Tuesday, 22 April 2014

18. Analisis Alternatif Kebijakan Perikanan Kabupaten Bengkalis Untuk Meningkatkan PAD Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
 Pembangunan Daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional,  semakin mendapatkan perhatian penuh dalam wacana demokrasi saat ini, dengan ditetapkannya Undang-undang nomor: 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah  dan UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai pengganti UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 ini sangat  sentralistik, dengan sistem pemerintahan  dan politik terfokus kepada

pemerintahan yang bertumpu kepada kekuasaan eksekutif yang otoritarian dengan penggunaan use of authority yang lebih besar daripada freedom for subordinat (Warsito Utomo, 1999).  Dengan UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, pemerintahan daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai subsistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.  

Sesungguhnya tuntutan yang mendesak dalam formulasi dan implementasi otonomi daerah berada dalam tiga pokok permasalahan sebagai berikut : 1. sharing of power, 2. distribution of income, 3. kemandirian sistem manajemen di daerah (Warsito Utomo, 2000). Ketiga hal inilah yang  sangat diharapkan oleh pemerintah daerah, karena jika pemerintah pusat tetap mempertahankan paradigma lama pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana halnya pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974, maka otonomi daerah tidaklah dapat berjalan dengan baik. Dengan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah dititikberatkan pada pemerintah daerah kabupaten dan kota. Kewenangan pemerintah daerah meliputi sebagian besar kegiatan pemerintahan dan pembangunan, bahkan yang masih menjadi kewenangan pemerintah pusat hanya meliputi kewenangan politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, sehingga kewenangan pemerintah daerah menjadi sangat besar.  Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai wewenang dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat, pelayanan masyarakat  dan mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat. Dengan demikian daerah harus mampu mengembangkan otonomi secara luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Reksohadiprodjo, 2000).
Dengan kewenangan yang besar ini tentunya harus dicermati dengan baik oleh aparat pemerintah daerah, karena dengan kewenangan yang besar menuntut kesiapan pemerintah daerah, kesiapan ini menyangkut kesiapan keuangan, sumber daya manusia, baik masyarakat maupun aparat pemerintah dan kelembagaan.  Pemerintah daerah harus siap menerima beban dan tanggung jawab mengatur sumber dana dan daya yang ada untuk melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakatnya (Makhfatih, 1997). Dengan bertambahnya kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerah, anggaran daerah yang dibutuhkan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan juga semakin besar. Pengelolaan keuangan daerah yang baik, transparan dan bertanggung jawab sangat dibutuhkan dan diupayakan agar penggunaan dana dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Konsekuensi logis dari otonomi daerah adalah pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunannya harus siap menerima beban dan tanggung jawab yang berkaitan dengan kemampuan/potensi daerah yang bersangkutan dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Salah satu wujud otonomi adalah kemampuan pemerintah daerah untuk memanfaatkan peluang yang ada dan atau mencari terobosan dalam rangka meningkatkan penerimaan daerah, khususnya komponen Pendapatan Asli Daerah (Karseno, 1995). 
 Keuangan  atau pembiayaan menjadi  salah satu faktor pendukung utama pelaksanaan otonomi daerah, dimana sumber pendapatan daerah adalah terdiri dari : pendapatan asli daerah, yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil BUMD, lain-lain pendapatan daerah yang sah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (Pasal 79 , UU No. 22 Tahun 1999). Salah satu Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah, artinya daerah tersebut harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber keuangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah di daerahnya. Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri adalah kemampuan self supporting dalam bidang keuangan (Kaho, 1988) . Secara real bahwa kemampuan daerah dapat dilihat dari struktur APBD, dimana  kontribusi PAD masih relatif kecil terhadap total penerimaan daerah, sebaliknya bagian penerimaan pembangunan dan pendapatan terbesar justru berasal dari pos pendapatan yang berasal dari pemerintah dan atau instansi yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan tingkat ketergantungan yang sangat besar dari pemerintah daerah terhadap  pemerintah pusat (Kompas, 11 Agustus 2000).
Masalah pendapatan asli daerah merupakan kendala utama bagi daerah dalam menyelenggarakan pelayanan bagi masyarakat, hal ini disebabkan karena proporsi pendapatan asli daerah relatip masih kecil apabila dibandingkan dengan proporsi bantuan pemerintah pusat. Proporsi pendapatan asli daerah untuk seluruh Dati II terhadap total penerimaan seluruh daerah tingkat II Tahun Anggaran 1994/1995 adalah sebesar 12.9 % kemudian tahun anggaran 1995/1996 meningkat menjadi 13.7%.   Sementara untuk tahun yang sama proporsi bantuan pemerintah pusat terhadap total penerimaan seluruh DATI II pada tahun   anggatan 1994/1995 adalah sebeesar 68.3 % dan dan 66.7 % pada tahun anggaran 1995/1996 (Sidik, 1998 ) Ini artinya bahwa sesungguhnya ketergantungan daerah tingkat II terhadap bantuan/subsidi pemerintah pusat masih sangat tinggi. Otonomi keuangan daerah Tingkat II dapat dilihat pada indikator kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan daerah yang tercermin dari indeks kemampuan rutin daerah, derajat otonomi fiscal daerah, perkembangan ekonomi.  Ternyata dari semua komponen tersebut, komponen terbesar yang memberikan kontribusi pada APBD kabupaten/kota adalah berasal dari sumbangan/bantuan pemerintah pusat.  Tetapi mencermati fenomena yang terjadi di daerah adalah ketika semua daerah berlomba-lomba dalam upaya meningkatkan PAD, hendaknya pemerintah daerah menyadari bahwa kemandirian daerah tidak dapat juga diartikan sepenuhnya bahwa setiap daerah harus dapat membiayai keseluruhan keperluannya dari PAD, karena disamping PAD dana bantuan/sumbangan dari pemerintah pusat tetap ada. Yang diperlukan saat ini adalah kearipan pemerintah daerah agar dapat melihat esensi pelaksanaan otonomi daerah itu, tujuan akhirnya adalah untuk memberdayakan masyarakat bukan justru sebaliknya untuk menyengsarakan masyarakat, karena penggalangan PAD dilaksanakan secara membabi buta (Kompas, 15 Desember 2000).
Kota Bengkulu termasuk salah satu kota di Indonesia yang hingga saat ini masih menghadapi persoalan keuangan ini, karena dari struktur APBD selama ini menunjukkan bahwa proporsi terbesar terhadap Total Penerimaan Daerah adalah berasal dari sumbangan/bantuan dari pemerintah pusat. PAD yang diharapkan dapat menjadi sumber utama dana pembangunan ternyata hanya mampu memberikan kontribusinya terhadap APBD selama lima tahun terakhir ini   hanya sekitar 8.9 %. Begitu juga dengan kemampuan PAD membiayai pengeluaran rutin menunjukkan kecenderungan yang relatif terus menurun jika rasio PAD/Pengeluaran rutin pada tahun 1996/1997 sebesar 24.6 % menjadi 13.4 % pada tahun 1999. Kecilnya kemampuan keuangan kota Bengkulu selama ini disebabkan oleh beberapa masalah sebagai berikut :
1.Kecilnya penerimaan dari sektor PAD (Kecilnya penerimaan dari sektor  pajak dan retribusi, tidak optimalnya penerimaan dinas, serta rendahnya penerimaan dari BUMD).  Hal ini terlihat  dari tabel berikut, yang menggambarkan kontribusi PAD terhadap APBD, terhadap  Belanja Rutin Daerah :

