PERANAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI SEBAGAI SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Carut-marut
dunia pendidikan Indonesia, sungguhnya merupakan sebuah realitas yang sangat
memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi
dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya
besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai. Ironisnya,
disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.
disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.
Parahnya lagi,
belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal
tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam
Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi
kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan
perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.
Indonesia mengalami krisis SDM
sebenarnya berpangkal pada buruknya kualitas pendidikan yang dilaksanakan. Untuk
menghadapi krisis, sistem pendidikan memerlukan bantuan dari semua sektor
kehidupan domestik dan pada beberapa kasus, juga memerlukan sumber-sumber di
luar batas nasional. Pendidikan memerlukan dana, namun anggaran pendidikan
sulit bertambah. Pendidikan memerlukan sumber daya, khususnya sumber daya
insani nasional yang terbaik untuk meningkatkan kualitas, efisiensi, dan
produktivitas. Pendidikan memerlukan prasarana dan sarana, materi pengajaran
yang baik dan lebih baik. Di pelbagai tempat, pendidikan memerlukan pula
makanan bagi murid yang lapar agar mereka dalam kondisi siap belajar. Di atas
semua itu pendidikan memerlukan hal-hal yang tidak dapat dibeli dengan uang,
yakni gagasan dan keberanian, keputusan, keinginan baru untuk mengetahui
kemampuan diri yang diperkuat oleh suatu keinginan untuk berubah dan
bereksperimen (Coombs, 1968:15).
Berkaitan
dengan frasa “sistem pendidikan”, lebih lanjut diungkapkan bahwa sistem
pendidikan tidak hanya mengacu pada tingkat dan tipe pendidikan formal seperti
sekolah kejuruan, umum dan spesialisasi, tetapi juga seluruh program dan proses
sistematik pendidikan di luar pendidikan formal yaitu yang dikenal dengan
pendidikan non formal. Sistem pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan pendidikan
formal maupun non formal memiliki sejumlah input, yang diproses untuk
memperoleh output untuk memenuhi tujuan tertentu. Mengacu pada sistem
pendidikan selanjutnya diungkapkan bahwa pendidikan dengan demikian merupakan
suatu proses yang berinteraksi dengan lingkungannya. Output yang ingin
dihasilkan dari suatu sistem pendidikan ditentukan oleh tujuan yang dikehendaki
oleh lingkungan atau masyarakat. Manusia yang terdidik hendaknya diperlengkapi
untuk melayani masyarakat dan mengurus dirinya sendiri sebagai individu dan
anggota masyarakat, pekerja ekonomi, pemimpin dan inovator, warga negara dan
warga dunia dan penyumbang kebudayaan. Untuk itu, pendidikan harus mampu
meningkatkan basic knowledge
(pengetahuan dasar) intellectual and
manual skills (keterampilan manual dan intelektual); power of reason critism (daya nalar/kritik); values, attitudes and motivation (nilai-nilai, sikap dan motivasi);
power of creativity and innovation
(daya kreatif dan inovsi); cultural
appreciation (apresiasi kebudayaan); sense
of social responsibillity (tanggung jawab sosial); dan understanding of the modern world (memahami dunia modern).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peran
Pendidikan Non Formal
Lingkungan yang
berfungsi melahirkan individu-individu terdidik (educational individuals) bukan hanya lingkungan keluarga yang
disebut juga lingkungan pertama, lingkungan sekolah yang disebut juga
lingkungan kedua, tetapi juga lingkungan masyarakat yang disebut juga
lingkungan ketiga. (Purwanto, 1986 : 148). Peranan penting pendididkan pada
lingkungan ketiga yang dikenal dengan lingkungan masyarakat atau pendidikan non
formal dikarenakan manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial
manusia menjadi bagian dari pelbagai golongan dalam masyarakat, baik dengan
sendirinya maupun dengan sengaja. Manusia
dengan sendirinya adalah bagian dari keluarga, kota, negara dan kelompok agama.
Tapi ada juga golongan yang dengan sengaja dimasuki seperti perkumpulan olah
raga, serikat pekerja, koperasi, organisasi politik, perkumpulan kesenian dan
lain-lain. Melalui kelompok-kelompok inilah pendidikan non formal dilakukan.
Pendidikan non formal dapat menjadi pelengkap dari pendidikan formal, terlebih
jika dikaitkan dengan keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan karena adanya
krisis.
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Sejalan dengan itu, sistem pendidikan nasional
harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta
relevansi dan efisiensi manajamen pendidikan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional dan global sehinga perlu dilakukan pembaharuan
pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.
Penyelenggaraan pendidikan nonformal
(PNF) merupakan upaya dalam rangka mendukung perluasan akses dan peningkatan
mutu layanan pendidikan bagi masyarakat. Jenis layanan dan satuan pembelajaran
PNF sangat beragam, yaitu meliputi: (1) pendidikan kecakapan hidup, (2)
pendidikan anak usia dini, (3) pendidikan kesetaraan seperti Paket A, B, dan C,
(4) pendidikan keaksaraan, (5) pendidikan pemberdayaan perempuan, (6)
pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja (kursus, magang, kelompok belajar
usaha), serta (7) pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik.
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga
pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru
pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih
sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan
sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada
akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu
maupun masyarakat dalam berbagai aspek.
Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal
sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan
secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara
berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan
lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan
tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut. Tidak hanya itu,
lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja
yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal
seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan
terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut
dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang
ini.
Antonius Sumarno (2001:98), juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga
pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya
tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era
globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan
dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini
hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing.
Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam
menangkap berbagai kesempatan. Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan
non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga
membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk
berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil
perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang
kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal
yang menciptakan lapangan pekerjaan. Namun dibalik semua keunggulan dan variasi
lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih
lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan
menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan.
Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang
pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat
maupun bidang yang saat ini kita geluti.
Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan
lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi
minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang
kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar
investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program
yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan".
