BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
disebutkan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah memajukan
kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum dapat ditingkatkan apabila kemiskinan
dapat dikurangi. Kemiskinan dapat dikurangi apabila ada pertumbuhan ekonomi
yang berkeadilan dan pemerataan dibidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur
serta akses berusaha dan memperoleh kesempatan kerja serta stabilitas keamanan
dan tidak adanya gejolak sosial. Apabila pertumbuhan dan pemerataan tidak dapat
dilaksanakan dan stabilitas keamanan tidak terkendali, akan berdampak
kemiskinan meningkat.
Kemiskinan merupakan masalah utama
pembangunan diberbagai bidang yang ditandai dengan kerentanan,
ketidakberdayaan, keterisolasian dan ketidakmampuan menyampaikan aspirasi.
Secara sosial ekonomi kemiskinan dapat menjadi beban masyarakat, menyebabkan
rendahnya kualitas dan produktifitas masyarakat, rendahnya partisipasi aktif
masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statisik (BPS), menunjukan bahwa
jumlah penduduk miskin Indonesia hingga Maret 2006 meningkat. Jumlah penduduk
miskin mencapai 39,05 juta orang atau 17,75% dari total penduduk Indonesia yang
berjumlah 220 juta orang. Ini berarti meningkat 3,95 juta ketimbang Pebruari
2005. persentase orang miskin sebagian besar hidup di desa, yaitu mencapai
63,4%. Penduduk miskin di pedesaan meningkat 2,06 juta, dan di kota bertambah
1,89 juta. Garis kemiskinan pada Maret 2006 Rp. 152, 847,-/jiwa/bulan atau naik
18,39%. Garis kemiskinan naiknya lebih tinggi dari tingkat inflasi. Inflasi
pada periode yang sama hanya sebesar 17,95%. Penduduk yang tidak sampai pada
garis kemiskinan tersebut, masuk dalam kategori kelompok penduduk miskin.
Angka kemiskinan di pedesaan lebih besar
dibandingkan dengan daerah perkotaan, padahal kenyatannya program-program
pembangunan yang ditujukan untuk mengentaskan masyarakat pedesaan dari
kemiskinan, sesungguhnya jauh lebih banyak. Bantuan tehnologi dan dana sudah
banyak dikucurkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, akan tetapi
ternyata kemiskinan tetap ada bahkan cenderung semakin bertambah.
Chambers (1983 : 145) Kemiskinan dianggapnya sebagai
proses interaksi dari berbagi faktor yang muncul sebagai akibat dari situasi
ketidakadilan, ketidakpastian, ketimpangan, ketergantungan dalam struktur
masyarakat. Oleh karena itu, kemiskinan lebih tepat disebut sebagai perangkap
kemiskinan (deprivation trap) yang
terdiri dari 5 (lima) unsur penyebab kemiskinan yang saling terkait yaitu :
ketidakberdayaan (powerlessness),
kerawanan atau kerentanan (vulnerability),
kelemahan fisik (physical weakness),
kemiskinan (poverty) dan isolasi (isolation).
Rahardja (1996: 146) menyatakan bahwa kemiskinan
disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda, di antaranya adalah (1) kesempatan kerja, (2) upah gaji di
bawah standar minimum, (3) produktivitas kerja yang rendah, (4) ketiadaan aset,
(5) diskriminasi, (6) tekanan harga, (7) penjualan tanah.
Berdasarkan uraian diatas, maka menurut
Suyanto (1995 : 106) ada empat faktor yang disinyalir menjadi penyebab mengapa
kemiskinan di pedesaan masih tetap mencolok :
“Pertama, karena adanya pemusatan kepemilikan tanah yang
dibarengi dengan adanya proses fragmentasi pada arus bawah masyarakat pedesaan;
Kedua, karena nilai tukar hasil produksi warga pedesaan khususnya sektor
pertanian yang semakin jauh tertinggal dengan hasil produksi lain, termasuk
kebutuhan hidup sehari-hari warga pedesaan; ketiga, karena lemahnya posisi
masyarakat desa khususnya petani dalam mata rantai perdagangan; Keempat, karena
karakter struktur sosial masyarakat pedesaan yang terpolarisasi. “
Selain angka kemiskinan, juga terjadi
kesenjangan-kesenjangan kesejahteraan dalam masyarakat yang menimbulkan
kemiskinan. Kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat pada dasarnya
diakibatkan oleh faktor :
(1) Sosial
ekonomi rumah tangga atau masyarakat, (2) struktur kegiatan ekonomi sektoral
yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah tangga atau masyarakat, (3) potensi
regional (sumber daya alam, lingkungan dan infrastruktur) yang mempengaruhi
perkembangan struktur kegiatan produksi, dan (4) kondisi kelembagaan yang
membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan
global. (Wiranto, 2006).
