BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dampak
reformasi yang terjadi di Indonesia,
ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran
paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di
pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik (local
democracy) di pemerintah daerah. Sistem pemerintahan seperti ini memberikan
keleluasaan kepada daerah dalam wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan
bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa
dan aspirasi
masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan serta sesuai dengan
kondisi, potensi dan keragaman daerah (Koswara, 1998).
Seiring dengan dinamika
perkembangan masyarakat di era reformasi muncul fenomena keinginan masyarakat
pada berbagai wilayah untuk membentuk suatu daerah otonom baru, baik daerah
propinsi maupun kabupaten dan kota.
Keinginan seperti itu didasari oleh berbagai dinamika yang terjadi di daerah baik
dinamika politik, ekonomi sosial maupun budaya. Dengan pembentukan daerah
otonom baru, daerah otonom tersebut diharapkan mampu memanfaatkan peluang yang
lebih besar dalam mengurus dirinya sendiri, terutama berkaitan dengan
pengelolaan sumber-sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam dan
pengelolaan bantuan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang lebih
baik.
Desentralisasi merupakan
suatu refleksi proses reformasi politik, sosial budaya dan ekonomi. Perubahan
politik dan sosial budaya di Indonesia
dengan kecenderungan pergeseran pelayanan publik dari wewenang pemerintah pusat
beralih menjadi wewenang tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan
masyarakat. Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh pemerintah sebagai jawaban
atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep division
of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal (Warsito
Utomo,1997). Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka
negara kesatuan Republik Indonesia.
Dinamika
perkembangan wilayah menjadi otonom seperti itu disikapi pemerintah pusat
dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sejak Januari 2001. Dalam
hubungannya dengan pembentukan daerah otonom, Pasal 18 UUD 1945 antara lain
menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang. Daerah Indonesia akan
dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi dalam daerah
kabupaten dan daerah kota
Untuk mendukung
implementasi kebijakan otonomi daerah, Pemerintah Pusat telah mempersiapkan
berbagai kebijakan, antara lain Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang dalam Pasal 4 ayat
(1) menyatakan bahwa:
“dalam rangka pelaksanaan azas
desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan
daerah kota
yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pada pasal 4 ayat (2)
dinyatakan pula bahwa daerah-daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarkis satu sama
lain. Selanjutnya pada pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa daerah dibentuk
berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya,
sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah”.
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat dijelaskan bahwa keinginan masyarakat
daerah untuk membentuk daerah otonom baru memang dimungkinkan oleh paraturan
perundangan yang berlaku.
Pelaksanaan desentralisasi
di Indonesia
dapat dilacak dalam kerangka konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Otonomi daerah merupakan tema lama yang tampaknya selalu menemukan
aktualitas dan relevansinya. Dikatakan tema lama karena Undang-Undang Dasar
1945 telah memberikan landasan yuridis yang jelas tentang eksistensi otonomi
daerah. Seiring dengan ditetapkannya UUD 1945, sejak itu pengaturan tentang
pemerintahan daerah dalam perundang-undangan sebagai penjabaran pasal 18 mulai
ramai diperdebatkan. Hal ini tampak dari kehadiran Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur tentang
otonomi daerah.
Kajian terhadap isi
undang-undang yang pernah dipergunakan untuk mengatur pemerintahan daerah tetap
saja menarik perhatian berbagai kalangan serta membuka peluang terjadinya
perdebatan. Sampai saat ini sudah enam
kali diadakan perubahan dan penyempurnaan, terakhir dengan Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 yang sekarang sedang diimplementasikan. Materi perdebatan dalam
Undang-undang Otonomi Daerah berada pada segi yang esensial, yaitu mengenai
seberapa besar Pemerintah Pusat menyerahkan kewenangannya kepada daerah otonom
(Yudoyono, 2001).
Dengan
demikian maka pembentukan daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia
menurut Suwandi (2002) memiliki
ciri-ciri:
(1) daerah otonom tidak memiliki
kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal, (2) desentralisasi
dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan
pemerintahan, (3) penyerahan atau
pengakuan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada angka 2 tersebut di
atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat
setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat.
Sejalan dengan banyaknya
keinginan untuk pembentukan daerah otonom baru, baik yang berupa pemekaran
maupun peningkatan status, khususnya di daerah kabupaten dan daerah kota sesuai
dengan mekanisme pembentukan daerah otonom maka pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan
Kriteria Pemekaran, penghapusan dan Penggabungan Daerah, yang isinya antara
lain menyebutkan persyaratan, kriteria, prosedur, pembiayaan pemekaran,
penghapusan dan penggabungan daerah.
Berdasarkan data yang ada,
hingga saat ini total daerah kabupaten dan kota di Indonesia berjumlah 410,
terdiri dari 324 daerah kabupaten dan 86 daerah kota (Kompas, 28 Januari 2003).