Pendidikan non formal diharapkan
dapat mengatasi pelbagai problematika kehidupan. Seperti diungkapkan Buchari
(1994 :27) : “Apa yang harus kita lakukan, agar kegiatan-kegiatan pendidikan
non formal yang kita selenggarakan benar-benar membawa kemajuan yang berarti,
yaitu kemajuan yang lebih besar daripada pembengkakan berbagai problematika
yang di hadapi, dan tidak kalah pula pesatnya dibandingkan dengan laju kemajuan
yang dicapai oleh negara-negara lain”. Pendidikan melalui lingkungan masyarakat
atau pendidikan non formal memiliki berbagai nama, seperti adult education (pendidikan orang dewasa), continuing education (pendidikan lanjutan), on-the-job training (latihan kerja), accelerated training (latihan dipercepat), farmer or worker training (latihan pekerja atau petani), dan extension service (pelayanan pendidikan
tambahan) dan dianggap sebagai sistem bayangan (shadow system).
Pelaksanaan pendidikan non formal dapat dilihat perbedaannya pada kasus negara industri dan negara berkembang. Pada negara maju seperti di Eropa dan Amerika Utara pendidikan non formal dipandang sebagai pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup sangat berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga alasan : (1) untuk memperoleh pekerjaan ; (2) menjaga ketersediaan tenaga kerja terlatih dengan teknologi dan pengetahuan baru yang diperlukan untuk melanjutkan produktivitas; (3) memperbaiki kualitas dan kenyamanan hidup individu melalui pengayaan kebudayaan dengan memanfaatkan waktu luang. Dalam perspektif ini, maka pendidikan lanjutan bagi guru memiliki arti strategis, jika gagal memberikan mereka pengetahuan yang mutakhir, maka mereka akan “memberikan pendidikan kemarin bagi generasi esok”.
Pelaksanaan pendidikan non formal dapat dilihat perbedaannya pada kasus negara industri dan negara berkembang. Pada negara maju seperti di Eropa dan Amerika Utara pendidikan non formal dipandang sebagai pendidikan lanjutan bagi kehidupan seseorang. Pendidikan seumur hidup sangat berarti dalam memajukan dan mengubah masyarakat karena tiga alasan : (1) untuk memperoleh pekerjaan ; (2) menjaga ketersediaan tenaga kerja terlatih dengan teknologi dan pengetahuan baru yang diperlukan untuk melanjutkan produktivitas; (3) memperbaiki kualitas dan kenyamanan hidup individu melalui pengayaan kebudayaan dengan memanfaatkan waktu luang. Dalam perspektif ini, maka pendidikan lanjutan bagi guru memiliki arti strategis, jika gagal memberikan mereka pengetahuan yang mutakhir, maka mereka akan “memberikan pendidikan kemarin bagi generasi esok”.
Pada negara yang sedang berkembang,
pendidikan non formal berperan untuk mendidik begitu banyak petani, pekerja,
usahawan kecil dan lainnya yang tidak sempat bersekolah dan mungkin tidak
memiliki keterampilan maupun pengetahuan yang dapat diamalkan bagi dirinya
sendiri maupun bagi pembangunan bangsanya. Peran lainnya adalah untuk
meningkatkan kemampuan dari orang-orang yang memiliki kualifikasi seperti
contohnya guru dan lainnya untuk bekerja di sektor swasta dan pemerintah, agar
mereka bekerja lebih efektif. Di Tanzania non formal berperan untuk
menyelamatkan investasi pendidikan dari mereka yang tamat sekolah maupun drop
out dari sekolah menengah, namun tidak memperoleh pekerjaan, dengan memberikan
kepada mereka pelatihan-pelatihan khusus (Coombs, 1968 : 143). Di Indonesia pendidikan non fornal mencakup
pendidikan orang dewasa yang bertujuan agar bangsa Indonesia kenal huruf; dapat
memenuhi kewajibannya sebagai orang dewasa; mempergunakan segala sumber
penghidupan yang ada; berkembang secara dinamis dan kuat; serta tumbuh atas
dasar kebudayaan nasional . Tujuan yang sudah digariskan pada peta pendidikan
sejak 27 Desember 1945 oleh BPKNIP ini (Poerbakawatja dan Harahap, 1981:270)
masih memiliki relevansi hingga kini apalagi dalam menghadapi menghadapi
globalisasi.
Konsep awal
dari Pendidikan Non Formal ini muncul sekitar akhir tahun 60-an hingga awal
tahun 70-an. Philip Coombs dan Manzoor A., P.H. (1985) dalam bukunya The World Crisis In Education
mengungkapkan pendidikan itu pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis, yakni
Pendidikan Formal (PF), Pendidikan Non Formal (PNF) dan Pendidikan In Formal
(PIF). Khusus untuk PNF, Coombs mengartikannya sebagai sebuah kegiatan yang
diorganisasikan diluar system persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara
terpisah atau bagian terpenting dari kegiatan yang lebih luas dilakukan secara
sengaja untuk melayani anak didik tertentu untuk mencapai tujuan belajarnya.
Penjelasan yang sama terdapat pula di
UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), dimana disana
dijelaskan bahwa pendidikan diselenggaran di dua jalur, yakni jalur sekolah
(pendidikan formal) dan jalur luar sekolah (PNF dan PIF). Dalam perubahan UU
tentang SPN yang diperbaharui menjadi UU Nomor 20 Tahun 2003, istilah jalur
pendidikan sekolah dan pendidilan luar sekolah berubah menjadi system PF, PNF
dan PIF. “Dalam UU ini dijelaskan bahwa PNF adalah jalur pendidikan diluar PF
yang dapat dilaksanakan secata terstruktur dan berjenjang. Sedangkan PIF
merupakan jalur pendidikan keluarga dan lingkungan,” terang Syukri (1997:34).
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 26
ayat 1 dijelaskan bahwa Pendidikan Non Formal
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan
yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap PF dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat. Lebih lanjut dalam ayat 2 dijelaskan
Pendidikan Non Formal berfungsi
mengembangkan potensi peserta didik (warga belajar) dengan penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan
kepribadian professional. Sementara di ayat 3, disana disebutkan bahwa Pendidikan
Non Formal meliputi pendidikan kecakapan
hidup (life skills); pendidikan anak
usia dini; pendidikan kepemudaan; pendidikan pemberdayaan perempuan; pendidikan
keaksaraan; pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja; pendidikan kesetaraan;
serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik.
Ditilik dari satuan pendidikannya,
pelaksanaan Pendidikan Non Formal terdiri
dari kursus; lembaga pelatihan; kelompok belajar; Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM); majelis taklim; serta satuan pendidikan yang sejenis (pasal
26 ayat 4). Disamping itu, dalam pasal 26 ayat 5, disana dijelaskan bahwa
kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal
pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan
profesi, bekerja, usaha mandiri dan/ atau melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi. Hasil pendidikan keaksaraan dapat dihargai setara dengan
hasil program PF setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang
ditunjuk oleh pemerintah atau pemda dengan mengacu pada SPN (pasal 26 ayat 6)
B.