Salah satu
isu yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan adalah penurunan kualitas hidup,
ketersediaan sarana dan prasarana, ketidakmampuan institusi ekonomi menyediakan
kesempatan usaha, lapangan kerja, serta pendapatan yang memadai, yang saling
berkaitan dan sangat kompleks.
Kegagalan pembangunan untuk mengentaskan
kemiskinan di Indonesia dan atau negara-negara berkembang karena pembangunan
yang dilaksanakannya kurang memperhatikan partisipasi masyarakat. Hal tersebut
sejalan dengan pemikiran Korten dan Sjahrir (1984 : 314) bahwa pembangunan
tersebut kurang memberikan kesempatan kepada rakyat miskin untuk ikut dalam
proses pengambilan keputusan yang menyangkut pemilihan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan.
Dari
kegagalan tersebut maka sekarang ini pelaksanaan pembangunan kemiskinan adalah
melalui pemberdayaan masyarakat yang berpusat pada manusia (people-centered
development) ini kemudian melandasi wawasan pengelolaan sumber daya lokal (community-based
resources management) yang merupakan mekanisme perencanaan people-centered
development yang menekankan pada teknologi pembelajaran sosial (social
learning) dan strategi perumusan program.
Adapun
tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
mengaktualisasikan dirinya (empowernment).
Soegijono dkk dalam
Soekamto (2004: 78-79) menyatakan:
Terdapat tiga pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat miskin, (1)
pendekatan yang terarah, artinya pemberdayaan masyarakat harus terarah yakni
berpihak kepada orang miskin, (2) pendekatan kelompok, artinya secara
bersama-sama untuk memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi, dan (3)
pendekatan pendampingan, artinya selama proses pembentukan dan penyelenggaraan
kelompok masyarakat miskin perlu didampingi oleh pendamping yang profesional
sebagai fasilitator, komunikator dan dinamisator terhadap kelompok untuk
mempercepat tercapainya kemandirian.
Pada dasarnya kemiskinan merupakan masalah dalam
pembangunan yang bersifat multidimensional, yang berkaitan erat dengan aspek
sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya. Kemiskinan ditandai oleh rendahnya tingkat
pendapatan masyarakat, keterisolasian, keterbelakangan, dan pengangguran, yang
kemudian meningkat menjadi ketimpangan antar daerah, antar sektor dan antar
golongan penduduk (Sumodiningrat, 1999: 2
). kemiskinan timbul karena ada
sebagian daerah yang belum sepenuhnya tertangani, ada sebagian sektor yang
harus menampung tenaga kerja secara berlebih dengan tingkat produktifitas yang
rendah, dan ada pula sebagian masyarakat yang belum ikut serta dalam proses
pembangunan sehingga belum dapat menikmati hasilnya secara memadai.
Hal lain,
pembangunan masyarakat pedesaan merupakan hal yang krusial harus dilaksanakan
terutama sekali pembangunan fisik prasarana dan perekonomiannya, karena
sebagian besar penduduk Indonesia bermukim di pedesaan yang masih banyak hidup
dalam kemiskinan dan keterbelakangan. oleh sebab itu Usman (1998: 30-31),
mengatakan bahwa :
“Masyarakat pedesaan perlu diberdayakan karena masih
mencerminkan adanya kelemahan dan kekurangan dalam Pendidikan yang rendah,
rentan terhadap penyakit, pendapatan yang minim, kurangnya akses ekonomi dan
politik.”
Belajar dari
fenomena tersebut, maka selanjutnya terjadi perubahan paradigma dalam
pembangunan desa seiring diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004. Konsep otonomi desa yang tertuang didalamnya memberikan
kedudukan yang kuat bagi desa dan masyarakatnya untuk melaksanakan pembangunan
yang sesuai dengan kebutuhannya, dimana proses pembangunan secara bertahap
telah bergeser mengarah kepada proses yang memungkinkan masyarakat dapat
berpartisipasi secara keseluruhan (participatory
development), sejak dari (a) prakarsa (dari masyarakat), (b) perencanaan,
pelaksanaan dan pengendaliannya (oleh masyarakat), hingga kealokasian
manfaatnya (untuk masyarakat).