Tabel 1
Kontribusi PAD terhadap APBD dan Pengeluaran Rutin Daerah.
No
Tahun Anggaran
 PAD
APBD
%
Pengeluaran Rutin
%
1.
1996-1997
1997-1998
1998-1999
1999-2000
2000
3.847.244.675
3.459.434.236
3.707.019.822
4.153.304.493
3.024.705.743
26.913.643.530
36.057.952.000
42.997.876.649
63.399.876.252
53.258.900.145
14.3
9.59
8.62
6.55
5.7
15.606.164.530
19.042.151.000
24.201.049.649
30.980.779.007
28.785.438.150
24.6
18.16
15.3
13.4
10.50
Sumber : Dispenda Kota Bengkulu, diolah
2.Tingginya tingkat ketergantungan pemerintah pada bantuan/sumbangan pemerintah pusat, hampir 80-85 % dari dana APBD berasal dari bantuan/sumbangan pemerintah pusat. Hal ini terlihat pada derajad desentralisasi pada tabel 5.
3.Rendahnya kualitas aparat pemda pemerintah kota Bengkulu, sehingga belum mampu menggali sektor andalan yang dapat dijadikan sumber utama PAD, hal ini salah satunya dapat kita lihat dari tingkat pendidikan formal aparat pemda kota Bengkulu dari 1724 jumlah PNS dalam lingkungan kota Bengkulu, ternyata 800 orang (46.4%) adalah berpendidikan SLTP dan SLTA (Bagian kepegawaian, diolah).
Untuk melihat keterbatasan atau kecilnya kemampuan keuangan yang dimiliki oleh propinsi Bengkulu  secara nyata dapat tercermin dalam tabel berikut, dimana propinsi ini merupakan propinsi yang mendapat Dana Alokasi Umum terkecil jika dibandingkan dengan daerah lainnya.
Tabel 2 
Bobot DAU Per Propinsi
Daerah
Persentase
DI.Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Irian Jaya
Maluku Utara
2,74
4,37
2,33
4,16
1,81
3,62
1,37
2,98
9,70
10,96
10,69
1,62
7,43
3,21
2,53
2,02
4,25
2,00
2,09
3,85
1,51
2,03
2,49
1,67
5,47
1,22