Sasaran dan
Karakteristik Pendidikan Non Formal
Sasaran Pendidikan Non Formal dapat ditinjau dari beberapa segi, yakni pelayanan,
sasaran khusus, pranata sistem pengajaran dan pelembagaan program. Ditilik dari
segi pelayanan, sasaran Pendidikan Non Formal
adalah melayani anak usia sekolah (0-6 tahun), anak usia sekolah dasar
(7-12 tahun), anak usia pendidikan menengah (13-18 tahun), anak usia perguruan
tinggi (19-24 tahun). Ditinjau dari segi sasaran khusus, Pendidikan Non
Formal mendidik anak terlantar, anak
yatim piatu, korban narkoba, perempuan penghibur, anak cacat mentau maupun
cacat tubuh. Dari segi pranata, penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dilakukan
dilingkungan keluarga, pendidikan perluasan wawasan desa dan pendidikan
keterampilan. Di segi layanan masyarakat, sasaran Pendidikan Non Formal antara lain membantu masyarakat melalui
program PKK, KB, perawatan bayi, peningkatan gizi keluarga, pengetahuan rumah
tangga dan penjagaan lingkungan sehat. Dilihat dari segi pengajaran, sasaran Pendidikan
Non Formal sebagai penyelenggara dan
pelaksana program kelompok, organisasi dan lembaga pendidikan, program kesenian
tradisional ataupun kesenian modern lainnya yaitu menjadi fasilitator bahkan
turut serta dalam program keagamaan, seperti mengisi pengajaran di majelis
taklim, di pondok pesantren, dan bahkan di beberapa tempat kursus. Sedangkan
sasaran Pendidikan Non Formal ditinjau
dari segi pelembagaan, yakni kemitraan atau bermitra dengan berbagai pihak
penyelenggara program pemberdayaan masyarakat berkoordinasi dengan desa atau
pelaksana program pembangunan.
Bagaimana dengan
karakteristik Pendidikan Non Formal? Secara khusus Pendidikan Non Formal memiliki spesifikasi yang ‘unik’ dibanding
pendidikan sekolah, terutama dari berbagai aspek yang dicakupinya. Ini terlihat
dari tujuan Pendidikan Non Formal, yakni memenuhi kebutuhan belajar tertentu
yang fungsional bagi kehidupan masa kini dan masa depan, dimana dalam
pelaksanananya tidak terlalu menekankan pada ijazah. Dalam waktu pelaksanannya,
Pendidikan Non Formal terbilang relatif
singkat, menekankan pada kebutuhan di masa sekarang dan masa yang akan datang
serta tidak penuh dalam menggunakan waktu alias tidak terus menerus.
Isi dari
program Pendidikan Non Formal ini berpedolam pada kurikulum pusat pada
kepentingan peserta didik (warga belajar), mengutamakan aplikasi dimana menekanannya
terletak pada keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan peserta didik dan
lingkungannya. Soal persyaratan masuk Pendidikan Non Formal, hal itu ditetapkan
berdasarkan hasil kesepakatan bersama antara sesama peserta didik. Proses
belajar mengajar dalam Pendidikan Non Formal
pun relative lebih fleksibel, artinya diselenggarakan di lingkungan
masyarakat dan keluarga.
C.
Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini sebagai
Pembentuk Karakter Anak
Pendidikan
merupakan investasi terpenting yang dilakukan orang tua bagi masa depan
anaknya. Sejak anak lahir ke dunia, ia memiliki banyak potensi dan harapan
untuk berhasil di kemudian hari. Pendidikanlah yang menjadi jembatan penghubung
anak dengan masa depannya itu. Dapat dikatakan, pendidikan merupakan salah satu
pembentuk pondasi bagi tumbuh dan berkembangnya seorang anak untuk memperoleh
masa depan yang lebih baik. Sebagai “buah hati”, maka dengan penuh rasa kasih
sayang para orang tua rela berkorban demi anaknya, karena masa depan anak juga
merupakan masa depan orang tua. Keberhasilan ataupun kegagalan tanggung jawab
orang tua terhadap anaknya akan terlihat dari perasaan hatinya manakala
menyaksikan kehidupan anaknya ketika dewasa.
Pada hakikatnya masa depan anak juga merupakan masa depan bangsa dan
negara. Masa depan itu akan terlihat dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan,
di saat mana jutaan anak yang ada sekarang ini memasuki usia remaja dan dewasa.
Merekalah nantinya yang menjadi pelaku pembangunan di berbagai sektor
kehidupan. Kelak diantara mereka ada yang berperan sebagai pemimpin-pemimpin
bangsa yang kebijakannya akan turut menentukan arah perjalanan bangsa dan
negara ini.
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, kelak akan sangat berbeda dengan kondisi yang ada sekarang ini.
Kehidupan mendatang adalah kehidupan modern yang sangat dipengaruhi globalisasi
yang semakin masif, ekstensif, dan seolah tanpa batas. Hubungan antar bangsa
diwarnai oleh hubungan yang semakin kompetitif, karena semua bangsa berpacu
untuk mencapai kemajuan dalam berbagai bidang. Untuk menghadapi persaingan
global yang semakin ketat, maka generasi mendatang harus memiliki kecerdasan,
keterampilan, produktivitas kerja yang tinggi, menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, ahli dan profesional minimal di bidangnya masing-masing.
Dunia pendidikan memang sangat
diperlukan untuk membentuk generasi seperti itu. Akan tetapi, pendidikan
sebagai proses berkelanjutan tidak semata diarahkan kepada hal yang bersifat
“reaktif” atau untuk kepentingan jangka pendek, ia juga harus bersifat
“proaktif” yang artinya pendidikan juga harus berorientasi kepada kemampuan
untuk mengantisipasi permasalahan yang lebih luas dan mampu menjawab tantangan
yang lebih kompleks di masa yang akan datang. Untuk membentuk generasi yang
demikian itu, maka calon-calon generasi mendatang itu harus dipersiapkan
pertumbuhan dan perkembangannya sedini mungkin, yakni sejak mereka lahir sampai
berusia enam tahun, sehingga mereka memiliki akar yang kuat sebagai pondasi
untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi.
