BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kemampuan untuk mencegah
transmisi infeksi di Rumah Sakit dan upaya pencegahan infeksi adalah tingkatan
pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Dalam pemberian pelayanan yang
bermutu, seorang petugas kesehatan harus memiliki kemampuan untuk mencegah
infeksi dimana hal ini memiliki keterkaitan yang tinggi dengan pekerjaan karena
mencakup setiap aspek penanganan pasien (Soeroso, 2007).
Kebutuhan
untuk pengendalian infeksi nosokomial akan
semakin meningkat terlebih lagi dalam keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan seperti yang telah dihadapi Indonesia saat ini. Indikasi rawat pasien akan semakin ketat, pasien akan datang dalam keadaan yang semakin parah, sehingga perlu perawatan yang lebih lama yang juga berarti pasien dapat memerlukan tindakan invasif yang lebih banyak. Secara keseluruhan berarti daya tahan pasien lebih rendah dan pasien cenderung untuk mengalami berbagai tindakan invasif yang akan memudahkan masuknya mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial (Soeroso, 2007)
semakin meningkat terlebih lagi dalam keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan seperti yang telah dihadapi Indonesia saat ini. Indikasi rawat pasien akan semakin ketat, pasien akan datang dalam keadaan yang semakin parah, sehingga perlu perawatan yang lebih lama yang juga berarti pasien dapat memerlukan tindakan invasif yang lebih banyak. Secara keseluruhan berarti daya tahan pasien lebih rendah dan pasien cenderung untuk mengalami berbagai tindakan invasif yang akan memudahkan masuknya mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial (Soeroso, 2007)
Saat ini,
masalah infeksi nosokomial makin banyak mendapat perhatian para ahli karena di
samping dapat meningkatkan morbilitas maupun mortalitas, juga menambah biaya
perawatan dan obat-obatan, waktu dan tenaga yang pada akhirnya akan membebani
pemerintah/rumah sakit, personil rumah sakit maupun penderita dan keluarganya.
Hal ini jelas bertentangan dengan kebijaksanaan pembangunan bidang kesehatan
yang justru menekankan peningkatan efisiensi pelayanan kesehatan (Triatmodjo,
1993).
Infeksi nosokomial adalah semua kasus infeksi yang terjadi
sekurang-kurangnya setelah 3 x 24 jam dirawat di rumah sakit atau pada waktu
masuk tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut. Meskipun
kultur tidak mendukung ke arah infeksi nosokomial, tetap dicatat sebagai
infeksi nosokomial (Kurniadi, 1993)
Jenis infeksi nosokomial yang sering dijumpai pada pasien bedah
berturut-turut adalah infeksi saluran kemih, infeksi arena bedah, infeksi
saluran napas bawah, bakteriemia dan sepsis yang berkaitan dengan penggunaan
alat intravaskuler. Upaya identifikasi dan pengamatan pasien yang berisiko
tinggi harus dilakukan sehingga kemudian dapat dilakukan upaya pencegahan,
diagnosis dan penanggulangannya (Sjamsuhidayat & De jong, 2004).
Infeksi nosokomial pada pasien bedah meningkatkan morbiditas dan
mortalitas, memperpanjang masa rawat, menyebabkan hilangnya waktu kerja, dan
meningkatkan biaya perawatan (Sjamsuhidayat & De jong, 2004).
Cara penularan melalui tenaga perawat ditempatkan sebagai penyebab
yang paling utama infeksi nosokomial. Penularan melalui tangan perawat dapat
secara langsung karena tangan yang kurang bersih atau secara tidak langsung
melalui peralatan yang invasif. Dengan tindakan mencuci tangan secara benar
saja kejadian infeksi nosokomial dapat mencapai 50% apalagi jika tidak mencuci
tangan. Peralatan yang kurang steril, air yang terkontaminasi kuman, cairan
desinfektan yang mengandung kuman, sering meningkatkan risiko infeksi
nosokomial (Utje, 1993).
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitiannya adalah “faktor-faktor
apakah yang berhubungan dengan upaya perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial
C. Tujuan
Untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan upaya perawat dalam pencegahan infeksi
nosokomial
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tentang Infeksi
Nosokomial
Infeksi
adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai
suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama
seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala
selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai dirawat disebut infeksi
nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda
infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah
terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan
gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi
nosokomial.
B. Epidemiologi
Infeksi
nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara
miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih
menjadi penyebab utama. Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan
bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa,
Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi
nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0%.
