kemampuan ilmiahnya sehingga lebih berperanan dari dirinya
dalam upaya penyembuhan dirinya (pasien).
Berbagai upaya perlindungan hukum yang dilakukan
dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima
pelayanan kesehatan, terhadap tindakan dokter atau dotter gigi sebagai pemberi
pelayanan kesehatan telah banyak dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan
pembuatan undang-undang atau peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Tetapi
akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran yang begitu
cepat, menjadikan perkembangan hukum ataupun peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan antara dokter dengan pasien menjadi tidak seimbang. Perangkat hukum yang
mengatur hubungan dokter dengan pasien dalam rangka penyelenggaraan praktik
kedokteran (dan kedokteran gigi ) dirasakan belum memadai, karena selama ini masih
didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan pemerintah, sedangkan porsi profesi
masih sangat kurang. Oleh karena itu untuk menjembatani kepentingan kedua belah
pihak serta untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan obyektif seorang
dokter dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, diperlukan pembentukan
badan yang independen yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004).
Akan tetapi menurut Dassen jika hubungan antara dokter dengan pasien itu didasarkan
pada asuransi sosial, maka hubungan itu tidak dapat dilihat terlepas dari
keseluruhan hubungan antara, pelayanan kesehatan dan masyarakat. Dengan kata
lain, jika asuransi itu oleh pemerintah dijadikan sebagai salah satu usaha untuk
memberikan jaminan sosial, (social
insurance) kepada masyarakat, maka hubungan antara dokter dengan pasien
merupakan hubungan individual yang tidak terlepas dari masyarakat. Dengan
demikian apabila dokter yang bersangkutan merupakan pegawai sebuah rumah sakit,
maka tindakannya juga terikat pada hubungan dengan rumah sakit yang
bersangkutan dan peraturan yang lain.
Sehubungan dengan hal di atas, dalam kepustakaan
dapat ditemukan pendapat Leenen,
yang dikutip oleh Lamintang (1991:
63-65) yang mengemukakan sejumlah gejala yang telah berperan sehingga
terjadi perubahan mengenai hubungan antara dokter dengan pasien, antara lain:
1.
Posisi
tidak bebas dari seorang pasien yang karena terpaksa harus mencari pertolongan
yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ketidakbebasan ini mengakibatkan semakin
meningkatnya pasien rumah sakit, karena adanya perubahan lingkungan hidup, dan
silat serta lamanya proses penyakit pada penyakit kronis, sehingga pasien jauh
dari dokter.
2.
Sifat
profesional para dokter terhadap pasiennya. Sifat profesional itu didasarkan
pada pengetahuannya, cara berfikirnya dan dengan metodenya sendiri. Dalam
rangka pemberian pertolongan, para dokter menterjemahkan problema dan seorang
pasien ke dalam bahasa profesional ini, karena tindakan yang sifatnya tidak
profesional tidak boleh dilakukannya. Kerugiannya adalah proses pemberian
bantuan itu telah tidak diketahui oleh pasien. Dengan demikian, sifat sebagai profesional
dalam hal tertentu telah menjauhkan hubungan antara dokter dengan pasien.
3.
Faktor
lain yang menjauhkan hubungan antara dokter dengan pasien adalah kenyataan,
bahwa permintaan untuk mendapatkan pertolongan itu telah datang secara besar-besaran
sehingga dikerahkan aparat pemberi pertolongan. Dengan aparat seperti itu,
hubungan menjadi tidak teratur dan telah menjauhkan hubungan antara satu dengan
yang lainnya. Baik pasien maupun para pemberi pertolongan menjadi tidak senang
dengan proses semacam itu.
4.
Birokrasi
merupakan gejala tambahan yang menjauhkan hubungan di dalam organisasi.
Birokrasi itu mempunyai pengaruh yang
merenggangkan hubungan antara dokter dengan pasien.
5.
Pelayanan
kesehatan dari hari ke hari telah diatur sesuai dengan keahlian. Kepentingan pribadi
telah memberikan tempat bagi suatu lembaga pemberi pertolongan disusun secara
rasional dan obyektif. Oleh karena pengkhususan seperti itu maka pelayanan
kesehatan memperoleh sifat sebagai suatu industri, sehingga meniadakan hubungan
pribadi antara dokter dengan pasien.
6.
Pertumbuhan
sistem registrasi, antara lain dibuat secara otomatis di dalam bank data.