Arti pentingnya pendidikan dini pada
anak telah menjadi perhatian internasional. Dalam pertemuan
Forum Pendidikan Dunia tahun 2000 di Dakkar, Senegal, telah menghasilkan enam
kesepakatan sebagai kerangka aksi pendidikan untuk semua yang salah satu
butirnya menyatakan: “memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan
pendidikan anak usia dini (PAUD), terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan
kurang beruntung.
Anggapan bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah usia sekolah dasar yaitu usia tujuh tahun ternyata tidaklah benar. Bahkan pendidikan yang dimulai pada usia Taman Kanak-kanak (4 - 6 tahun) pun sebenarnya sudah terlambat. Menurut hasil penelitian di bidang neurologi seperti yang dilakukan oleh Dr. Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, mengemukakan bahwa pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia 0 - 4 tahun mencapai 50% (Cropley, 94). Artinya bila pada usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan yang maksimal maka otak anak tidak akan berkembang secara optimal. Hasil penelitian di Baylor College of Medicine menyatakan bahwa lingkungan memberi peran yang sangat besar dalam pembentukan sikap, kepribadian, dan pengembangan kemampuan anak secara optimal. Anak yang tidak mendapat lingkungan baik untuk merangsang pertumbuhan otaknya, misal jarang disentuh, jarang diajak bermain, jarang diajak berkomunikasi, maka perkembangan otaknya akan lebih kecil 20 - 30% dari ukuran normal seusianya (Depdiknas, 2003:1).
Anggapan bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah usia sekolah dasar yaitu usia tujuh tahun ternyata tidaklah benar. Bahkan pendidikan yang dimulai pada usia Taman Kanak-kanak (4 - 6 tahun) pun sebenarnya sudah terlambat. Menurut hasil penelitian di bidang neurologi seperti yang dilakukan oleh Dr. Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, mengemukakan bahwa pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia 0 - 4 tahun mencapai 50% (Cropley, 94). Artinya bila pada usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan yang maksimal maka otak anak tidak akan berkembang secara optimal. Hasil penelitian di Baylor College of Medicine menyatakan bahwa lingkungan memberi peran yang sangat besar dalam pembentukan sikap, kepribadian, dan pengembangan kemampuan anak secara optimal. Anak yang tidak mendapat lingkungan baik untuk merangsang pertumbuhan otaknya, misal jarang disentuh, jarang diajak bermain, jarang diajak berkomunikasi, maka perkembangan otaknya akan lebih kecil 20 - 30% dari ukuran normal seusianya (Depdiknas, 2003:1).
Secara keseluruhan hingga usia delapan tahun, 80% kapasitas
kecerdasan manusia sudah terbentuk, artinya kapasitas kecerdasan anak hanya
bertambah 30% setelah usia empat tahun hingga mencapai usia delapan tahun.
Selanjutnya kapasitas kecerdasan anak tersebut akan mencapai 100% setelah
berusia sekitar 18 tahun (Abdulhak, 2002). Oleh sebab itu masa kanak-kanak dari
usia 0 - 8 tahun disebut masa emas yang hanya terjadi satu kali dalam
perkembangan kehidupan manusia sehingga sangatlah penting untuk merangsang
pertumbuhan otak anak melalui perhatian kesehatan anak, penyediaan gizi yang
cukup, dan pelayanan pendidikan.
Menurut psikologi perkembangan dan berdasarkan riset neurologi tentang pertumbuhan otak, usia dini meliputi anak yang berusia 0 - 8 tahun. Dalam hal ini, pendidikan anak usia dini merupakan konsep tentang perlakuan dini terhadap anak yang berada pada usia prasekolah atau usia sekolah yaitu di kelas-kelas awal SD (kelas 1, 2 dan 3) (Supriadi, Pikiran Rakyat).
Menurut psikologi perkembangan dan berdasarkan riset neurologi tentang pertumbuhan otak, usia dini meliputi anak yang berusia 0 - 8 tahun. Dalam hal ini, pendidikan anak usia dini merupakan konsep tentang perlakuan dini terhadap anak yang berada pada usia prasekolah atau usia sekolah yaitu di kelas-kelas awal SD (kelas 1, 2 dan 3) (Supriadi, Pikiran Rakyat).
Namun dalam hal ini pembahasan mengenai anak usia dini
dibatasi mulai usia 0 - 6 tahun sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 1 ayat 14 dan pasal 28 ayat 1 bahwa
pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
Sedemikian vitalnya anak usia dini, maka sangat dianjurkan
kepada orang tua untuk memberikan vaksinasi dan selalu memberikan nutrisi
lengkap dan seimbang kepada anaknya, agar anak mempunyai tubuh yang sehat, kuat
dan otak yang cerdas. Orang tua juga harus memperlakukan anak secara hati-hati
dan benar, agar anak memiliki karakter dan kepribadian yang tepat untuk
perkembangannya lebih lanjut. Anak usia dini dapat digolongkan ke dalam anak
usia prasekolah yang pertumbuhannya terbagi dalam dua tahap, yakni: (1) Usia
sejak lahir s.d. usia 2 tahun. Pada usia ini pertumbuhan anak lebih mengarah
kepada fungsi-fungsi biologis. Ia menggunakan mulut sebagai sarana terpenting;
(2) Usia antara 2-6 tahun. Pada usia ini perkembangan panca indera sangat
menonjol, sehingga dalam proses belajarnya pun mereka menggunakan panca indera.
Ada tiga macam perkembangan yang terjadi pada usia ini, yakni perkembangan
motorik (fungsi gerak), perkembangan bahasa dan berpikir, dan perkembangan
sosial.
Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan
yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai berusia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut. Pendidikan Anak Usia Dini (selanjutnya, PAUD)
merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan
pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi
motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual, sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa,
dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang
dilalui oleh anak usia dini.
Seperti halnya jenjang pendidikan lainnya, jenjang PAUD
merupakan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan orang tua. Oleh karena itu
dalam pelaksanaannya, dikenal adanya tiga bentuk jalur pelaksanaan PAUD, yakni;
Pertama adalah PAUD jalur pendidikan formal yakni pendidikan yang terstruktur
untuk anak anak berusia empat tahun sampai enam tahun seperti Taman Kanak-kanak
(TK), Raudhatul Athfal (RA), dan bentuk lain yang sederajat. Kedua, PAUD jalur
pendidikan nonformal, yakni pendidikan yang melaksanakan program pembelajaran
secara fleksibel untuk anak sejak lahir (usia tiga bulan) sampai berusia enam
tahun, seperti Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (Play Group), dan
bentuk lain yang sederajat. Ketiga, PAUD jalur pendidikan informal sebagai
bentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan
untuk pembinaan dan pengembangan anak sejak lahir (usia tiga bulan) sampai
berusia enam tahun.