Walaupun
ilmu pengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi meningkat pesat pada 3
dekade terakhir dan sedikit demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi
semakin meningkatnya pasien-pasien dengan penyakit immunocompromised, bakteri
yang resisten antibiotik, infeksi virus dan jamur, dan prosedur invasif masih
menyebabkan infeksi nosokomial menimbulkan kematian sebanyak 88.000 kasus
setiap tahunnya (Utama, 2006).
Selain
itu, jika kita bandingkan kuman yang ada di masyarakat, mikroorganisme yang
berada di rumah sakit lebih berbahaya dan lebih resisten terhadap obat. Oleh karena
itu, diperlukan antibiotik yang lebih poten atau suatu kombinasi antibiotik.
Semua kondisi ini dapat meningkatkan resiko infeksi kepada pasien (Utama,
2006).
C. Faktor Penyebab perkembangan infeksi nosokomial
a.
Agen
infeksi
Pasien
akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat di rumah sakit.
Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu
menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan
terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada:
1.
karakteristik
mikroorganisme
2.
resistensi
terhadap zat-zat antibiotika
3.
tingkat
virulensi, dan
4.
banyaknya
materi infeksius.
Semua
mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan
infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang
didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora
normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan
infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor
eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan
benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah
sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu
ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada
orang normal (Utama, 2006).
b.
Respon dan toleransi tubuh pasien
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan
respon tubuh pasien dalam hal ini adalah:
1.
Usia
2.
status
imunitas penderita
3.
penyakit
yang diderita
4.
Obesitas
dan malnutrisi
5.
Orang
yang menggunakan obat-obatan
6.
imunosupresan
dan steroid
7.
Intervensi
yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi.
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan
resistensi tubuh terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita
menderita penyakit kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus,
gagal ginjal, SLE dan AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi
tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat opportunistik.
Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti
biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga
meningkatkan resiko infeksi (Utama, 2006).
c. Infeksi
melalui kontak langsung dan tidak langsung
Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung
atau tidak langsung dengan penyebab infeksi. Penularan infeksi ini dapat
melalui tangan, kulit dan baju, seperti golongan staphylococcus aureus.
Dapat juga melalui cairan yang diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis
dan HIV. Peralatan dan instrumen kedokteran. Makanan yang tidak steril, tidak
dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya infeksi
silang.
d.
Resistensi
antibiotika
Seiring
dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara tahun
1950-1970, banyak penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan
disembuhkan. Bagaimana pun juga, keberhasilan ini menyebabkan penggunaan
berlebihan dan penyalahgunaan dari antibiotika. Banyak mikroorganisme yang kini
menjadi lebih resisten. Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan
angka mortalitas terutama terhadap pasien yang immunocompromised. Resitensi
dari bakteri ditransmisikan antar pasien dan faktor resistensinya dipindahkan
antara bakteri. Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini justru
meningkatkan multiplikasi dan penyebaran strain yang resisten. Penyebab
utamanya karena:
1.
Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak
terkontrol
2.
Dosis
antibiotika yang tidak optimal
3.
Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang
terlalu singkat
4.
Kesalahan
diagnosa (Utama, 2006)
Banyaknya
pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen yang resisten
terhadap antibiotika mengakibatkan timbulnya multiresistensi kuman terhadap
obat-obatan tersebut. Penggunaan antibiotika secara besar-besaran untuk terapi
dan profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi. Banyak strain dari pneumococci,
staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah
resisten terhadap banyak antibiotika, begitu juga klebsiella dan pseudomonas
aeruginosa juga telah bersifat multiresisten. Keadaan ini sangat nyata
terjadi terutama di negara-negara berkembang dimana antibiotika lini kedua
belum ada atau tidak tersedia.
Infeksi
nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit,
serta menjadi sangat penting karena meningkatnya jumlah penderita yang dirawat,
seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umur,
mikororganisme yang baru (mutasi), dan Meningkatnya resistensi bakteri terhadap
antibiotika.
e.
Faktor
alat
Dari
suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan infeksi dari
kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit,
infeksi dari luka operasi dan septikemia. Pemakaian infus
dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti. Di ruang penyakit dalam,
diperkirakan 20-25% pasien memerlukan terapi infus. Komplikasi kanulasi
intravena ini dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi. Komplikasi
tersebut berupa:
1.
Ekstravasasi infiltrat : cairan infus masuk ke jaringan
sekitar insersi kanula
2.