Seiring dengan perkembangan dinamika
di berbagai daerah dan peraturan pendukung yang ada, pemerintah daerah
Kabupaten Minahasa mengajukan pembentukan daerah Kota Tomohon yang wilayahnya
terdiri dari tiga kecamatan. Beberapa alasan yang mendasari Pemerintah
Kabupaten Minahasa untuk membentuk daerah Kota Tomohon adalah, pertama, peraturan
perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah yang berlaku saat ini (UU No.
22 Tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000) memberikan kemungkinan untuk dilakukannya
pemekaran satu daerah otonom menjadi beberapa daerah otonom baru. Kedua, pemekaran Kabupaten Minahasa menjadi beberapa
daerah otonom baru yakni Kabupaten Induk (Minahasa), Kabupaten Minahasa Selatan
dan Kota Tomohon yang telah ditetapkan, serta Kabupaten Minahasa Utara yang
dalam proses pembahasan, dipandang akan membawa berbagai keuntungan bagi
masyarakat, seperti fasilitas sosial, ekonomi dan finansial untuk kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat pada masa depan. Ketiga, tuntutan masyarakat untuk memperoleh pelayanan
yang lebih baik, dengan semakin sedikitnya birokrasi yang harus dilalui dalam
memperoleh jasa pelayanan publik. Keempat, keinginan masyarakat dan
pemerintah daerah untuk mengelola sendiri sumber daya dan potensi daerah dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Permasalahan
besar yang menghadang pembentukan Tomohon sebagai daerah otonom adalah masalah
kemandirian keuangan daerah, pertumbuhan ekonomi dan terbatasnya infrastruktur
perkotaan. Kuatnya aspirasi masyarakat Tomohon untuk mengangkat Tomohon menjadi
suatu daerah yang otonom telah menjadi alasan utama bagi pemerintah untuk
mewujudkan daerah Kota Tomohon. Hal ini tercermin dari upaya Pemerintah
Kabupaten Minahasa dan Panitia Pembentukan Daerah Kota Tomohon (P2DKT), yang
terus memperjuangkan dalam agenda pembahasan Pemerintah dan DPR RI agar Tomohon
dapat disahkan menjadi daerah otonom.
Pembentukan
Daerah Kota Tomohon akhirnya ditetapkan pada 27 Januari 2003 bersama-sama
dengan 25 kabupaten dan kota yang diusulkan DPR RI. Kesepakatan itu diambil
pada pertemuan antara DPR RI dan Pemerintah dalam hal ini Mendagri
Hari Sabarno dengan 25 bupati/walikota termasuk Bupati Minahasa, di Jakarta. (Manado Post, 28 Januari
2003).
Masalah
kelayakan Tomohon menjadi suatu daerah yang mempunyai otonomi penyelenggaraan
pemerintahan hingga kini masih menjadi pertanyaan besar mengingat potensi yang
dimiliki Tomohon yang sangat minim untuk berdiri sendiri sebagai suatu daerah
otonom. Berdasarkan data yang ada, kontribusi Tomohon pada PAD Kabupaten
Minahasa sebesar Rp. 2.012.206.400,- Dengan penerimaan PAD Tomohon
sekarang ini yang hanya mencapai angka tersebut, merupakan suatu tantangan bagi
Tomohon sebagai daerah yang baru terbentuk untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan
daerah otonom.
Berdasarkan kondisi
tersebut, dapat diperkirakan bahwa kemampuan ekonomi dan finansial daerah masih
sangat minim. Upaya pendanaan yang diharapkan untuk membantu pembiayaan
pembangunan Kota Tomohon yaitu berasal dari bantuan pemerintah pusat dalam
berbagai bentuknya. Hal inilah yang kemudian menjadi ujung tombak
penyelenggaraan pemerintahan di daerah Kota Tomohon untuk menutupi berbagai
kekurangan dalam penyediaan pelayanan kepada masyarakat. Konsekuensinya adalah
makin menipisnya biaya untuk melakukan investasi dan pembangunan prasarana
lainnya.
Melihat potensi alam yang
ada di Tomohon, pemerintah harus bisa mengembangkan potensi-potensi yang ada
terutama dalam memanfaatkan potensi panas bumi Lahendong sebagai sumber
pembangkit tenaga listrik. Produk
pertanian terutama holtikultura dan kembang sudah lama menjadi produk unggulan
di daerah ini yang ditunjang oleh keberadaan Pasar Induk Tomohon telah
memberikan dampak bagi pertumbuhan perekonomian dan pendapatan daerah.
Sementara itu, sektor rumah panggung yang menjadi produk unggulan sektor
industri diharapkan akan mampu memperluas jaringan pemasaran sehingga
perkembangan sektor ini akan memberikan kontribusi positif bagi upaya
pengembangan perekonomian daerah Kota Tomohon.