Pendidikan bisa saja diberikan untuk bayi yang belum lahir
seperti yang dilakukan para orang tua dengan cara memperdengarkan musik klasik
kepada bayinya yang masih berada dalam kandungan. Secara garis besar,
pendidikan biasanya berawal pada saat bayi dilahirkan dan berlangsung seumur
hidup. Dalam agama Islam ada anjuran, “tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai
liang lahat”, yang berarti bahwa pendidikan itu harus dilakukan sedini mungkin,
dimana saja, kapan saja dan berlangsung seumur hidup. Dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 diamanatkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, Masyarakat, dan Orang Tua. Dalam hal penyelenggaraan PAUD dewasa
ini terlihat bahwa masyarakat yang lebih berperan, dimana institusi-institusi
pendidikan yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat lebih banyak dan beragam
yakni mencapai sekitar 80 persen sedangkan yang dibangun oleh pemerintah hanya
10 persen dari lembaga yang ada. Meski pengelolaan pendidikan menjadi tanggung
jawab bersama, ternyata angka partisipasi pendidikan di Indonesia di berbagai
jenjang pendidikan masih tergolong rendah, termasuk dalam hal ini rendahnya
partisipasi anak balita untuk memasuki PAUD.
Minimnya pengetahuan orang tua tentang pentingnya PAUD,
keterbatasan ekonomi keluarga, dan keterbatasan anggaran biaya pemerintah untuk
alokasi penyelenggaraan PAUD merupakan faktor penyebab anak usia balita tidak
tersentuh pendidikan. Berdasarkan hasil pendataan Depdiknas tahun 2004, baru
sekitar 15,6 persen dari 11,5 juta anak usia 4-6 tahun yang bersekolah di TK,
sedangkan untuk anak usia 0-3 tahun, hanya sekitar 15,8 persen yang tersentuh
pelayanan anak usia dini. Data itu menunjukkan, bahwa terjadi peningkatan angka
partisipasi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2002, sebanyak 72
persen anak Indonesia usia nol sampai enam tahun di Indonesia, belum tersentuh
pendidikan usia dini, karena pada tahun itu baru 7,34 juta atau 28 persen dari
26,1 juta anak usia 0-6 tahun yang mendapat pendidikan usia dini. Sebagian
besar di antara mereka, yakni 2,6 juta, mendapatkan pendidikan dengan jalan
masuk ke Sekolah Dasar pada usia lebih awal. Sebanyak 2,5 juta anak mendapat
pendidikan di Bina Keluarga Balita (BKB), 2,1 juta anak bersekolah di TK atau
Raudhatul Atfhal, dan sekitar 100.000 anak di Kelompok Bermain.
Berbeda dengan beberapa negara maju yang memandang pembinaan
anak usia dini adalah suatu proses persiapan pemberdayaan sumber daya manusia
yang sangat penting, sehingga Pendididikan Anak Usia Dini dilakukan secara
sangat intensif dan mendapat perhatian yang sangat tinggi. Alasannya bukan
karena orang tua mereka bekerja, tetapi justru karena pada orang tua sudah
tertanam pemahaman bahwa pada usia dini anak-anak berada pada posisi paling
ideal menerima dukungan untuk mengembangkan kepribadian dan jati dirinya.
Dengan pemberdayaan yang baik pada usia dini, akan dihasilkan anak-anak yang
masa depannya cerah karena mereka menjadi orang dewasa yang kreatif dan mempunyai
rasa percaya diri yang kuat.
Kendalanya di Indonesia adalah bahwa tidak setiap orang tua
punya pengetahuan dan kesiapan untuk mendidik anaknya secara betul. Seorang ibu
memang telah memiliki “asam garam” dalam mengasuh anak-anak mereka, akan tetapi
agar perkembangan potensi anak berjalan maksimal, maka diperlukan “kiat-kiat”
tertentu, seperti pengetahuan tentang psikologi anak, aktivitas yang mereka
sukai, dan cara terbaik dalam mendidik mereka. Adakalanya karena faktor
ketidaktahuan itulah, maka tidak jarang, dalam beberapa hal orang tua
memperlakukan anaknya secara berlebihan atau dengan cara paksaan mengajarkan
hal-hal yang sesungguhnya belum saatnya mereka terima sehingga justru
menjerumuskan si anak itu sendiri.
Oleh karena itu, PAUD memegang peranan
penting dalam pendidikan anak. Melalui PAUD anak dapat dididik oleh gurunya
dengan metode dan kurikulum yang jelas. Melalui PAUD, mereka dapat bermain dan
menyalurkan energinya melalui berbagai kegiatan fisik, musik, atau keterampilan
tangan. Mereka juga dapat belajar berinteraksi secara interpersonal dan
intrapersonal. Kepada mereka secara bertahap dapat dikenalkan huruf atau
membaca, lingkungan hidup, pertanian, dan bahkan industri.
Pengenalan itu tidaklah berlebihan,
karena dalam penyampaiannya disesuaikan dengan dunia anak, yakni dunia bermain
sehingga proses belajarnya menyenangkan. Anak memang seringkali mengeskpresikan
ide dan perasaannya melalui permainan, sehingga ketika mereka merasa menikmati
dan senang dengan apa yang diajarkan itu, maka dengan sendirinya akan bermanfaat
bagi perkembangannya. Satuan PAUD seperti Kelompok Bermain merupakan media bagi
anak untuk bersosialisasi dalam masyarakat kecil. Kelompok Bermain merupakan
kegiatan bermain yang teratur pada jalur pendidikan nonformal yang
menyelenggarakan program pendidikan dan program kesejahteraan bagi anak berusia
dua tahun sampai enam tahun.
Dalam kelompok itu, mereka akan menyesuaikan diri dalam lingkungan yang lebih luas, selangkah lebih mandiri, memiliki kebanggaan menjadi anggota kelompok bermain di luar anggota keluarganya, dan sejumlah manfaat lainnya yang pada gilirannya secara tidak sadar mendorong minat dan potensi anak untuk belajar.