Penyumbatan : Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya
tanpa dapat dideteksi adanya gangguan lain
3.
Flebitis : Terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri
sepanjang vena
4.
Trombosis : Terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh
vena yang menghambat aliran infus
5.
Kolonisasi kanul : Bila sudah dapat dibiakkan
mikroorganisme dari bagian kanula yang ada dalam pembuluh darah
6.
Septikemia : Bila kuman menyebar hematogen dari kanul
7.
Supurasi : Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar
insersi kanul (Utama, 2006)
Beberapa faktor di bawah ini berperan dalam meningkatkan
komplikasi kanula intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan
melalui venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang
dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan
infus yang hipertonik dan darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan
mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes
obat, manipulasi terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter
merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteremia
D.
Tinjauan Umum tentang Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial
Pencegahan dari
infeksi nosokomial oleh tenaga kesehatan termasuk perawat diperlukan suatu
rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk:
a.
Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien
dengan cara mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan
aseptik, sterilisasi dan disinfektan.
b.
Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
c.
Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang
adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi.
d.
Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan
prosedur invasif.
e.
Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol
penyebarannya (Utama, 2006)
Adapun cara
pencegahan infeksi nosokomial meliputi:
1.
Dekontaminasi
tangan
Transmisi
penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga hiegene dari
tangan. Tetapi pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan benar karena
banyaknya alasan seperti kurangnya peralatan, alergi produk pencuci tangan,
sedikitnya pengetahuan mengenai pentingnya hal ini dan waktu mencuci tangan
yang lama. Selain itu, penggunaan sarung tangan sangat dianjurkan bila akan
melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien dengan penyakit-penyakit
infeksi. Hal yang perlu diingat adalah memakai sarung tangan ketika akan
mengambil atau menyentuh darah, cairan tubuh, atau keringat, tinja, urin,
membran mukosa dan bahan yang kita anggap telah terkontaminasi dan segera
mencuci tangan setelah melepas sarung tangan
2.
Instrumen yang sering digunakan Rumah Sakit
Simonsen et al (1999) menyimpulkan bahwa lebih dari 50%
suntikan yang dilakukan di negara berkembang tidaklah aman (contohnya jarum,
tabung atau keduanya yang dipakai berulang-ulang) dan banyaknya suntikan yang
tidak penting (misalnya penyuntikan antibiotika). Untuk mencegah penyebaran penyakit
melalui jarum suntik maka diperlukan:
a.
Pengurangan
penyuntikan yang kurang diperlukan, pergunakan jarum steril, penggunaan alat
suntik yang sekali pakai.
b.
Masker;
sebagai pelindung terhadap penyakit yang ditularkan melalui udara. Begitupun
dengan pasien yang menderita infeksi saluran nafas, mereka harus menggunakan
masker saat keluar dari kamar penderita.
c.
Sarung
tangan; sebaiknya digunakan terutama ketika menyentuh darah, cairan tubuh,
feses maupun urine. Sarung tangan harus selalu diganti untuk tiap pasiennya.
Setelah membalut luka atau terkena benda yang kotor, sarung tangan harus segera
diganti.
d.
Baju
khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian selama kita
melakukan suatu tindakan untuk mencegah percikan darah, cairan tubuh, urin dan
feses.
3.
Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit
Pembersihan yang rutin sangat penting untuk meyakinkan
bahwa rumah sakit sangat bersih dan benar-benar bersih dari debu, minyak dan
kotoran. Perlu diingat bahwa sekitar 90 persen dari kotoran yang terlihat pasti
mengandung kuman. Harus ada waktu yang teratur untuk membersihkan dinding,
lantai, tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis
yang telah dipakai berkali-kali.
Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan di banyak
fasilitas kesehatan. Usahakan adanya pemakaian penyaring udara, terutama bagi
penderita dengan status imun yang rendah atau bagi penderita yang dapat
menyebarkan penyakit melalui udara. Kamar dengan pengaturan udara yang baik
akan lebih banyak menurunkan resiko terjadinya penularan tuberkulosis.
Selain itu, rumah sakit harus membangun suatu fasilitas
penyaring air dan menjaga kebersihan pemrosesan serta filternya untuk
mencegahan terjadinya pertumbuhan bakteri. Sterilisasi air pada rumah sakit
dengan prasarana yang terbatas dapat menggunakan panas matahari.
Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit
perawatan pasien diare untuk mencegah terjadinya infeksi antar pasien.
Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi disinfektan.
4.