Kondisi semacam ini didukung oleh pernyataan bahwa
hakekat pengertian pembangunan adalah dari, untuk dan oleh masyarakat, dengan
demikian maka pembangunan di pedesaan menempatkan masyarakat desa sebagai subyek
pembangunan dan bukan sebagai obyek pembangunan, atau dengan kata lain bahwa
pembangunan desa harus dapat dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri dan bukan
dilakukan oleh pemerintah supra desa.
Pembangunan harus menerapkan prinsip-prinsip desentralisasi,
bergerak dari bawah (buttom up),
mengikutsertakan masyarakat secara aktif (participatory),
dilaksanakan dari dan bersama masyarakat (from
and with people) dan koordinasi antar sektor serta kelembagaan yang ada di
desa. Melalui proses semacam ini maka keinginan-keinginan dan kebutuhan
masyarakat desa dapat disalurkan dan diwujudkan dalam program pembangunan desa.
Dari pemikiran diatas, jelaslah bahwa dalam pelaksanaan
pembangunan desa sangat dibutuhkan prakarsa masyarakat setempat, dilakukan oleh
masyarakat itu sendiri dan keputusan yang diambil bermanfaat untuk
kesejahteraan masyarakat itu sendiri, serta dilakukan secara terus menerus,
berkesinambungan dan berorientasi ke masa depan.
Pada masa sekarang upaya penanggulangan
kemiskinan dihadapkan pada tuntutan Pemerintah agar dapat menyusun strategi
penanggulangan kemiskinan nasional dalam jangka panjang. Kebijakan pemerintah
yang diluncurkan pada saat ini banyak
diarahkan pada upaya penanggulangan
kemiskinan baik di perkotaan maupun di daerah pedesaan, dengan harapan
agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara layak dan bahkan lebih dapat ditingkatkan kesejahteraannya. Pelibatan
semua pihak dalam pengambilan kebijakan dan perumusan program pengentasan
kemiskinan menjadi penting, termasuk pelibatan institusi-institusi lokal yang
ada di daerah.
Penanggulangan kemiskinan yang bertumpu
kepada peran serta aktif masyarakat diupayakan dalam rangka menumbuhkan
kemandirian masyarakat miskin. Melalui Kelompok Masyarakat (Pokmas), pembahasan
perencanaan kebutuhan mereka yang mendesak dan mendasar dilakukan. Ini berarti
mendorong penduduk miskin yang pada umumnya hidup di daerah pedesaan agar
semakin memahami dan semakin mampu mengatasi sendiri permasalahan yang
dihadapinya.
Dikatakan oleh Mubyarto (1996: 20) bahwa upaya penanggulangan kemiskinan
dilakukan melalui proses penguatan penduduk miskin yang mencakup lima aspek,
yaitu pengembangan sumber daya manusia, penyediaan modal kerja, penciptaan
peluang dan kesempatan berusaha, pengembangan kelembagaan penduduk miskin dan
penciptaan sistem pelayanan kepada penduduk miskin yang sederhana dan efisien.
Melalui jalur pendekatan tersebut, penduduk miskin diharapkan mampu dengan
kekuatannya sendiri, menanggulangi kemiskinannya serta meningkatkan
kesejahteraannya secara memadai dan berkelanjutan.
Salah satu program pemerintah dalam rangka
pengentasan kemiskinan pedesaan dengan upaya penguatan pedesaan melalui
pemberdayaan masyarakat, adalah melalui proyek
Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa (Proyek PMPD) atau Community
Empowerment for Rural Development Project (CERD Project) yang mulai
dilaksanakan sejak tahun anggaran 2001.
Pendekatan Proyek PMPD menekankan pada visi pemberdayaan
masyarakat dengan meningkatkan kesadaran kritis atas posisinya dalam struktur
sosial politik dimana orang miskin tinggal, dan sekaligus memutuskan
hubungan-hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap lapisan orang miskin.
Rasa kesamaan menjadi bagian yang dibangun dan diperkuat melalui wadah CBSLO (Community
Basic Save and Load Organization) dan memberikan kesadaran bahwa miskin
yang dialami bukan karena faktor takdir melainkan dikarenakan adanya konstruksi
sosial yang membentuk mereka menjadi miskin. Oleh karena itu dalam rumusan
pembangunan PMPD menuntut dilakukan secara transparan, partisipatif, dan
akuntabilitas.
Adapun Proyek PMPD mempunyai tujuan untuk
mengentaskan masyarakat miskin pedesaan, khususnya masyarakat miskin yang
tinggal di dekat pusat pertumbuhan, melalui upaya-upaya :
1.