Dalam kelompok itu, mereka akan menyesuaikan diri dalam lingkungan yang lebih luas, selangkah lebih mandiri, memiliki kebanggaan menjadi anggota kelompok bermain di luar anggota keluarganya, dan sejumlah manfaat lainnya yang pada gilirannya secara tidak sadar mendorong minat dan potensi anak untuk belajar.
Ada empat pertimbangan pokok pentingnya pendidikan anak usia
dini, yaitu: (1) menyiapkan tenaga manusia yang berkualitas, (2) mendorong
percepatan perputaran ekonomi dan rendahnya biaya sosial karena tingginya
produktivitas kerja dan daya tahan, (3) meningkatkan pemerataan dalam kehidupan
masyarakat, (4) menolong para orang tua dan anak-anak.
Pendidikan anak usia dini tidak sekedar berfungsi untuk
memberikan pengalaman belajar kepada anak, tetapi yang lebih penting berfungsi
untuk mengoptimalkan perkembangan otak. Pendidikan anak usia dini sepatutnya
juga mencakup seluruh proses stimulasi psikososial dan tidak terbatas pada
proses pembelajaran yang terjadi dalam lembaga pendidikan. Artinya, pendidikan
anak usia dini dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja seperti halnya
interaksi manusia yang terjadi di dalam keluarga, teman sebaya, dan dari
hubungan kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan anak usia
dini.
D. Pembelajaran
Melalui Bermain
Anak-anak usia dini dapat saja
diberikan materi pelajaran, diajari membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan
bukan hanya itu saja, mereka bisa saja diajari tentang sejarah, geografi, dan
lain-lainnya. Jerome Bruner menyatakan, setiap materi dapat diajarkan kepada
setiap kelompok umur dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangannya
(Supriadi, 2002: 40). Kuncinya adalah pada permainan atau bermain. Permainan
atau bermain adalah kata kunci pada pendidikan anak usia dini. Ia sebagai media
sekaligus sebagai substansi pendidikan itu sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain,
dan belajar dilakukan dengan atau sambil bermain yang melibatkan semua indra
anak.
Bruner dan Donalson dari telaahnya
menemukan bahwa sebagian pembelajaran terpenting dalam kehidupan diperoleh dari
masa kanak-kanak yang paling awal, dan pembelajaran itu sebagian besar
diperoleh dari bermain. Sayangnya, menurut Samples bermain sebagai gagasan yang
dikaitkan dengan pembelajaran kurang mendapatkan apresiasi dalam berbagai
lingkungan budaya (Supriadi, 2002: 40).
Bermain bagi anak adalah kegiatan yang
serius tetapi menyenangkan. Menurut Conny R. Semiawan (Jalal, 2002: 16) bermain
adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak karena menyenangkan, bukan
karena hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat
ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan
bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan
hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat mengembangkan semua
potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan
spritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak usia dini merupakan jembatan bagi
berkembangnya semua aspek.
Kritik yang ditujukan kepada sejumlah
TK bukan karena mereka mengajarkan berhitung, membaca, dan menulis melainkan
caranya yang salah seakan-akan menjadikan TK sebagai miniatur SD. Padahal PAUD
itu sesuatu yang lain dengan landasan psikologis dan pedagogis yang berbeda.
Belajar Quantum dari De Porter & Hernacki serta revolusi belajar yang
dibawakan oleh Dryden & Vos (Supriadi, 2002: 41) meletakkan titik berat
pada “pendinian” belajar pada anak dengan memilih cara-cara yang sesuai, bukan
pengakademikan belajar pada usia dini – dua hal yang sangat besar perbedaannya.
Pembelajaran pada anak usia dini dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa
metode (Direktorat PADU,2001; Depdikbud, 1998), diantaranya yaitu:
a. Bercerita
Bercerita
adalah menceritakan atau membacakan cerita yang mengandung nilai-nilai
pendidikan. Melalui cerita daya imajinasi anak dapat ditingkatkan. Bercerita
dapat disertai gambar maupun dalam bentuk lainnya seperti panggung boneka.
Cerita sebaiknya diberikan secara menarik dan membuka kesempatan bagi anak
untuk bertanya dan memberikan tanggapan setelah cerita selesai. Cerita tersebut akan lebih
bermanfaat jika dilaksanakan sesuai dengan minat, kemampuan dan kebutuhan anak.
b. Bernyanyi
Bernyanyi adalah kegiatan dalam
melagukan pesan-pesan yang mengandung unsur pendidikan. Dengan bernyanyi anak
dapat terbawa kepada situasi emosional seperti sedih dan gembira. Bernyanyi
juga dapat menumbuhkan rasa estetika.
c. Berdarmawisata
Darmawisata adalah kunjungan secara
langsung ke obyek-obyek yang sesuai dengan bahan kegiatan yang sedang dibahas
di lingkungan kehidupan anak. Kegiatan tersebut dilakukan di luar ruangan
terutama untuk melihat, mendengar, merasakan, mengalami langsung berbagai
keadaan atau peristiwa di lingkungannya. Hal ini dapat diwujudkan antara lain
melalui darmawisata ke pasar, sawah, pantai, kebun, dan lainnya.
d. Bermain peran
Bermain
peran adalah permainan yang dilakukan untuk memerankan tokoh-tokoh,
benda-benda, dan peran-peran tertentu sekitar anak. Bermain peran merupakan
kegiatan menirukan perbuatan orang lain di sekitarnya. Dengan bermain peran,
kebiasaan dan kesukaan anak untuk meniru akan tersalurkan serta dapat
mengembangkan daya khayal (imajinasi) dan penghayatan terhadap bahan kegiatan
yang dilaksanakan.
e. Peragaan/Demonstrasi
Peragaan/demonstrasi adalah kegiatan
dimana tenaga pendidik/tutor memberikan contoh terlebih dahulu, kemudian
ditirukan anak-anak. Peragaan/demonstrasi ini sesuai untuk melatih keterampilan
dan cara-cara yang memerlukan contoh yang benar.
f. Pemberian Tugas
Pemberian tugas merupakan metode
yang memberikan kesempatan kepada anak untuk melaksanakan tugas berdasarkan
petunjuk langsung yang telah dipersiapkan sehingga anak dapat mengalami secara
nyata dan melaksanakan tugas secara tuntas. Tugas dapat diberikan secara
berkelompok ataupun individual.
g. Latihan
Latihan adalah kegiatan melatih anak
untuk menguasai khususnya kemampuan psikomotorik yang menuntut koordinasi
antara otot-otot dengan mata dan otak. Latihan diberikan sesuai dengan
langkah-langkah secara berurutan.