Sekarang
ini menarik untuk dikaji mengapa dan bagaimana sehingga Tomohon dapat disahkan
sehingga menjadi suatu daerah kota
yang otonom. Dari segi persyaratan kemampuan ekonomi dan finansial seperti
diuraikan sebelumnya nampaknya Tomohon tidak layak untuk menjadi suatu daerah
otonom, tetapi mengapa Tomohon “lulus ujian” dan kemudian “diundangkan” sebagai
suatu daerah kota yang memiliki status otonom?. Penjelasannya mungkin harus
dicari melalui sudut pandang politik yang menghendaki agar Tomohon dapat
ditetapkan menjadi daerah otonom. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dukungan
berbagai stakeholders.. Bahwa dengan terbentuknya Kota Tomohon maka akan
membuka peluang bagi stakeholders tertentu untuk duduk dalam
jabatan-jabatan politis tertentu. Hal yang menimbulkan masalah jikalau
pemberian status otonomi kepada Tomohon, ternyata tidak diikuti oleh semakin
baiknya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Dikhawatirkan justru
pelayanan akan semakin mahal karena Pemerintah Kota Tomohon dituntut untuk
dapat menghimpun PAD sebanyak-banyaknya.
B.
Rumusan Masalah
Pembentukan
daerah Kota Tomohon dalam perspektif kebijakan publik dapat dipandang sebagai proses interaksi
berbagai kelompok kepentingan dalam proses politik, melibatkan sejumlah aktor
dan dipengaruhi oleh kepentingan yang melekat pada kelompok ataupun aktor
tersebut. Proses lahirnya kebijakan publik dalam hal ini kebijakan pembentukan
Kota Tomohon merupakan suatu rangkaian kegiatan atau langkah tindakan para
aktor (stakeholders).
Jones
(1994 : 44 - 45) menjelaskan tentang proses kebijakan sebagai sebagai sebuah
rangkaian tindakan yang secara definitif berkaitan dengan tujuan. Selanjutnya
dijelaskan bahwa proses kebijakan difokuskan pada proses-proses kelompok.
Pendekatan seperti ini selain mempelajari peranan kelompok kepentingan juga
menyidik kelompok dalam lembaga-lembaga politik. Dalam studi proses kelompok
juga harus mengemukakan bahwa keputusan sebenarnya dibuat oleh
kelompok-kelompok kecil yang dikenal dengan elite. Dalam pandangan ini
proses kelompok dipandang sebagai sebuah proses elite.
Berdasarkan pemahaman di
atas maka desakan stakeholders dan tindakan pemerintah membentuk daerah
Kota Tomohon dapat dilihat sebagai suatu proses kelompok dan pengambilan
keputusan dalam proses tersebut dapat dipandang sebagai kehendak dari elit
daerah. Oleh karena itu maka pembentukan daerah Kota Tomohon merupakan proses
interaksi berbagai kelompok dan elit beserta dengan kepentingan mereka
masing-masing.
Pembentukan
suatu kota harus mempertimbangkan berbagai kriteria pembentukan. Mengenai
kriteria kelayakan pembentukan kota, terdapat beberapa unsur yang harus
diperhatikan antara lain kemampuan ekonomi daerah, potensi daerah, mata
pencaharian penduduk, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas
daerah serta kriteria lain-lain yang terdiri dari: faktor-faktor kriminalitas,
ketersediaan gedung bagi pemerintah daerah, jarak dan waktu tempuh dari
kecamatan-kecamatan ke pusat pemerintahan.
Sehubungan dengan hal-hal
tersebut, maka pertanyaan penelitian yang muncul adalah:
- Bagaimana proses formulasi kebijakan pembentukan daerah Kota Tomohon yang melibatkan kepentingan stakeholders?
- Bagaimana kelayakan pembentukan daerah Kota Tomohon?
- Bagaimana potensi PAD Kota Tomohon
- Bagaimana prospek Kabupaten Minahasa pasca-pemekaran?
C. Tujuan Penelitian
Seiring dengan pertanyaan penelitian
di atas maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengidentifikasi, mengeksplorasi dan menganalisis tuntutan-tuntutan kebijakan
dari berbagai stakeholders terhadap Pembentukan Daerah Kota Tomohon.
2. Untuk
mengeksplorasi dan menganalisis proses formulasi Kebijakan Pembentukan Daerah
Kota Tomohon.
3.
Untuk
menganalisis kelayakan (feasibility) Pembentukan Daerah Kota Tomohon.
4. Untuk
mengkaji prospek Kabupaten Minahasa pasca-pemekaran dan mengestimasi potensi
PAD daerah Kota Tomohon.
D. Manfaat Penelitian
Informasi
yang didapatkan dari penelitian ini diharapkan akan bermanfaat baik secara
akademis maupun praktis.
1.
Akademis
·
Melalui
penelitian ini, diharapkan akan didapat pemahaman secara teoritis tentang
proses formulasi kebijakan publik khususnya dalam proses pembentukan daerah
otonom pasca diterapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.
·
Untuk
memahami aspek-aspek yang berkaitan dengan kelayakan pembentukan suatu daerah
otonom.
·
Untuk
memahami implikasi kebijakan pembentukan daerah otonom terhadap upaya pendanaan
pemerintah daerah melalui kajian yang
bersifat estimatif.
2. 2. Praktis
Secara praktis, penelitian
ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan bagi Pemerintah Kota
Tomohon untuk pengembangan Kota Tomohon saat ini dan untuk masa yang akan
datang.
No comments:
Post a Comment