Memberdayakan masyarakat desa dengan meningkatkan kapasitas masyarakat
dalam merencanakan dan mengelola kegiatan pembangunan desanya, serta
meningkatkan kapasitas aparat pemerintah dalam memfasilitasi pembangunan
pedesaan.
2.
Mendukung kegiatan investasi lokal serta meningkatkan keterkaitan pedesaan-perkotaan
dengan membangun sarana dan prasarana pedesaan yang dibutuhkan untuk
mengembangkan produtivitas usaha skala kecil dan mikro.
Sasaran penerima manfaat dari Proyek PMPD adalah
kelompok penduduk miskin di pedesaan dengan lebih memperhatikan kelompok
perempuan dan penduduk asli setempat (Indigenous People).
Kriteria kemiskinan pada proyek PMPD adalah
mereka yang tergolong miskin produktif
potensial (MPP), sasaran Proyek PMPD bukan pada masyarakat yang tergolong
miskin absolut, melainkan golongan miskin relatif, dimana mereka miskin karena
keterbatasan akses dalam banyak hal seperti :
1. Keterbatasan akses informasi
2. Keterbatasan akses terhadap lembaga keuangan
3. Keterbatasan terhadap pasar
4. Keterbatasan terhadap tehnologi
5. Keterbatasan Infrastruktur
6.
Keterbatasan
akses terhadap lembaga pemerintah dan intitusi lain.
bertolak dari banyak keterbatasan sebagaimana
yang digambarkan diatas, maka sasaran proyek PMPD apabila dikwantitafkan atas
dasar nilai UMR di daerah dengan rata-rata sebesar Rp. 300.000,- (di Luar Jawa)
dan dihitung dengan ukuran beras untuk lokasi di luar jawa perhitungannya
sebagai berikut
Rp. 300.000,- x 12 bulan =
765 Kg
Rp. 4.700,-
(harga beras setempat)
jika dihitung dengan uang, besarnya sebagai
berikut :
765 Kg x Rp. 4.700,-
= Rp. 299.625,-
12 bulan
Atas dasar perhitungan diatas, jika
dikwalitatifkan maka terhadap sasaran proyek PMPD( Modul 1-TOT , Cerd, 2004 :
42) dapat dipetakan sebagai berikut :
1) Masyarakat yang memiliki usaha dalam skala mikro;
2) Tingkat pendapatan sebesar Rp. 299.625,- perbulan
3) Keterbatasan akses terhadap lembaga keuangan
4) Kegiatan usaha bervariatif dan tersebar dimana-mana
5) kegiatan usahanya informal
6) asset yang dimilkinya dibawah 25 juta diluar tanah dan
bangunan
7) Lingkup pasar usaha terbatas
8) tehnologi yang digunakan sederhana
9)
Pengguna
tenaga kerja tidak lebih dari 10 orang.
Salah satu komponen dari kegiatan PMPD dalam
pengentasan kemiskinan serta merupakanan komponen yang diharapkan
kelestariannya setelah proyek berakhir adalah dengan memberdayakan masyarakat
pedesaan melalui pembentukan Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM)
yang mempunyai tujuan untuk membantu kondisi keuangan anggotanya melalui
kegiatan simpan pinjam, sekaligus menjadi lembaga penyedia modal kerja bagi
masyarakat pedesaan. Sumber utama pendapatan LSPBM adalah memberikan pinjaman,
hal ini merupakan salah satu tindakan saling membantu. Pelayanan pemberian
pinjaman diutamakan untuk tujuan yang produktif, serta memajukan inisiatif
kewiraswastaan masyarakat.
Sejak Tahun 2001 (awal pelaksanaan Proyek
PMPD) sampai sekarang Kabupaten Konawe telah melaksanakan kegiatan tersebut
pada 8 kecamatan, yang terbagi dalam 48 desa dengan sasaran desa/ kelurahan
yang memiliki penduduk miskin yang cukup tinggi berdasarkan data BPS tahun 2001,
serta desa/kelurahan tersebut berdekatan dengan pusat pertumbuhan Kabupaten
Konawe yaitu Kecamatan Unaaha.
Kecamatan Lambuya adalah salah satu kecamatan
yang telah memiliki hubungan langsung dengan Kecamatan Unaaha yang merupakan
ibukota Kabupaten Konawe, sehingga merupakan kecamatan yang berdekatan dengan
pusat pertumbuhan. Kecamatan ini menjadi salah satu dari 8 kecamatan yang
menjadi lokasi sasaran pelaksanaan Program PMPD, yang terdiri dari 4 (empat)
desa, yang salah satunya adalah Desa Waworaha.