E.
Peranan dan Pemberdayaan Masyarakat
Kenyataan bahwa masih banyak anak usia dini yang belum
mendapatkan pelayanan pendidikan tak dapat dipungkiri, terlebih bagi masyarakat
kelas bawah yang merupakan sebagian besar penduduk Indonesia yang berada di
pedesaan. Hal itu disebabkan antara lain kesadaran masyarakat akan pentingnya
pendidikan bagi anak usia dini masih sangat rendah. Kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya gizi dan kesehatan untuk peningkatan kualitas anak,
nampaknya jauh lebih baik daripada kesadaran akan pentingnya pendidikan. Hasil
penelitian Meneg Pemberdayaan Perempuan tahun 2001 di wilayah Jakarta dan
sekitarnya seperti yang dilansir oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (Jalal, 2002:
13) menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat memandang belum perlu pendidikan
diberikan kepada anak usia dini. Hal ini sangat wajar mengingat bahwa pemahaman
masyarakat terhadap pentingnya PAUD masih sangat rendah serta pada umumnya
mereka berpandangan bahwa pendidikan identik dengan sekolah, sehingga bagi anak
usia dini pendidikan dipandang belum perlu.
Lebih jauh Hadis (2002: 25) mengemukakan ada beberapa faktor
yang menjadikan penyebab masih rendahnya kesadaran masyarakat di bidang
pendidikan anak usia dini seperti: ketidaktahuan, kemiskinan, kurang
berpendidikan, gagasan orangtua tentang perkembangan anak yang masih sangat
tradisional, kurang mau berubah, masih sangat konkret dalam berpikir, motivasi
yang rendah karena kebutuhan yang masih sangat mendasar, serta masih sangat
dipengaruhi oleh budaya setempat yang sempit.
Rendahnya tingkat partisipasi anak mengikuti pendidikan
prasekolah dapat juga dipengaruhi oleh beberapa hal lainnya seperti: (1) Masih
terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD yang ada di masyarakat
terutama di pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di
perkotaan lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (2) Rendahnya dukungan
pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Fakta menunjukkan
(Rosadi, 2002) dari 41.317 buah TK di seluruh Indonesia, 41.092 buah (99.46%)
didirikan oleh pihak swasta sedangkan pemerintah hanya mendirikan 225 buah
(0.54%). Jumlah TK tersebut tidaklah berimbang dengan jumlah anak yang seharusnya
mengikuti pendidikan dini. Memang berhasilnya PAUD merupakan tanggung jawab
pemerintah bersama masyarakat terutama keluarga yang merupakan penanggungjawab
utama dalam optimalisasi tumbuh kembang anak. Peran
pemerintah adalah memfasilitasi masyarakat agar mereka dapat mengoptimalkan
tumbuh kembang anak.
Upaya pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat antara lain
melalui standarisasi kurikulum guna membantu masyarakat mengontrol
penyelenggaraan pendidikan agar tidak merugikan peserta didik maupun
masyarakat, peningkatan kemampuan profesi dan akademik bagi tenaga
kependidikan, peningkatan fungsi keluarga sebagai basis pendidikan anak, serta
pengembangan manajemen pembelajaran yang mencakup pengembangan metodologi
pembelajaran, pengembangan sarana dan bahan belajar termasuk bacaan anak,
pengembangan permainan dan alat permainan serta pengembangan evaluasi tumbuh
kembang anak.
Dalam rangka memberikan perhatian secara khusus terhadap
anak usia dini yang tidak terlayani pada lembaga formal (TK/RA) maka
dibentuklah Direktorat PADU di lingkungan Depdiknas. Kehadiran direktorat ini
terutama untuk memberikan layanan, bimbingan dan atau bantuan teknis edukatif
yang tepat terhadap semua layanan anak usia dini (di luar TK dan RA) yang ada di
masyarakat.
Masyarakat itu sendiri juga perlu meningkatkan peran
sertanya secara aktif dalam pelaksanaan, pembinaan, dan pelembagaan pembinaan
anak. Untuk itu pemerintah perlu memberdayakan peranserta masyarakat sebagai
upaya menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan masyarakat, dengan cara
mengembangkan segala potensi yang dimiliki agar masyarakat memiliki kemampuan
sendiri dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Dalam kondisi
seperti ini, sinergi antara pemerintah dengan masyarakat sangat diperlukan.
Perlu pula diingat bahwa kebanyakan program PAUD masih berjalan
sendiri-sendiri, tidak ada sinergi antar program yang ada di masyarakat.
Sinergi berbagai unsur yang
berkepentingan dalam pembinaan anak merupakan kunci keberhasilan upaya
pembinaan anak. Pemerintah harus memperluas jaringan kemitraan. Jaringan
kemitraan merupakan kunci efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan program
pendidikan, dimana selama ini tumpang tindih program termasuk pembinaannya,
merupakan kesalahan sebagai akibat tidak berjalannya jaringan kemitraan
termasuk koordinasi sebagai salah satu komponennya. Disamping itu adanya
jaringan kemitraan yang luas di setiap tingkatan institusi masyarakat, mulai
dari pusat sampai grass-root,
merupakan jawaban atas keberlangsungan suatu program di masyarakat.
Program yang mempunyai jaringan
kemitraan memiliki ciri-ciri antara lain tingginya komitmen semua unsur yang
terlibat dan tingginya rasa memiliki masyarakat terhadap program yang ada.
Kedua ciri ini merupakan komponen terpenting untuk menjamin keberlangsungan
suatu program yang pada gilirannya mengarah pada pelembagaan program di
masyarakat. Perluasan jaringan kemitraan agar efektif hendaknya diarahkan pada
penciptaan situasi kondusif yang menumbuh kembangkan komitmen semua unsur dan kepemilikan
oleh masyarakat terhadap suatu program.
F.
Peranan
Keluarga dan Lingkungan
Bagi anak usia dini, orangtua merupakan
guru yang terpenting dan rumah tangga merupakan lingkungan belajar utamanya.