Perbaiki
ketahanan tubuh
Di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen
oportunis, ada pula bakteri yang secara mutualistik yang ikut membantu dalam
proses fisiologis tubuh dan membantu ketahanan tubuh melawan invasi jasad renik
patogen serta menjaga keseimbangan di antara populasi jasad renik komensal pada
umumnya, misalnya seperti apa yang terjadi di dalam saluran cerna manusia.
Pengetahuan tentang mekanisme ketahanan tubuh orang sehat yang dapat
mengendalikan jasad renik oportunis perlu diidentifikasi secara tuntas,
sehingga dapat dipakai dalam mempertahankan ketahanan tubuh tersebut pada
penderita penyakit berat. Dengan demikian bahaya infeksi dengan bakteri
oportunis pada penderita penyakit berat dapat diatasi tanpa harus menggunakan
antibiotika.
5.
Ruangan
Isolasi
Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah
dengan membuat suatu pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan terutama
untuk penyakit yang penularannya melalui udara, contohnya tuberkulosis dan SARS
yang mengakibatkan kontaminasi berat. Penularan yang melibatkan virus,
contohnya DHF dan HIV. Biasanya, pasien yang mempunyai resistensi rendah seperti
leukimia dan pengguna obat immunosupresan juga perlu diisolasi agar terhindar
dari infeksi. Tetapi menjaga kebersihan tangan dan makanan, peralatan kesehatan
di dalam ruang isolasi juga sangat penting. Ruang isolasi ini harus selalu
tertutup dengan ventilasi udara selalu menuju keluar. Sebaiknya satu pasien
berada dalam satu ruang isolasi, tetapi bila sedang terjadi kejadian luar biasa
dan penderita melebihi kapasitas, beberapa pasien dalam satu ruangan tidaklah
apa-apa selama mereka menderita penyakit yang sama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di
rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat
atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial
banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara miskin dan
negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi
penyebab utama.
Faktor Penyebab perkembangan infeksi nosokomial yaitu Agen infeksi, Respon
dan toleransi tubuh pasien, Infeksi melalui kontak langsung dan
tidak langsung, Resistensi antibiotika dan Faktor alat
B.
Saran
1.
Diharapkan kepada penentu kebijakan dalam hal ini rumah
sakit agar memfasilitasi alat yang dibutuhkan dalam mencegah infeksi nosokomial
di rumah sakit dan mengurangi beban kerja perawat agar dapat melakukan upaya
pencegahan infeksi nosokomial dengan baik.
2.
Diharapkan kepada perawat pelaksana agar berupaya dengan
baik dalam mencegah infeksi nosokomial di rumah sakit..
DAFTAR PUSTAKA
Alimul,
A. H. (2002). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta:
Salemba Medika.
Dinkes
Sul-Sel (2008) ) Profil Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan 2007,
Makassar
Brockopp, D.Y. (1999). Dasar-dasar Riset Keperawatan. Jakarta: EGC
Hamid, A.Y.S. (1999). Buku ajar riset keperawatan I. Jakarta: Widya
Medika
Hasibuan,
M. (2003) Organisasi dan Motivasi, Jakarta:PT. Bhuana Aksara
Kurniadi,
H. (1993) Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di RS Mitra Keluarga Jakarta,
Cermin Dunia Kedokteran No. 82 tahun 1993.
Mardalis. (2003). Metodologi Penelitian suatu pendekatan Proposal.
Cetakan VI, Jakarta: PT. Bumi aksara
Notoatmodjo, S, (2003) Pengantar Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Perilaku
Kesehatan, Andi Offset: Yogyakarta.
Nursalam.
(2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman
skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian. Jakarta: Salemba medika.
Pamela J.
B. (1998). Langkah Dasar Dalam Perencanaan Riset Keperawatan Dari Pertanyaan Sampai Proposal. Jakarta:
EGC
Perry &
Potter (2005) Buku Ajar Fundamental Keperawatan; Konsep, proses, dan Praktik,
Volume 2, Edisi IV, Jakarta: EGC
Pratiknya,
A.W. (2003). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.
Cetakan V Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Robbins,
S. P (1996) Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Jakarta:
Phenhallimindo.
Schaffer,
et al (2000) Pencegahan Infeksi & Praktik yang Aman, Jakarta: EGC.
Sjamsuhidayat
& De Jong (2004) Buku ajar Ilmu Bedah, EGC: Jakarta.
Siagian,
S.P. (2003) Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara.
No comments:
Post a Comment