Registrasi itu seringkali mempunyai pengaruh terhadap pemberian pertolongan,
antara lain karena pemberi pertolongan itu sendiri telah menentukan syarat,
norma dan menggariskan prosedur. Perilaku yang bersifat pribadi itu adalah
tidak sesuai di dalam suatu sistem registrasi. Registrasi itu juga dapat
memberikan gambaran yang salah mengenai seorang pasien dan dapat menimbulkan
pengaruh negatif pada hubungan antara dokter dengan pasien.
7.
Hubungan
antara dokter dengan pasien telah tidak bersifat pribadi lagi. karena
pengkhususan di dalam pelayanan kesehatan. Problematik seorang pasien telah
dipotong-potong dalam bagian yang kecil, demikian juga hubungannya dengan para
pemberi pertolongan. Problema yang dihadapi pasien hanya dilihat sebagian saja,
sehingga tidak bisa diselesaikan seluruhnya Para pemberi pertolongan jumlahnya
semakin sedemikian besar, sehingga mempengaruhi hubungan yang bersifat pribadi antara
dokter dengan pasien.
8.
Perkembangan
masyarakat dan pelayanan kesehatan memaksa dokter menghadapi problema yakni
untuk membuat pertimbangan antara kepentingan pasien dengan kepentingan lainnya,
bahkan antara para dokter sendiri dapat. berhadapan dengan suatu konflik antar
kepentingan dalam menghadapi pasiennya.
Mengomentari uraian di atas dapat diperoleh
kesimpulan bahwa sikap profesional dokter seringkali mengakibatkan dokter tidak
mampu melihat suatu problema yang dihadapi pasiennya sendiri, atau menimbulkan
kecenderungan dokter bertindak obyektif, tanpa memperhatikan hak-hak dasar
pasien sebagaimana diatur dalam dokumen internasional. Juga bila dikaitkan
dengan Sumpah Dokter dan KODEKI disini dokter sadar atau tidak sadar telah
berbuat hal-hal yang menyimpang. Hal yang demikian ini dilakukan dokter menurut
penulis karena dokter takut tidak dapat memenuhi standar profesionalnya.
C. Sejarah
Perkembangan Hubungan Dokter Dengan Pasien
Hubungan antara dokter dengan pasien telah berjalan secara
tradisi secara berkesinambungan sejak dari masa Hipocrates sampai pertengahan
abad kedua puluhan. Pada saat ini tradisi ini kemudian mulai diganti atau
paling tidak dilengkapi. Perkembangan ilmiah, teknologi dan sosial pada saat itu
menimbulkan dengan cepat perubahan-perubahan dalam ilmu biologis dan pelayanan
kesehatan. Perkembangan-perkembangan ini merupakan tantangan bagi konsep-konsep
dan kewajiban-kewajiban moral para tenaga kesehatan dan masyarakat yang berlaku
pada saat penderita yang sakit atau mengalami kecacatan. Walaupun konsep-konsep
moral yang lama dan masa kini banyak mengandung refleksi dan hubungan antara
profesi kesehatan dengan pasien, namun hal ini masih mengecewakan dipandang dari
segi etik biologis kontemporer.
Salah satu hasil penelitian yang akan penulis angkat
adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Russel, yang dikutip oleh Lumenta (Komalawati. V., 1999:43). Hasil
penelitian Russel menunjukkan bahwa hubungan antara dokter dengan pasien lebih
merupakan hubungan kekuasaan, yaitu hubungan antara pihak yang aktif memiliki wewenang
dengan pihak yang pasif dan lemah serta menjalankan peran kebergantungan.
Namun, besar kemungkinan dapat dibina suatu hubungan yang sempurna, agar kedua
belah pihak dapat berperan dan berinteraksi secara aktif dan saling
mempengaruhi.
Selanjutnya dikatakan oleh Suprapti Samil di dalam KODEK
1980 bahwa istilah etik terbentuk dari dua perkataan yaitu “mores of a community” dan “ethos of the people”. Lebih dua ribu
tahun, Plato sudah merasa perlu untuk mempertahankan konsep kebenaran dan konsep
kebenaran ini melandasi etik akademik. Dalam mencari kebenaran, peran filsafat
ilmu sebagai bagian dari bidang humaniora amatlah penting. Filsafat ilmu
bertugas menelaah dan menggali sebab musabab terutama dari gejala ilmu
pengetahuan, di antara paham tentang kepastian, kebenaran dan obyektifitas.