        Sumber: Kompas, 5 Desember 2000.
 Dari tabel terlihat bahwa Propinsi Bengkulu hanya menerima DAU sebesar 609.89 milyar rupiah (lampiran kepres RI No. 181 Tahun 2000).  Dana ini harus dibagi untuk pemerintah propinsi, 3 kabupaten dan 1 pemerintah kota. Pembagian secara terinci dana DAU terlihat dalam tabel 2 berikut :
Tabel 3
Distribusi Penerimaan Dana DAU
N0
Daerah
Besarnya Dana Yang Diterima(dalam miliar Rupiah)
1.
Pemerintah Propinsi
Kabupaten Bengkulu Utara
Kab Bengkulu Selatan
Kabupaten Rejang Lebong
Kota Bengkulu
 82.74
168.94
148.85
138.94
  70.42

Sumber : Lampiran Kepres no 181 Tahun 2000
Mencermati tabel di atas terlihat bahwa pemerintah kota Bengkulu menerima dana DAU terkecil dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Hal inilah yang akan menyulitkan pemerintah kota dalam melaksanakan otonomi daerah dan menjalankan tugas pembangunan, serta pelayanan kepada masyarakat. Kondisi ini lebih diperberat dengan kecilnya PAD kota Bengkulu. Untuk melihat kecilnya PAD Kota Bengkulu terlihat dalam tabel 4 berikut ini.
Tabel 4
Perkembangan PAD tahun 1996/1997 sampai dengan Tahun 2000
Tahun
Target
Realisasi
Persentase
1996/1997
1997/1998
1998/1999
1999/2000
2000
3.346.276.000
4.369.595.352
3.910.439.300
4.206.519.000
3.532.399.750
3.847.244.675
3.459.434.236
4.138.370.696
4.153.304.493
3.024.705.743,36
114.9
79.17
94.70
98.70
85,63
Sumber : Dispenda Kota Bengkulu, diolah

Dari tabel 4 di atas terlihat bahwa PAD kota Bengkulu sangat kecil, dimana tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat sangat tinggi, sebagaimana yang terlihat dalam derajad desentralisasi pada tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5
Derajad Desentalisasi Kota Bengkulu (Dalam Persen)
No
Derajad Kemandirian
Tahun
1996/1997
1997/1998
1998/1999
1999/2000
2000
1.
2.


3.