Harus diingat bahwa fungsi PAUD bukan sekedar untuk memberikan berbagai
pengetahuan kepada anak melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk
mengajak anak berpikir, bereksplorasi, bergaul, berekspresi, berimajinasi
tentang berbagai hal yang dapat merangsang pertumbuhan sinaps baru dan
memperkuat yang telah ada serta menyeimbangkan berfungsinya kedua belahan otak
(Jalal, 2002: 15). Oleh karena itu lingkungan yang baik untuk PAUD adalah
lingkungan yang mendukung anak melakukan kegiatan tersebut. Selama ini ada
anggapan bahwa lingkungan yang baik adalah ruangan yang berdinding putih,
bersih, dan tenang. Sebuah anggapan yang keliru karena ruangan tanpa rangsangan
semacam itu justru menghambat perkembangan anak. Memang benar bahwa faktor
bawaan juga berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang tetapi pengaruh lingkungan
juga merupakan faktor yang tid,ak kalah pentingnya. Jika faktor bawaan dimisalkan
sebagai dasar maka faktor lingkungan merupakan pengembangannya. Tanpa diperkaya
oleh lingkungan, modal dasar tersebut tidak akan berkembang bahkan bisa jadi
menyusut.
Jika orangtua karena satu dan lain hal
tidak melaksanakan fungsinya sebagai pendidik, fungsi ini dapat dialihkan
(sebagian) kepada pengasuh, lembaga pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau
siapa saja yang mampu berperan sebagai pengganti. Peran pengganti ini dapat
dilakukan baik di lingkungan keluarganya (pengasuh) atau di luar lingkungan
keluarga (KB, TPA & lembaga PAUD sejenis). Menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi perkembangan anak adalah sangat penting. Pengaturan lingkungan
yang membuat anak dapat bergerak bebas dan aman untuk bereksplorasi merupakan
kondisi yang sangat baik bagi perkembangan anak, anak dapat meningkatkan daya
imajinasi dan kreativitas serta diperolehnya pengalaman-pengalaman baru.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat
penting dan mendasar sebab merupakan hulu dalam pengembangan sumber daya
manusia. Periode emas dalam tumbuh kembang anak hanya terjadi sekali dalam
kehidupan manusia yang dimulai sejak lahir hingga usia delapan tahun. Penelitian
di bidang neurologi mengungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak 50%
terjadi pada empat tahun pertama kemudian mencapai 80% hingga usia delapan
tahun dan akhirnya 100% pada usia 18 tahun.
Anak-anak yang berada pada rentang usia
dini yang memperoleh asupan pendidikan masih sangat minim. Anak usia 0 – 6
tahun berjumlah 26,09 juta akan tetapi yang terlayani dalam PAUD di jalur
pendidikan formal (TK/RA) baru sekitar dua juta anak sehingga peran pendidikan non
formal dalam membantu mengatasi masalah tersebut sangat penting dan mendesak.
Kurangnya anak usia dini yang
mendapatkan layanan pendidikan disebabkan beberapa faktor diantaranya: (1)
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan pada anak usia dini;
(2) masih terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD yang ada di
masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA
di perkotaan lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (3) rendahnya dukungan
pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Terdapat 41.317
buah TK di seluruh Indonesia, hanya 225 buah (0.54%) TK yang didirikan oleh
pemerintah, selebihnya dibangun oleh swasta.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhak,
Ishak. (2002). “Memposisikan Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Sistem Pendidikan
Nasional”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 54 – 59.
Anwar dan
Ahmad, Arsyad. 2007. Pendidikan Anak Dini Usia. Bandung: Alfabeta.
Asfandiyar,
Andi Yudha. 2009. Kenapa
Guru Harus Kreatif?. Jakarta: Mizan Media Utama.
CHA, Wahyudi dan
Damayanti, Dwi Retna. 2005. Program Pendidikan Untuk Anak Usia Dini di Prasekolah Islam.
Jakarta:
Grasindo.
Depdikbud.
(1998). Petunjuk Kegiatan Belajar Mengajar Taman Kanak-kanak. Jakarta:
Depdikbud.
Depdiknas.
(2002). Sambutan Pengarahan Direktur Jenderal PLSP pada Lokakarya Pengembangan
Program PADU, Jakarta.
Depdiknas.
(2003). Bahan Sosialisasi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Depdiknas.
Direktorat
Tenaga Teknis. (2003). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia 0– 6 Tahun.
Jakarta: Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat
PADU. (2001). Informasi Tentang Pendidikan Anak Dini Usia Pendidikan
Prasekolah Pada Jalur Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Direktorat PADU
-Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat
PADU. (2002). Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Anak Dini Usia (Menu
Pembelajaran Generik). Jakarta: Direktorat PADU - Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat
PADU. (2003). Model PADU Terintegrasi Posyandu. Jakarta: Direktorat PADU
- Ditjen PLSP – Depdiknas.
Gutama. (2003).
“Kebijakan Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (PADU)”. Makalah pada Pelatihan
Penyelenggara Program PADU, Bandung.
Hadis, Fawzia
Aswin. (2002). “Strategi Sosialisasi Dalam Memberdayakan Masyarakat”. Buletin
Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 25 – 28.
Indrawati, Maya
dan Nugroho, Wido. 2006. Mendidik dan Membesarkan Anak Usia Pra-Sekolah. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher.
Isjoni. 2007. Saatnya
Pendidikan Kita Bangkit. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jalal, Fasli.
(2002). “Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya PADU”. Buletin
Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 9 – 18.
Rosadi,
Damanhuri. (2002). “Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Kerangka Otonomi
Daerah". Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 60 –72.
Sudjana, D.
(2001). Pendidikan Luar Sekolah. Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falasafah,
Teori Pendukung, Asas. Bandung: Penerbit Falah Production.
Supriadi, Dedi.
(2002). “Memetakan Kembali Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Anak Dini Usia”. Buletin
Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 36 – 42.
__________
(2003). “Pendidikan Anak Usia Dini Dalam UU Sisdiknas”. Pikiran Rakyat.
Trisnamansyah,
Sutaryat. (2003). “Materi Pokok Perkuliahan Filsafat, Teori, dan Konsep Dasar
PLS”. Bandung: Makalah tidak diterbitkan.
Tientje,
Nurlaila N.Q. Mei dan Iskandar, Yul. 2004. Pendidikan Anak Dini Usia Untuk Mengembangkan
Multipel Inteligensi. Jakarta: Dharma Graha Group.
terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca blog ini makalah-anaksilajara.blogspot.com Jika ada yang salah atau masih ada yang perlu diperbaiki tentang isi blog atau request bahan makalah silahkan isi komentarnya. Blog ini beroperasi (hehehehe....) 08 September 2013
ReplyDeleteYKS (Yuk Ke Selayar)