Kebenaran, kepastian dan obyektifitas inilah dipakai sebagai pegangan para
profesional, tidak terkecuali dokter dalam melakukan kewajibannya melayani masyarakat
yang membutuhkannya. Kembali mengenai hubungan antara dokter dengan pasien,
dalam kepustakaan telah banyak diteliti para ahli, baik di bidang medik maupun
di bidang sosiologik dan antropologik.
Bila dari hasil-hasil penelitian tersebut di atas
dikaitkan dengan praktik pelayanan medik di Indonesia. dalam kenyataannya
pasien yang datang dan memilih dokter umum secara sukarela masih sangat kurang.
Hal ini dimungkinkan karena faktor-faktor tertentu antara lain faktor budaya
dan utamanya faktor ekonomi. Pasien yang merasa sakit akan mendatangi dokter
yang terdekat (PUSKESMAS) untuk berusaha mendapatkan pengobatan. Di sini
hubungan antara dokter dengan pasien sebagai pihak yang membutuhkan jasa dari dokter
sebagai pemberi jasa kurang seimbang. Hal ini disebabkan, menurut pandangan
pasien dokter ada di pihak yang mempunyai nilai lebih dan kepada dokter inilah
pasien sangat menggantungkan diri untuk penyembuhan penyakitnya. Hubungan
antara dokter dengan pasien dalam kondisi ini lebih merupakan hubungan kekuasaan.
Sebagai catatan, perlu penulis kemukakan pandangan pemerintah
bahwa kesehatan sebagai hak azasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian
berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat masih
jauh terwujud dan merupakan suatu dilema yang harus segera dipecahkan.
Dilema yang dimaksud disini adalah bahwa ternyata
masing-masing kedudukan dokter dalam hubungan dokter dengan pasien itu mempunyai
dampak terhadap peran pasien dalam hubungan pelayanan medik. Oleh karena itu
untuk menilai mutu dan penampilan pelayanan medik dari dokter diperlukan
beberapa variabel dan ketentuan dalam menentukan faktor yang paling berpengaruh
dalam kemampuan pasien.
D. Komunikasi
Antara Dokter Dengan Pasien
Pada hakekatnya, manusia yang diciptakan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial selalu
hidup berkelompok demi untuk mempertahankan hidupnya.
Hidup berkelompok antar individu ini dapat terjadi
dan berjalan dengan lancar sesuai dengan yang diinginkan setiap individu harus
dilaksanakan melalui komunikasi. Demikian pula halnya hubungan antara dokter
dengan pasiennya akan berjalan dengan baik dan lancar bila dilakukan komunikasi
dua belah pihak guna mendapatkan suatu pengertian atas dua kepentingan yang
berbeda. Di satu pihak, pasien mencari dokter dalam usaha untuk mendapatkan
upaya penyembuhan atas penyakit yang dideritanya. Sedangkan dokter sebagai seorang
profesional dan pemberi jasa berkewajiban untuk memberikan jasa melalui ilmu
dan pengetahuan yang dimilikinya kepada mereka yang membutuhkannya.
Tanpa didasari dengan komunikasi yang baik antara keduanya,
kondisi yang demikian ini akan menimbulkan benturan antara dua kepentingan yang
merugikan baik bagi pengguna jasa maupun pemberi jasa kesehatan. Karenanya, di dalam
pelayanan kesehatan faktor komunikasi merupakan faktor yang sangat menentukan.
Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare, yang berarti menjadikan
sesuatu milik bersama. Adapun yang dimaksud dengan sesuatu adalah isi atau
tujuan suatu pesan, sehingga terjadi saling
pengertian antara pihak yang melakukan kegiatan. Dari berbagai definisi
tentang komunikasi dapat ditarik intinya yaitu bahwa komunikasi merupakan
kegiatan pengoperan lambang yang mengandung makna. Menurut Susanto, yang disitri oleh Komalawati, V.,
bahwa komunikasi dimulai sebagai suatu kegiatan pra-integrasi diantara para
pihak (1999:47). Dalam suatu kepustakaan ada pula pihak yang mengartikan bahwa
komunikasi ditujukan untuk memberikan informasi, tetapi harus diingat bahwa
tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan membentuk
pengertian, atau, sebagai proses untuk mempengaruhi orang lain. Komunikasi merupakan
penerimaan, pengolahan, penyimpanan informasi dan menghasilkan informasi kembali
(Jalaludin, 1992).