Desa Waworaha dengan LSPBM Maju Sejahtera, menjadi
lokasi Program PMPD sejak tahun anggaran 2004 berdasarkan laporan yang
diberikan oleh Unit Pelaksana Proyek Kabupaten Konawe dan Konsultan Kabupaten
per 31 Agustus 2006 merupakan desa yang berhasil dalam pengembangan LSPBM, di
Kabupaten Konawe.
Namun demikian bagaimana pelaksanaan pemberdayaan masyarakat miskin
Pedesaan melalui program LSPBM dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya, menjadi
menarik untuk diteliti sebagai bahan kajian dan masukan bagi para pihak yang
berkepentingan dalam pembangunan khususnya pembangunan yang berdimensi
kerakyatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka
penulis tertarik untuk mengkaji Implementasi Proyek PMPD, khususnya pada
pengembangan LSPBM dalam pemberdayaan masyarakat miskin di Desa Waworaha
Kecamatan Lambuya tahun 2006.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan ulasan latar belakang yang telah
diuraikan, maka dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tahapan-tahapan pemberdayaan masyarakat miskin dalam implementasi
program Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM) di Desa Waworaha
Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe ?
2. Bagaimana peran partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat miskin di Desa
Waworaha Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe untuk pemanfaatan Lembaga Simpan
Pinjam Berbasis Masyarakat ?
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat upaya
pemberdayaan masyarakat miskin pada implementasi program
Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM) di Desa Waworaha
Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada uraian latar belakang serta
rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang ingin diperoleh dari hasil
penelitian ini adalah sebagai berikut
Untuk mengetahui secara mendalam
implementasi program Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat dalam usaha pemberdayaan
masyarakat miskin dengan cara mendiskripsikan dan menganalisis aspek-aspek yang
berhubungan dengan :
1. Tahapan-tahapan pemberdayaan masyarakat
miskin dalam implementasi program LSPBM di Desa Waworaha Kecamatan Lambuya Kabupaten
Konawe yang meliputi
1) Tahun pertama Proyek PMPD;
1.1. Seleksi Kecamatan dan Seleksi Desa;
1.2. Kegiatan Sosialisasi Program;
1.3. Kegiatan Pengorganisasian Masyarakat
1.4. Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat;
1.5. Kegiatan Pembentukan dan Operasionalisasi LSPBM;
2) Tahun kedua hingga akhir Proyek PMPD;
Pengembangan
LSPBM;
Pembentukan
Asosiasi dan Pengembangannya
2. Peran partisipasi dalam pemberdayaan
masyarakat miskin di Desa Waworaha Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe untuk
pemanfaatan program LSPBM, yang meliputi :
a. Perkembangan Keanggotaan LSPBM;
b. Perkembangan Simpanan Anggota LSPBM;
c. Perkembangan
Pinjaman Yang Dicairkan LSPBM;
d. Tingkat Kesehatan LSPBM Maju Sejahtera;
e. Persentase Masyarakat Miskin Desa Waworaha Yang Menjadi
Anggota LSPBM Maju Sejahtera;
f. Perkembangan
Volume Usaha Anggota LSPBM;
3. Faktor-faktor pendukung dan penghambat upaya pemberdayaan masyarakat miskin dalam implementasi program LSPBM di
Desa Waworaha Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe, sehingga mempengaruhi tujuan
pelaksanaan program.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi Pemerintah
Kabupaten Konawe di dalam rangka pengentasan atau penanggulangan kemiskinan di
Konawe pada tahun-tahun mendatang.
2.
Secara operasional memberikan kontribusi praktis atau bahan masukan bagi
para perumus dan pelaksana kebijakan pembangunan agar dijadikan contoh dan dikembangkan di daerah lain.
Anda bisa dapatkan Judul Skripsi Lengkap dengan
pembahasanya. Anda bisa mendownload filenya lengkap dengan isinya dengan cara
mengganti biaya pengetikan sebesar
Rp. 200.000,- Per Skripsi. Silahkan anda Pilih Judul
Skripsi yang anda inginkan beserta kode nomor
skripsi ke
wahyuddinyusuf87@gmail.com atau SMS
langsung kenomor 0819
3383 3343
Dengan
format, Nama – Alamat – Kode dan judul Skripsi– e.mail – No.Hp. Semua File
skripsi bisa anda unduh / Download apabila anda telah mendonasikan biaya pengetikan diatas.
Anda cukup mentransfer uang ke nomor rekening BRI 489201003415532 Atas nama Wahyuddin, SE
Mudah bukan....... Ayo tunggu apa lagi....
dari pada bingung
dari pada bingung
No comments:
Post a Comment