PAD/TPD
Bagi Hasil Pajak-Non Pajak/TPD
Sumbangan-Bantuan/TPD
14.30
8.59


77.11

9.59
7.31


83.1



  18.62
  6.06


   85.32


6.55
3.9


89.55



5.7
6.63


87.67


Sumber  : Dispenda Kota Bengkulu, diolah

Dari tabel di atas terlihat dengan jelas bahwa kota Bengkulu memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pusat dan setiap tahunnya jumlah dana yang berasal dari pusat semakin tinggi sementara disisi lain PAD cenderung menurun. Untuk sumbangan dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan jika tahun 1996/1997 sebesar 77.11 % menjadi 89.55 % pada tahun 1999/2000.  
Kecilnya kemampuan keuangan kota Bengkulu ini tentunya akan menyulitkan pemerintah kota dalam melaksanakan otonomi daerah, pemerintah daerah tidak  lagi dapat berharap banyak  pada bantuan pemerintah pusat,  karena saat ini APBN dalam keadaan defisit mencapai Rp.6.1 Trilyun ( Kompas, 6 April 2001). Serta beratnya tugas pemerintah pusat harus mengalokasikan dana pada banyaknya propinsi dan kabupaten pemekaran, yang tentunya sangat mengharapkan dana bantuan/sumbangan dari pemerintah ini.  
Mencermati problem situation yang dihadapi oleh pemerintah kota Bengkulu dalam menghadapi otonomi daerah karena kecilnya kemampuan keuangan, penelitian ini berusaha mencari alternatif kebijakan yang mungkin dapat membantu pemerintah kota dalam meningkatkan kemampuan keuangan sehingga dapat melaksanakan otonomi daerah dengan baik.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang di atas terlihat bahwa kemampuan keuangan kota Bengkulu sangat rendah baik jika dilihat dari derajat desentralisasinya maupun dari indeks kemampuan rutin daerah, sehingga berat bagi kota Bengkulu dalam melaksanakan otonomi daerah, terlebih pada tahun anggaran 2000/2001 ini pemerintah kota Bengkulu masih mempunyai pekerjaan berat dalam menyelesaikan permasalahan pasca gempa 7 Juni 2000 lalu. Masih banyak fasilitas umum dan rumah-rumah masyarakat yang harus mendapat bantuan pemerintah untuk dibangun kembali. Permasalahan ini menjadi lebih kompleks ketika dana DAU yang berasal dari pemerintah pusat hanya Rp. 70 Milyar Rupiah, dan PAD yang hanya berkisar Rp. 3-5 Milyar per tahunnya, padahal banyak sekali tugas yang harus pemerintah lakukan.
Ada pun sebab-sebab yang mungkin menyebabkan kecilnya kemampuan keuangan kota Bengkulu  dalam melaksanakan otonomi daerah ini adalah sebagai berikut : rendahnya perolehan PAD, rendahnya derajat desentralisasi fiscal, serta rendahnya kemampuan aparat pemerintah kota Bengkulu. Untuk itu,  peneliti mencoba merumuskan masalah yang diteliti sebagai berikut: “Bagaimana alternatif kebijakan untuk meningkatkan kemampuan keuangan Kota Bengkulu dan bagaimana pula mengimplementasikannya?”.
C.Tujuan  Penelitian
Berdasarkan uraian pada perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan :
1.    Untuk mengetahui  dan merekomendasikan alternatif kebijakan yang tepat bagi peningkatan kemampuan keuangan kota Bengkulu dalam melaksanakan otonomi daerah.
2.    Untuk mengetahui  bagaimana cara mengimplementasikan alternatif kebijakan   yang tepat guna meningkatkan kemampuan keuangan kota Bengkulu dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Selain itu diharapkan juga agar penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemda kota Bengkulu dalam menentukan kebijakan-kebijakannya yang berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan keuangan kota Bengkulu dalam melaksanakan otonomi daerah.
D. Pembatasan Masalah
Untuk menjadikan penelitian ini terarah dan mempunyai obyek kajian yang jelas, maka pokok persoalan yang akan diteliti dalam penelitian ini hanya melihat bagaimana alternatif kebijakan peningkatan kemampuan keuangan Kota Bengkulu dalam melaksanakan otonomi daerah. Dalam analisis kebijakan untuk menentukan alternatif kebijakan penulis menggunakan cara sebagai berikut :
1.    Perumusan masalah (definisi) untuk menghasilkan informasi mengenai kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan.
2.    Peramalan (prediksi) untuk menghasilkan gambaran tentang masa depan kebijakan mengenai konsekuensi dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk konsekuensi tidak melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah.
3.    Rekomendasi (preskripsi) untuk menghasilkan informasi tentang tindakan kebijakan yang paling baik dimana efek positif yang ditimbulkan lebih besar dari pada efek negatifnya.
4.    Pementauan (diskripsi) untuk menghasilkan informasi hasil kebijakan              (output/outcome).
5.    Evaluasi untuk menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan publik, baik kinerja efficiency, kinerja Efektivenees, kinerja Quality. kinerja Equity, maupun kinerja Sustainability.
Kemampuan keuangan daerah dilihat dari : Derajat Desentralisasi Fiscal, Indeks Kemampuan Rutin Daerah (IKR),  kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal, upaya fiskal, indeks kinerja PAD dan elastisitas PAD, serta perkembangan ekonomi.

No comments:

Post a Comment