Setiap penggunaan proses komunikasi, para komunikan dan
komunikator (dalam proses komunikasi peran ini saling bertukar) harus mendengar
dengan teliti, menyelidiki dengan mendalam, menganalisis hubungan dan perihal
apa saja yang telah dikatakan dan hal apa yang telah dialami oleh pembicara.
Selain itu untuk dapat berbicara dengan baik, komunikator juga harus mengadakan
analisis bukan hanya terhadap komunikannya tetapi juga terhadap hal-hal yang akan
dikatakan kepada komunikannya. Komunikator harus mengatur hal-hal yang dianggap
terpenting, mana yang kurang penting, mana yang lebih baik dikatakan.
Dikaitkan dalam hubungan antara dokter dengan pasien
yang merupakan hubungan interpersonal, maka adanya komunikasi atau yang sering
dikatakan sebagai “wawancara pengobatan” amat sangat diperlukan. Dari beberapa hasil
penelitian yang ditemukan dalam kepustakaan antara lain dari Foster dan
Anderson sebagaimana ditulis Komalawati, V., membuktikan bahwa esensi dari hubungan
antara dokter dengan pasien terletak dalam wawancara pengobatan ini.
Dari berbagai kesulitan yang dihadapi dalam hubungan
interpersonal antara dokter dengan pasien ternyata masalah yang berhubungan
dengan komunikasi merupakan kesulitan yang umum. Sehubungan dengan hal tersebut
ada beberapa contoh kesulitan mengenai komunikasi yang diangkat dari pendapat
Foster dan Anderson (1986: 146) antara lain
Seorang dokter Inggris di California menasehati
seorang ibu Meksiko mengenai cara menyapih bayi yaitu dengan mengatakan “pakailah
ikat dada dan kurangi minum cairan”. Ternyata walaupun wanita itu mengerti
sedikit bahasa Inggris tetap kata-kata itu sulit dipahaminya sedangkan harga diri
dan rasa malu menghalanginya untuk meminta penjelasan dari dokter tersebut.
Seorang anak kecil dari pasangan imigran dari daerah
Selatan Detroit dibawa ke kamar darurat sebuah rumah sakit besar untuk
mendapatkan jahitan pada luka di kepalanya. Ayahnya telah diberitahu bahwa anaknya harus dibawa kembali seminggu lagi
untuk dibawa jahitannya. Ayah itu memahami sepenuhnya kata-kata dokter
tersebut, tetapi ternyata kemudian jahitan anaknya itu dibuka olehnya dengan menggunakan
gunting kuku. Hal itu dilakukannya, karena sebenarnya ia merasa keberatan dan
memberontak untuk membayar $22 untuk pertolongan darurat anaknya. Di samping
itu, yang lebih penting adalah kenyataan bahwa ia harus ke kamar bedah untuk membuka
jahitan itu. Hal ini merupakan sesuatu yang mengerikan.
Memperhatikan kedua kasus di atas, hal tersebut
tidak mengherankan. Kalau memperhatikan tentang batasan komunikasi yang telah
penulis ungkapkan di depan, bahwa komunikasi adalah merupakan suatu kegiatan
yang berisi suatu pesan, berita dan keterangan mengenai hal tertentu, dengan
tujuan untuk disebarluaskan dan seterusnya, disini terjadi ketidaklancaran atau
penyumbatan komunikasi di antara dua pihak yaitu antara dokter dengan pasien.
Penyumbatan atau ketidaklancaran itu terjadi pertama adalah faktor pendidikan.
Faktor ini akan mempengaruhi daya tangkap pasien atau instruksi dokter yang harus
dia lakukan. Faktor kedua adalah faktor sosial budaya, dimana hal ini ditandai
dengan masalah bahasa dan adat istiadat, misal masalah harga diri, timbul rasa malu
dan sebagainya. Faktor lain, sebagai tambahan adalah faktor psikologis. Yaitu masalah
harga diri dan malu untuk bertanya serta rasa takut ke kamar bedah karena hal tersebut
dirasakan sangat mengerikan.
Hasil penelitian lain yang dilakukan di klinik pediatric
rumah sakit anak di Los Angeles menunjukkan bahwa hal yang tidak disukai para
ibu dalam perawatan yang diberikan kepada anaknya adalah tingkah laku para
dokter yang efisien, tidak akrab dan kelihatan tidak acuh. Namun, dalam sampel
sebanyak 800 responden ditemukan bahwa para dokter pada umunya merasa bersikap
ramah, dan hanya kurang dari para ibu cenderung mempunyai kesan bahwa para
dokter bertingkah laku efisien, tidak akrab dan tidak acuh. Selain itu, hasil
wawancara menunjukkan bahwa para dokter lebih banyak berbicara daripada para
ibu pasien. Hal ini membuktikan bahwa pertemuan antara dokter dengan pasien
(ibu pasien) cenderung memberikan hasil yang lebih baik, jika ibu pasien
terlibat dalam pembicaraan yang aktif dengan dokter. Dari hasil penelitian ini,
juga diperoleh gambaran bahwa 76 % para ibu menyatakan sangat dan cukup puas.
Akan tetapi hampir separuh dari para ibu itu meninggalkan ruang praktik dokter
masih dengan pertanyaan tentang sebab penyakit yang sebenarnya yang diderita oleh
anaknya.
Harapan yang tinggi dari para ibu yang datang ke klinik
adalah bahwa para dokter akan bersikap ramah dan simpatik, tidak hanya kepada
anaknya tetapi juga kepada orangtuanya yang cemas. Namun rekaman menunjukkan
bahwa hanya kurang dari 5% saja dari pembicaraan dokter yang bersifat akrab
atau ramah (Foster dan Anderson, 1986: 145-145).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Foster dan
Anderson tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat diungkap yaitu:
1.
Pasien
datang ke dokter dengan perasaan cemas, khawatir dan bingung karena anaknya
sakit dan ingin segera mendapatkan pertolongan dari dokter.
2.
Dokter
dalam, wawancara kesehatan ini lebih mendominasi pembicaraan, tanpa memberikan kesempatan
pada pasien (ibu bayi) untuk mengutarakan atau menginformasikan keluhan perihal
penyakit yang diderita anaknya.
3.
Dokter
kurang memperhatikan faktor budaya, sosial termasuk disini faktor pendidikan
pasien, yang tidak begitu paham mengerti hal-hal atau penyebab penyakit pasien,
sehingga saat pasien meninggalkan ruang praktik dokter masih bertanya-tanya
dalam hati, apa yang menjadi penyebab penyakit anaknya.
4.
Dokter
telah bekerja dengan efektif dan efisien dalam menangani penyakit pasien,
tetapi kondisi demikian dirasakan pasien kurang menghormati hak pasien,
diantaranya adalah dokter kurang memperhatikan pasien yang sangat cemas karena
anaknya yang sakit dan tidak memberikan Kesempatan untuk berdialog. Disini
pasien merasa secara psikologis tertekan.
5.
Dokter
menempatkan posisinya lebih tinggi dari pasien, hal ini tercermin adanya
ketidakberdeyaan pasien untuk mengutarakan keinginannya untuk bertanya, antara
lain mengenal, penyakit yang dideritanya.
6.
Dokter
kurang menyadari, bahwa diruang tunggu, ruang bedah/ operasi, kondisi pasien
secara psikologis sangat rawan, mudah marah, gampang tersinggung, karenanya
diharapkan dokter harus bersikap ramah, membimbing dan bersikap sabar.
Mengenai
kondisi dan ketidakberdayaan pasien tersebut pada dasarnya disebabkan karena
ketidaktahuan pasien mengenal cara yang baik untuk mengatasi keluhan atas
penyakit yang dideritanya. Mengenai hal ini dalam kepustakaan ditemui hasil penelitian
yang dikemukakan oleh Fuchs (Waitzkin
dan Waterman, 1993:113), bahwa ketidaktahuan konsumen dalam bidang
kesehatan bersumber pada tiga penyebab. Pertama, adanya ketidakpastian tentang
efek pelayanan terhadap individu. Orang awam tidak mengetahui nilai dari suatu
prosedur atau pengobatan tertentu, khususnya bila terdapat ketidaksepakatan
dikalangan profesi medik sendiri. Kedua, karena pelayanan medik tidak dapat
diperjualbelikan, maka konsumen cenderung untuk tidak mengembangkan pengetahuan
tentang masalah pengobatan, atau tentang kemana sebaiknya meminta pertolongan.
Ketiga, profesi medik tidak berusaha memberikan informasi kepada pasiennya.
E.
Informasi
Dalam Hubungan Antara Dokter Dengan Pasien
Dalam KODEKI terdapat
pasal-pasal tentang kewajiban dokter terhadap pasien yang perlu diperhatikan. Ada
beberapa hak-hak pasien yang berkaitan dengan masalah informasi dalam hubungan antara
dokter dengan pasien diantaranya adalah:
1. hak memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang
mengobati;
2. hak penjelasan tentang riset kedokteran yang akan diikutinya;
3. hak atas rekam medik atas hal pribadi.
Dari beberapa hal di atas,
jelas bahwa hak memperoleh informasi atau penjelasan, merupakan hak pasien yang
penting dan paling utama, dan bahkan dalam tindakan-tindakan khusus diperlukan
Persetujuan Tindakan Medik (PTM) yang harus ditandatangani pasien atau keluarganya.
Dari semula telah
dikemukakan bahwa dari data yang terdapat dalam RM bila diolah menurut keperluannya
bisa menjadi sumber informasi kesehatan. Informasi yang dimaksud antara lain
adalah mengenai jumlah kunjungan rawat jalan (out pasient ), rawat inap (in
pasient), jenis penyakit, lama penyakit-penyakit tertentu, obat-obatan yang
dipakai dan lain sebagainya.
Dalam membicarakan tentang
informed consent, (tentulah mengenai
masalah informasi atau penjelasan banyak yang harus diberikan kepada pasien
atau keluarga. Hal-hal yang perlu diinformasikan tersebut antara lain mengenai
(1) kapan informasi disampaikan (when);
(2) siapa yang harus menyampaikan (who);
(3) informasi apa yang harus disampaikan (what);
dan (4) informasi yang mana (which)
yang perlu disampaikan. Dalam Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang PTM dinyatakan
bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien keluarga
diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Pertanyaan, yang dapat diajukan
dalam masalah ini ialah Apakah yang dimaksud dengan informasi tersebut? Informasi
berasal dari kata informare, yang
sebenarnya berarti memberi bentuk. Menurut kamus Echols (1990), to inform berarti “memberitahukan”, dan information berarti “keterangan”. Jadi,
informasi adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang dapat membentuk pendapatnya
berdasarkan sesuatu yang diketahuinya.
F.
Informasi
Yang Berhubungan dengan Informed Consent
Adapun informasi yang
perlu diberikan dan dijelaskan dengan kata-kata sederhana yang dimengerti oleh
pasien atau keluarganya menurut J. Guwandi (2004:45) meliputi:
-
risiko yang melekat (inherent) pada tindakan tersebut;
-
kemungkinan timbulnya efek samping;
-
alternatif lain (jika ada) selain tindakan yang
diusulkan; dan
-
kemungkinan yang terjadi jika tindakan itu tidak
dilakukan.
Permenkes tentang informed consent
Pasal 1 Huruf a menyatakan bahwa persetujuan tindakan medis/ informed consent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan
medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut; sedangkan tindakan medis
menurut Pasal I Huruf b adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa
diagnostik atau terapeutik.
Sebelum memberikan Pertindik (persetujuan
tindakan kedokteran) pasien seharusnya menerima informasi tentang
tindakan medis yang diperlukan, namum ternyata mengandung risiko. Pertindik
harus ditandatangani oleh penderita atau keluarga terdekatnya dan disahkan
minimum satu orang saksi dari pihak pasien. Informasi dan penjelasan yang perlu
diberikan dalam Pertindik meliputi hal-hal berikut:
1. Informasi harus diberikan, baik diminta maupun tidak.
2. Informasi tidak diberikan dengan mempergunakan istilah kedokteran yang
tidak dimengerti oleh orang awam.
3. Informasi diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi, dan
situasi pasien
4. Informasi diberikan secara lengkap dan jujur, kecuali jika dokter menilai
bahwa informasi tersebut dapat merugikan kesehatan pasien, atau pasien menolak
untuk diberikan informasi. Dalam hal ini informasi dapat diberikan kepada
keluarga terdekat.
5. Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan
medis yang akan dilakukan.
6. Informasi dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis yang akan
dilakukan.
7. Informasi dan penjelasan tentang risiko dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
8. Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan medis lain yang
tersedia serta resikonya masing-masing.
9. Informasi dan penjelasan rentang prognosis penyakit apabila tindakan
medis tersebut dilakukan.
1. Untuk tindakan bedah atau tindakan invasif lain, informasi harus diberikan
oleh dokter yang melakukan operasi, atau dokter lain dengan sepengetahuan atau
petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
1. Untuk tindakan yang bukan bedah atau tindakan yang tidak invasif lainnya,
informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat dengan sepengetahuan atau
petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Kewajiban untuk memberikan informasi dan penjelasan berada di tangan dokter
yang akan melakukan tindakan medis. Dokterlah yang paling bertanggung jawab
untuk melakukan informasi dan penjelasan yang diperlukan. Apabila dokter yang akan
melakukan tindakan medis berhalangan untuk memberikan informasi dan penjelasan
maka dapat diwakilkan pada dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang
bersangkutan.
Pasal 2 Ayat (1) Permenkes tentang Pertindik menentukan bahwa semua
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Bentuk
persetujuan itu sendiri dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. Dalam
praktiknya, Perrindik dapat diberikan oleh pasien dengan cara-cara berikut.
1. Dinyatakan (expressed) secara
lisan atau tertulis. Dalam hal ini bila yang dilakukan lebih dari prosedur
pemeriksaan dan tindakan bisa yang mengandung risiko, misalnya pembedahan.
2. Dianggap diberikan (implied or
tacit consent), yaitu dalam keadaan biasa atau dalam keadaan darurat.
Persetujuan diberikan pasien secara tersirat tanpa pernyataan tegas yang disimpulkan dokter dari sikap dan tindakan
pasien misalnya tindakan media berupa pemberian suntikan penjahitan luka, dan
sebagainya. Apabila pasien dalam keadaan gawat darurat tidak sadarkan diri dan
keluarganya tidak ada di tempat, sedangkan dokter memerlukan tindakan segera,
maka dokter dapat melakukan tindakan medis tertentu yang terbaik menurut dokter
(persetujuannya disebut informed consent,
dalam arti bila pasien dalam keadaan sadar, maka pasien dianggap akan menyetujui
tindakan yang dilakukan dokter).
G.
Hak
Untuk Memberikan Informed Consent
Dalam Pertindik yang
berhak memberikan persetujuan atau penolakan untuk dilakukannya tindakan medis
tertentu setelah mendapatkan informasi, berturut-turut adalah sebagai:
1.
Pasien sendiri apabila telah berumur 21 tahun (telah
dewasa) atau telah menikah yang dalam keadaan sadar dan sehat mental.
2.
Pasien di bawah umur 21 tahun, persetujuan atau
penolakan diberikan oleh ayah/ ibu kandung
atau saudara-saudara kandung.
3.
Pasien di bawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai
orang tua/ wali atau orang tua/ wali berhalangan hadir, persetujuan atau
penolakan diberikan oleh keluarga terdekat atau induk semang (guardian).
4.
Pasien dewasa yang menderita gangguan mental,
persetujuan atau penolakan diberikan oleh orang tua/ wali/ curator/ saudara-saudara kandung.
5.
Pasien dewasa yang berada di bawah pengampunan (curatele), persetujuan atau penolakan
diberikan oleh wali/ curator.
6.
Pasien dewasa yang telah menikah persetujuan atau
penolakan diberikan oleh suami/ istri, ayah/ ibu kandung, anak-anak kandung,
saudara-saudara kandung.
Pelaksanaan
Pertindik dinyatakan benar apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1.
Persetujuan
atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang dinyatakan
secara spesifik.
2.
Persetujuan
atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan.
3.
Persetujuan
atau penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang sehat
mental dan memang berhak untuk memberikannya dari segi hukum.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tidak setiap kerugian yang timbul akibat tindakan
medik yang dilakukan dokter selalu harus dibebankan/ dipertanggung jawabkan
kepada dokter yang bersangkutan, tetapi dapat juga merupakan tanggung jawab
rumah sakit dimana dokter bekerja, atau juga merupakan tanggung jawab dari pasien
sendiri sebagai suatu risiko pengobatan. Ada 3 (tiga) macam pertanggungjawaban
hukum dokter dalam melakukan perawatan/ transaksi terapeutik, yaitu tanggung
jawab dalam hukum perdata, hukum pidana, dan hukum disipliner. Tanggung jawab
dalam hukum perdata terjadi bila dokter telah melakukan wanprestasi atau tidak
melakukan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pasien, sehingga
pasien merasa dirugikan oleh tindakan dokter tersebut. Atau dipihak lain,
dokter telah melakukan perbuatan melawan hukum (orzrechtmatigedaad) yaitu suatu perbuatan yang bertentangan dengan
azas kepatutan, ketelitian, sikap ceroboh atau kurang hati-hati yang tercela
dalam pergaulan sesama warga masyarakat (tanggung jawab menurut undang-undang).
Untuk dapat diajukan ke pengadilan berdasarkan perbuatan melawan hukum harus dipenuhi
4 (empat) syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 BW, yaitu:
(1)
Pasien
harus menderita kerugian;
(2)
Ada
kesalahan/ kelalaian (perorangan, rumah sakit, juga termasuk kesalahan/
kelalaian pegawainya);
(3)
Ada
hubungan kausal antara kerugian dan kesahihan;
(4)
Perbuatan
itu melanggar hukum.
Agar terhindar dari tuntutan ganti rugi, dokter
dalam melakukan perawatan terhadap pasien hams tidak boleh menyimpang dari standar
profesi yang telah digariskan, bertindak secara hati-hati menurut standar
profesi seperti seorang dokter yang mempunyai kemampuan rata-rata dalam bidang
keahlian yang sama, dalam situasi, dan kondisi yang sama untuk mencapai tujuan
pengobatan secara konkrit. Pertanggung jawaban dalam hukum pidana berbeda
dengan pertanggung jawaban dalam hukum perdata. Hukum pidana adalah bagian dari
hukum publik, karena itu tekanan utamanya adalah kepentingan umum/ masyarakat. Untuk
adanya pertanggung jawaban dalam hukum pidana harus dipenuhi 3 (tiga) syarat
yaitu:
(1)
Harus
ada perbuatan yang dapat dipidana;
(2)
Perbuatan
tersebut bertentangan dengan hukum;
(3)
Harus
ada kesalahan.
B. Saran
Banyak tudingan yang dilemparkan masyarakat kepada
profesi kedokteran dalam memberikan pelayanan medik hendaknya profesi
kedokteran tidak menanggapi secara emosional, tetapi perlu melakukan pendekatan
pada para pihak yang merasa dirugikan kepentingannya oleh tindakan dokter
tersebut. Dalam hal ini masyarakat harus diyakinkan, bahwa hasil pengobatan
terakhir yang dilakukan dokter dan berakibat menimbulkan cacat, luka berat,
atau bahkan meninggal/ kematian belum tentu merupakan kesalahan dokter. Bila dokter
dalam melakukan tindakannya tersebut telah bertindak sesuai dengan standar
profesi yang telah digariskan yaitu bertindak dengan baik, hati-hati, teliti
sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan, rata-rata seorang dokter ahli
dan dalam kondisi dan sarana yang seimbang. Harus diingat, bahwa Ilmu
Kedokteran adalah Ilmu pengetahuan
berdasar pada pengalaman “evidence based”
dan bukan ilmu pasti, sehingga basil akhir yaitu pengobatan atau suatu tindakan
medik tidak ada yang 100% pasti berhasil. Hash akhir suatu pengobatan atau
tindakan medik merupakan suatu ‘probabilitas”.
Bila suatu “probabilitas”
keberhasilannya tinggi, maka tindakan medik itu secara profesional dapat
dipertanggungjawabkan. Untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi keraguan pasien/ masyarakat atas pelayanan
yang akan dilakukan, atau telah dilakukan dokter terhadap pasien, disarankan
agar IDI sebagai organisasi induk para dokter mewajibkan kepada seluruh
anggotanya secara profesional untuk meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi,
kemampuan memberikan informasi yang cukup jelas, sehingga pasien/ keluarga
cukup jelas dan mengerti informasi yang diberikan serta tindakan apa serta
risiko-risiko yang mungkin akan timbul atas tindakan dokter terhadap dirinya.
Dengan demikian pasien/ keluarga dapat memilih salah satu alternatif
pengobatan, dan membuat suatu keputusan yang tepat. Disamping itu, IDI perlu
melakukan koordinasi ke samping dengan organisasi profesi lain, para aparat
penegak hukum secara kontinyu/ periodik.
No comments:
Post a Comment